Ilustrasi/ Foto: Shutterstock
Dream - Kehidupan sebagian besar orang setelah pandemi mengalami banyak perubahan. Termasuk pemikiran atau preferensi dalam hal keluarga.
Bagi sebagian orang, mereka akan lebih fokus pekerjaan dan ada juga yang memilih untuk berkeluarga. Bagi yang lain, mungkin mereka lebih memilih cara hidup berbeda.
Sebuah studi SSM - Journal Population Health yang melakukan survei pada 2.087 wanita, menemukan bahwa setengah wanita yang disurvei menekan keinginannya untuk memiliki anak selama pandemi.
" Hal ini berkaitan dengan temuan sebelumnya yang menunjukkan orang memlih untuk tidak memiliki anak selama krisis ekonomi dan pandemi,” tulis laporan dalam jurnal.
Lalu sebanyak 68 persen wanita melaporkan penurunan keinginan untuk memiliki anak selama musim pandemi di tahun 2020 lalu. Rupanya yang paling terkena dampak adalah wanita yang usianya lebih muda, wanita yang memiliki satu anak, dan wanita yang sudah menghadapi tekanan finansial.
Mengapa keinginan memiliki anak berubah? Sebelum pandemi, pada 2019, data Pew Research Center menunjukkan bahwa, “ perempuan lebih mungkin mengatakan bahwa mereka memikul lebih banyak beban dalam hal tanggung jawab mengasuh anak dan rumah tangga."
Pew Research Center menemukan bahwa seorang cenderung mengatakan bahwa mereka memiliki banyak tanggung jawab mengasuh anak saat bekerja daripada ayah. Hal ini membuat preferensi para perempuan dalam hal memiliki anak kian berubah.
Beban ganda, tuntutan sosial ekonomi, ditambah pandemi, mau tak mau mengubah cara pandang seorang wanita ketika membuat pertimbangan, akan memiliki anak atau tidak, atau menambah anak atau tak hamil lagi.
Laporan Devi Tri Aprilianza / Sumber: Pop Sugar
Dream - Prancis dikenal sebagai negara fashion, makanan yang high class, dan menara Eiffel. Satu lagi yang juga selalu disebut-sebut sebagai keunggulan warga Prancis adalah pola asuh mereka.
Anak-anak Prancis dikenal dengan sikapnya yang sangat baik, jarang mengamuk, sangat baik dalam mengutarakan keinginannya dan mematuhi aturan. Orang Prancis diketahui memiliki beberapa prinsip dalam mengasuh anak, yang semuanya dapat membentuk anak-anak yang sopan dan jarang membuat ulah.
Apa saja yang mereka terapkan? Yuk simak.
1. Tidak Ada Makanan Khusus Anak
Makanan adalah bagian besar dari budaya Prancis. Orang Prancis sering kali memiliki beragam item di atas meja, dan terkadang, makan siang mereka sendiri dapat berlangsung selama dua jam. Anak-anak juga makan yang disantap orang dewasa.
Menu yang tersaji di meja, itu yang dimakan anak-anak. Hal ini membuat mereka tak menjadi pemilih alias picky eater. Anak juga diajarkan untuk mengambil hanya sebanyak yang mereka bisa makan dan menghindari membuang-buang makanan.
Orang Prancis juga punya kebiasaan memastikan bahwa seluruh keluarga berkumpul setidaknya satu kali di waktu makan, bisa saat sarapan, makan siang atau makan malam.
© Shutterstock
Ibu di Prancis cukup tegas ketika menidurkan anak-anak mereka di kamar mereka sendiri. Jika anak-anak bangun di malam hari dan mulai menangis, para ibu biasanya menunggu sampai tangisannya reda. Anak-anak menyadari bahwa mereka harus menenangkan diri dan kembali tidur. Anak-anak tidak pernah dibiasakan tidur di kamar yang sama dengan orangtua mereka. Jika tidur di kamar yang sama, kemungkinan besar mereka memiliki tempat tidur sendiri yang terpisah.
Anak-anak tahu betapa pentingnya sopan santun di Prancis. Orangtua mendorong anak-anak mereka untuk menyapa tetangga, tamu, dan orang lain dengan tepat. Saat mengantre, mereka dianjurkan untuk melakukannya dengan sabar, tanpa membuat ulah.
Selanjutnya, mereka sering diajarkan untuk menyerahkan kursi mereka jika ,elihat orang yang lebih tua berdiri. Kata-kata emas seperti " terima kasih" , " tolong" , " selamat siang" , dan " terima kasih kembali" diajarkan kepada mereka sejak dini.
4. Main Diprioritaskan
Jangan kaget jika melihat anak Prancis yang berusia 5 tahun tahun yang baru belajar membaca. Sebagian besar anak-anak di Prancis tidak dapat membaca sampai setelah usia lima tahun. Ini karena orang tua percaya bahwa anak-anak harus memanfaatkan masa kecil mereka dengan sebaik-baiknya, dengan bermain dan bersenang-senang sebanyak mungkin.
Sumber: Momjunction
Dream - Jepang dikenal dengan masyarakatnya yang memiliki kedisiplinan tinggi. Hal ini bahkan mereka bawa ketika tinggal di negara lain dan jadi sebuah citra yang sangat baik.
Kedisiplinan memang jadi hal yang tak bisa dipisahkan dari warga Jepang, sejak mereka kecil. Penerapan disiplin bukan dimulai di area publik atau penuh dengan paksaan atau karena hukuman, tapi memang sudah jadi gaya hidup.
Keluarga jadi dasar utama membentuk kedisiplinan anak-anak di Jepang. Kate Lewis, seorang ibu asal Amerika Serikat yang tinggal di Jepang, sangat terkesima dengan displinnya anak-anak di Jepang. Ia menuliskan pengalamannya saat membesarkan buah hatinya dan berusaha mengadaptasi nilai kedisiplinan pada orangtua di sana.
" Saya bukan satu-satunya ibu Amerika yang menanyakan pertanyaan ini kepada diri saya sendiri. Menemukan balita Jepang yang berperilaku buruk menjadi semacam permainan dengan teman ibu internasional lainnya setiap kali kami membawa anak-anak kami ke taman dan museum. Jika kami melihat balita Jepang sedang mengamuk di depan umum, kami akan menghela napas lega. Bukan hanya anak-anak kami. Itu milik semua orang. Namun orang tua Jepang sepertinya tidak ikut campur sama sekali. Anak itu akan duduk di tanah, menangis dan berteriak di taman bermain atau taman, dan orangtua tampaknya relatif tidak peduli," tulis Lewis, dikutip dari Savvytokyo.com.
Anak dibiarkan dulu tenang, dan orangtua tak berusaha keras untuk ikut campur. Hal lain yang selalu diterapkan adalah seni Shitsuke (disiplin). Orangtua tetap mendisiplinkan anak, menegur tapi mencari ruang privat dan bukan di depan publik karena anak akan malu.
" Di lain hari, kereta yang sibuk, dan kali ini ada anak lain yang mengamuk untuk pulang. Sang ayah dengan cepat menarik seluruh keluarganya dari gerbong kereta dan ketika pintu ditutup dan kereta melaju pergi, saya melihatnya berjongkok di peron. Orangtua jongkok sampai mensejajarkan tinggi dengan anak dan menunggu anaknya tenang untuk berbicara, sambil menemani dan memastikan anak aman," ungkap Lewis.
Tak semua orangtua bisa dan terbiasa melakukan ini karena memang dibutuhkan pengelolaan emosi dari orangtua dulu untuk menghadapi anak yang juga sedang emosi. Lewis pun bertanya pada temannya yang orang Jepang bagaimana mereka menegur anak-anaknya saat berulah.
" Saya bertanya 'bagaimana cara membentaknya?'. Dia mendemonstrasikan, menyebut nama anaknya dengan cepat dan penuh dengan peringatan. 'Ini bekerja dengan sempurna' katanya padaku," ungkap Lewis.
Bacaan Sholat dan Artinya, Lengkap dengan Tata Cara Mengerjakan yang Tepat
Momen Keseruan Dreamitie di Citra #GlowingBebasKusamRace & Community Gathering
Urutan Doa Al Ma'tsurat, Kumpulan Dzikir Pagi dan Petang Agar Mendapat Rahmat
Tutorial Hijab Pashmina Simpel Menutup Dada, Bikin Tampilan Makin Stylish!
Sosok Sebenarnya Mimi Bayu, Wanita yang Diduga Video Call dengan Raffi Ahmad saat Liburan ke Jepang
Viral Istri Sekda Riau Koleksi Tas Mewah dan Liburan ke Eropa, Kini Klarifikasi Pakai Barang KW