Kanker Paru Masih Jadi Pemicu Kematian Terbesar di RI, Akses Obat Masih Tertinggal

Reporter : Okti Nur Alifia
Kamis, 28 Agustus 2025 18:11
Kanker Paru Masih Jadi Pemicu Kematian Terbesar di RI, Akses Obat Masih Tertinggal
Kanker paru di Indonesia menyumbang 9,5% dari seluruh kasus kanker serta menjadi penyebab 14,1% kematian akibat kanker.

DREAM.CO.ID - Kanker paru masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia maupun di Indonesia. Data GLOBOCAN 2022 mencatat 2,4 juta kasus baru kanker paru secara global, menyumbang 12,4% dari seluruh kasus kanker dan 18,7% total kematian akibat kanker.

Di Indonesia sendiri kanker paru menyumbang 9,5% dari seluruh kasus kanker serta menjadi penyebab 14,1% kematian akibat kanker.

Sayangnya, sebagian besar pasien di Indonesia baru terdiagnosis ketika sudah memasuki stadium lanjut, sehingga peluang keberhasilan pengobatan semakin kecil.

Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) pun menyerukan pentingnya penguatan sistem kesehatan nasional untuk penanganan kanker yang berorientasi pada pemenuhan hak pasien yang selaras dengan perkembangan ilmu sains.

CISC menekankan empat hal utama dalam reformasi sistem kesehatan nasional, diantaranya:

1. Ketersediaan informasi dan edukasi yang memadai mengenai kanker paru dan pengobatan terkini
2. Layanan kesehatan yang inklusif dan merata
3. Dukungan penanganan berbasis tim multidisiplin
4. Kemudahan dan keterbukaan akses terhadap terapi inovatif. Tujuannya untuk memastikan agar pasien kanker paru dapat memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.

“ Negara harus menempatkan kebutuhan pasien sebagai prioritas utama dalam kebijakan kesehatan. Akses terhadap terapi dan obat inovatif harus menjadi agenda nasional, dengan dukungan pembiayaan publik yang berkelanjutan, proses yang sederhana, dan transparansi yang jelas," kata Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri dalam diskusi media di Jakarta, Rabu, 27 Agustus 2025.

1 dari 4 halaman

Akses Terapi dan Obat Inovatif di Indonesia Masih Tertinggal

Menurut CISC, akses terapi dan obat inovatif di Indonesia masih tertinggal. Sistem kesehatan nasional belum sepenuhnya menjamin hak pasien dalam mengakses terapi dan obat inovatif. Salah satu contohnya terapi target.

Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua untuk kanker paru dengan mutasi EGFR positif, padahal pengobatan sudah berkembang hingga generasi ketiga.

Para penyintas kanker yang tergabung di CISC/ Foto: Okti/ Dream

Terapi generasi 1 dan 2 memiliki keterbatasan karena tingkat penetrasinya ke otak rendah, sehingga efektivitasnya dalam mencegah atau mengendalikan penyebaran kanker paru ke otak lebih rendah dibandingkan terapi generasi 3. Padahal, sekitar 40% pasien kanker paru dengan mutasi EGFR berisiko mengalami metastasis ke otak.

2 dari 4 halaman

Butuh Waktu 6 Tahun untuk Obat Diakses Publik

CSIC mencatat, ketersediaan obat inovatif di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain. Dalam laporan PhRMA’s Global Access to New Medicines Report, dari 460 obat inovatif yang diluncurkan secara global sejak 2012–2021, hanya 9% yang tersedia di Indonesia yang menjadi terendah di Asia Pasifik.

Penyaluran obat kanker rata-rata di Indonesia membutuhkan waktu 45-48 bulan (hampir 4 tahun) untuk mengadopsi obat kanker inovatif dari sejak peluncuran global, dan 71 bulan (hampir 6 tahun) untuk masuk pembiayaan publik.

RI Luncurkan Vaksin Kanker Serviks Pertama, BPOM: Efikasi 100 Persen

 

3 dari 4 halaman

Pembiayaan JKN Masih Terbatas

Menurut CISC, alokasi pembiayaan melalui JKN juga masih terbatas. Sepanjang 2024, BPJS Kesehatan mencatat biaya klaim pengobatan kanker sebesar Rp6,488 triliun.

Angka ini setara dengan 17,4% dari total biaya penyakit katastropik, dan hanya 3,7% dari keseluruhan klaim layanan JKN sekitar Rp175,1 triliun.

Sementara itu mengutip data yang dirilis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Kementerian Kesehatan ke publik, anggaran BPJS untuk kanker paru pada 2020-2021 hanya mendapat 2,1% (Rp 73 Miliar) dari total anggaran kanker sebesar Rp 3,5 triliun.

Aryanthi mengatakan, sudah saatnya akses terhadap obat inovatif dan kebijakan kesehatan preventif ditempatkan sebagai prioritas nasional. Tanpa langkah konkret, pasien kanker paru akan terus tertinggal dari perkembangan pengobatan global.

4 dari 4 halaman

“ Kanker adalah penyakit katastropik dengan pengobatan jangka panjang yang mustahil ditanggung sendiri oleh pasien. Karena itu, Jaminan Kesehatan Nasional wajib menjamin hak pasien untuk memperoleh pilihan pengobatan terbaik sesuai kebutuhan, berkesinambungan, dan ditangani secara komprehensif oleh tim multidisiplin. Pasien juga berhak didengar serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan.” lanjut Aryanthi.

Patricia Susanna, penyintas kanker paru, mengungkapkan beratnya perjuangan yang harus dijalani.

" Intervensi pemerintah sangat penting untuk meringankan beban kami melalui Jaminan Kesehatan Nasional yang memungkinkan kami memperoleh layanan dan pembiayaan kesehatan yang inklusif, serta akses terhadap terapi inovatif sesuai profil genetik dan kondisi spesifik pasien. Bagi kami, dukungan ini berarti kesempatan untuk terus hidup dengan harapan, dan dengan kualitas yang lebih baik," ungkapnya.

Beri Komentar