Walisongo (3): Tembang, Cara Lembut Sunan Giri Siarkan Islam

Reporter : Sandy Mahaputra
Senin, 30 Maret 2015 19:25
Walisongo (3): Tembang, Cara Lembut Sunan Giri Siarkan Islam
Wali pencipta tembang 'Padang Bulan' dan 'Cublak-cublak Suweng'. Pengaruhnya menyebar ke pelosok Nusantara.

Dream - Malam itu, lapangan sebuah desa di Gresik mendadak sesak. Beberapa bocah dari berbagai usia memenuhi setiap sudut lapangan. Mereka kegirangan. Sesekali terdengar canda dan gelak tawa anak-anak.

Bulan yang merah merekah di cakrawala menjadi saat tepat buat anak-anak berkumpul bermain. Ini sudah jadi kebiasaan sejak turun temurun setiap kali bulan purnama tiba.

" Yuk kita dolanan (bermain)," teriak salah satu bocah di tengah lapangan yang rumputnya hampir tandas karena terlalu sering diinjak.

Permainan pun dimulai. Sejumlah anak sepakat memecah menjadi dua kelompok: jadi pemburu dan obyek buruan.

Kelompok yang diburu satu per satu berhamburan lari. Mereka mencari selamat dari kejaran pemburu. Caranya, harus berhasil berpegangan pada tonggak, batang pohon atau tiang yang telah ditentukan lebih dulu.

Sembari melakukan permainan yang disebut Jelungan itu, biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu “ Padang Bulan.”

Padang-padang bulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar, ngalap padang gilar-gilar, nundang bagog hangatikar" .

Dalam bahasa Indonesianya kira-kira begini; " Terang-terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil manfaat dari terang benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit" .

Permainan yang mungkin hampir mustahil ditemukan di kota-kota besar ini bukanlah sekadar lari, bernyanyi dan tertawa. Ada sebuah makna luar biasa dalam pemainan sederhana itu. Yakni tentang ajaran tauhid dan tawakal kepada Allah SWT.

Sunan Giri, salah satu Walisongo yang berjasa dalam proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa, adalah sosok di balik permainan Jelungan itu.

Ia menciptakan permainan itu untuk mendidik pengertian tentang keselamatan hidup, yakni apabila kita sudah berpegangan kepada agama Islam, maka akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.

Sebaliknya, jika kita belum tawakal dan bertauhid ke Allah SWT, maka kita akan terus diburu iblis.

Sunan Giri juga membuat nyanyian untuk kanak-kanak yang bersifat pedagogi serta berjiwa agama. Di antaranya adalah berupa tembang dolanan bocah (lagu permainan anak-anak).

Seperti tembang “ Padang Bulan.” Adapun maksud dari tembang itu adalah agama Islam (bulan) telah datang memberi penerangan hidup, maka marilah segera orang menuntut penghidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (latar, halaman) akan mengambil manfaat ilmu agama Islam (padang, gilar-gilar, terang benderang) itu, agar sesat kebodohan diri (begog, gelap) segera terusir.

Makna syiar agama Islam juga tersirat dari permainan serta tembang lain hasil kreasi Sunan Giri, seperti “ Cublak-cublak Suweng,” “ Gending Asmaradana,” ‘Turi-turi Putih” dan “ Pucung.”

Secara cerdik, Sunan Giri menggunakan kesenian dan unsur budaya dalam penyebaran Islam. Hasilnya?.... 

1 dari 2 halaman

Penyebaran Islam Sunan Giri

Cara yang dilakukan Sunan Giri rupanya efektif meluaskan penganut Islam di tanah Jawa.

Sunan Giri adalah pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia diperkirakan lahir di Blambangan (Banyuwangi) tahun 1.442 Masehi. 

Sunan Giri memiliki beberapa nama julukan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ketika wafat beliau dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Beberapa babad menceritakan pendapat berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. 

Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa kakeknya (Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut atau Selat Bali sekarang ini.

Ada versi lain menyebutkan pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting Dewi Sekardadu (putri tunggal Prabu Menak Sembuyu, sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta kerajaan). 

Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih membuang bayi Sunan Giri ke laut dengan cara dimasukkan ke dalam peti.

Kemudian, bayi itu ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Ageng Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber, untuk belajar itu Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. 

Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Tak berapa lama setelah mengajar muridnya itu, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Maulana Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. 

Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mulai mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.

Di negeri Pasai, banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim.  Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. 

Di samping belajar ilmu Tauhid, Raden Paku juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang menetap di negeri Pasai.

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia lalu...

2 dari 2 halaman

Pakai Cara Unik

Raden Paku kemudian mendirikan sebuah Pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, Giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Bahkan, pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. 

Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi.

Menurut Babad Tanah Jawa, murid-murid Sunan Giri bertebaran hampir di penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya.

Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni sesuai ajaran Rasulullah melalui pendekatan seni budaya,  membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. 

Dari Sunan Giri, kita belajar bagaimana mereka menyebarkan Islam secara unik. 

Ia tak datang dengan kalimat-kalimat galak mengharamkan sesuatu, melainkan dengan kelembutan. Ia menggunakan seni budaya lokal untuk meraih simpati seluas-luasnya dari masyarakat Jawa. Dan, syiar itu terbukti efektif. (eh)

Beri Komentar