
Tangis Elsya dan Nestapa Pak Ojek Tua
Elsya bertemu dengan tukang ojek tua dengan motor butut, kisah hidup sungguh nelangsa.
Elsya bertemu dengan tukang ojek tua dengan motor butut, kisah hidup sungguh nelangsa.
Dahi mengernyit. Gadis berhijab itu waspada. Jemari berhenti mengusap layar gawai, batal memesan ojek online. Mata menatap curiga. Mengamati lelaki senja yang datang mendekat. Hati berdebar. Terus menerka gelagat pria tua itu.
Elsya Sandria. Dialah gadis yang sedang dicekam rasa was-was itu. Maklum, malam sudah tua. Nyaris dinihari. Hujan pula. Mobil dan motor biasa lalu-lalang. Tapi malam itu sepi. Dan, lelaki tua itu menyapa.
“Mbak, sudah pesan? Kalau belum boleh saya antar?” tegur lelaki asing itu dengan sopan. Suaranya lembut. Seperti bapak menyapa anaknya.
Lega. Elsya mengendurkan syaraf. Memudarkan syakwasangka. Lelaki tua itu mengaku sopir ojek online. Dia ternyata hanya mencari penumpang. Elsya menjadi satu-satunya harapan.
Tapi Elsya ragu. Menolak secara halus. Rumahnya memang jauh. Daerah Puncak. Bukan satu dua kilometer. Sekitar 16 kilometer dari Stasiun Bogor itu. Namun, tukang ojek itu terus meyakinkan. Gigih.
“Saya antarkan, Mbak. Dari jam sembilan saya di sini belum dapat penumpang, mungkin karena orang ragu dengan saya,” ujar tukang ojek itu.
Itu pula yang dilihat Elsya. Pria tua itu tak meyakinkan. Jaket memang seragam ojek online. Tapi cara kerja konvensional. Cari penumpang tanpa aplikasi. Offline. Namun driver itu pantang menyerah. Dia punya penjelasan.
“Handphone saya mati,” kata sopir ojek itu. Ponsel hitam dalam genggamannya memang model lawas. Layar rengat pada bagian kanan atas. Kadang nyala. Tapi lebih sering mati. Rezeki ojek online bisa tamat jika ponsel padam.
Elsya tak yakin motor itu sanggup menggelinding sampai Puncak. Apalagi jalan terus menanjak.
Tapi apa boleh buat. Dia tak tega membatalkan. Di bawah guyuran hujan mereka melaju di atas aspal basah.
Benar saja. Gas ditarik sekencang apapun, motor itu tetap merambat. Tak bisa dipaksa lebih cepat.
Dari jok belakang itulah Elsya banyak mendengar kisah si driver tua.
Namanya Sri Raharjo. Usia 68. Sri banyak cerita. Segala hal. Soal hape sampai keluarga. Tentang perjuangan hidup. Semua kisah yang membuat Elsya terenyuh.
Belum ada setengah jalan, hujan semakin deras. Karena kasihan, Elsya meminta Pak Sri menepi. Mampir di warung padang, daerah Tajur.
Malam makin larut. Menuju pukul satu. Mereka memesan menu.
“Dan ternyata saat itu Pak Sri habis dua piring. Terlihat lapar,” ujar Elsya.
Di warung itu, Elsya kembali bertanya. Pak Sri terus bercerita. Hati dara berhijab itu benar-benar tersentuh.
“Dia tidak pernah mengeluh pada takdirnya. Luar biasa, saya selalu merinding kalau ingat itu,” ujar Elsya.
Tak hanya soal ponsel rusak. Elsya tahu Pak Sri hidup susah. Penghasilan tak menentu. Harus memberi nafkah anak yang tinggal bersama mantan istri. Makan pun kadang sehari hanya sekali.
“Cuman sama kuah doang,” ujar Elsya.
Kisah itu membawa Elsya pada sebuah kesimpulan. Dia harus membantu. Meski hanya membetulkan ponsel dan servis motor.
Dia berharap bisa mempermudah kerja Pak Sri. Semakin lancar mengais rezeki.
“Dia tidak mengeluh, dia tidak memperlihatkan dirinya harus dibantu,” kata dia.
Elsya memaksa Pak Sri Pulang. Tak tega meneruskan perjalanan. Dia balik ke Puncak dengan mengorder kendaraan lain. Yang lebih bugar. Tapi, banyangan Pak Sri tetap mengikuti hingga di rumah. “Nyesek banget. Ngelihat sosoknya itu kayak ketampar gitu,” ucap Elsya.
Elsya sesenggukan. Tapi tak sedang meratap. Dia terharu dengan kisah Pak Sri.
Di tengah linangan air mata itu, jarinya menari di layar ponsel. Mengetik huruf demi huruf. Menata kata. Merangkai kalimat. Menceritakan kisah Pak Sri di Instagram.
Bukan menjual nestapa. Kisah itu diunggah untuk motivasi. Dia ingin 27 ribu follower Instagram memetik nilai. Lebih bersyukur dengan nikmat Tuhan.
“Hanya sekadar itu,” tegas Elsya.
Tak dinyana, kisah itu viral. Banyak orang mengirim pesan. Lewat direct message. Mereka berduyun ingin menyumbang. Membantu Pak Sri membeli ponsel anyar. Hanya lima belas menit, uang jutaan terkumpul.
“Saya dapat donasi dari sahabat saya itu Rp2,5 juta untuk membeli handphone,” ujar Elsya.
Inilah kekuatan media sosial. Cerita Pak Sri tak berhenti bergulir. Mengetuk hati para dermawan. Elsya bergadang hinggah subuh. Membaca dan membalas pesan yang datang bak air bah.
Sumbangan tak bisa lagi dibendung. Hanya selang tiga jam, uang bantuan terkumpul Rp7,5 juta. Semua dari teman-temannya. “Itu membuat saya merinding. Kok banyak orang yang iba,” ujar Elsya.
Tapi Elsya bersabar. Tak langsung membuka donasi besar-besaran. Dia ingin memastikan Pak Sri benar-benar layak dibantu. Keesokan harinya dia menuju Perum Bukit Asri, Bogor. Kediaman Pak Sri.
Susah payah. Sopir ojek itu tak bisa dikontak. Ponselnya pasti sedang mati. Tapi Elsya tak menyerah. Diantar seorang teman, dia tanya sana-sini.
Informasi datang dari tukang bakso. Akhirnya kediaman Pak Sri ketemu juga. Tapi, rumah itu menambah pilu hati Elsya. Tak kalah merana dibanding kisah hidup sang empunya. Elsya kembali menangis.
Rumah itu sangat mungil. Tipe 21. Sudah tua. Pagar besi warna hijau. Hampir seluruhnya dimakan karat. Halaman tak terawat. Dari luar lebih mirip rumah kosong. Seperti gedung yang biasa dipakai syuting ‘uka-uka’. Tayangan horor tengah malam.
Jika hati kuat, bolehlah menengadahkan kepala. Rumah ini bak potongan lagu: ‘beratap langit beralas bumi’.
Tak ada pelindung di atas. Plafon jebol. Genting rontok. Rangka kayu lapuk. Di kamar mandi paling parah. Jika hujan datang, bak penampung air otomatis terisi. Penuh.
“Selama bertahun-tahun pula Pak Sri tidur di pos satpam, masjid terdekat, atau ruko-ruko,” kata Elsya.
Hati Elsya bertambah getir. Dia semakin yakin Pak Sri benar-benar layak dibantu. Elsya kembali menulis kisah Pak Sri. Tanpa ragu mulai menggalang donasi. Mencantumkan rekening di media sosial.
Kisah baru itu kembali viral. Lebih luas. Bahkan menjalar ke Twitter. Gelombang donasi pun datang bergulung. Lebih banyak. Dalam sekejap, rekening Elsya bengkak. Tembus seratus juta. Semua untuk Pak Sri.
Donasi itu membuat Elsya terbelalak. Dia keder. Tak menyangka uang yang terkumpul sebanyak itu. Uang sebanyak itu tentu bisa membeli puluhan ponsel dan motor baru. Tidak sekadar servis ponsel atau membetulkan motor butut Pak Sri.
Setelah dirasa cukup, Elsya menutup penggalangan dana. Dia tak ingin kedermawanan netizen didompleng. “Saya takut dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.”
Tapi pekerjaan belum usai. Driver ojek online sepuh itu menolak bantuan. Dia merasa masih kuat kerja. “Mungkin Pak Sri takut menyusahkan orang,” ujar Elsya.
Sudah kepalang basah. Donasi sudah terkumpul. Tak hilang akal, Elsya minta bantuan komunitas ojek online Stasiun Bogor.
Mereka meyakinkan Pak Sri. Bantuan ini halal. “Ini rejeki dari Allah,” ujar Elsya.
Pantang menyerah. Pekerja keras. Itulah sosok Pak Sri. Wajar saja semula menolak bantuan itu. Dia merasa masih bisa hidup dari keringat sendiri. Tak ingin jadi beban. Tak mau bikin susah orang.
Ekonomi Pak Sri sempat jaya di era 1980an. Dia tukang reparasi mesin ketik. Tapi usahanya gulung tikar. Tak lagi ada mesin ketik yang diperbarui.
Alat itu memang sudah jarang dipakai. Sekarang bahkan digantikan komputer, laptop, juga gawai. Dompetnya sekarat sejak krisis 1998.
Pak Sri melihat peluang baru. Menjadi sopir ojek online. Semula dia gabung dengan Uber. Setelah bubar, dia meloncat ke Gojek. Sampai sekarang dia banting tulang, menyambung hidup sebagai driver.
“Berangkat siang, paginya antar anak sekolah, pulang-pulang pagi. Setelah itu tidur,” kata Pak Sri.
Berat memamang. Usia Pak Sri sudah tak muda. Lebih setengah abad. Kehidupan jalanan melelahkan. Tapi dia ikhlas.
“Setel kendo (dibuat longgar), yang penting berdoa dan jangan lupa sholat,” ucap Pak Sri.
Dan, takdir hidup Pak Sri bertemu Elsya. Dara yang tetap percaya masih banyak orang baik di penjuru Bumi ini. Gadis yang telah berhasil mengetuk hati para dermawan lewat media sosial.
Kini, tak hanya ponsel yang baru. Berkat Elsya dan para netizen dermawan itu, Pak Sri punya motor gres. Orderan mengojek jadi lancar.
Rumah pun direnovasi total. Bila kelar nanti, bangunan yang memprihatinkan itu dipastikan layak huni.
“Saya sampai kaget, apa benar doa saya diijabah oleh Allah? Enggak nyangka. Mungkin dada saya sudah digaris,” kata Pak Sri, yang akhirnya menerima bantuan itu.
Setali tiga uang. Elsya juga merasa bahagia. Usahanya tak sia-sia. Dia yakin masih ada orang baik. Dia bersyukur bisa mengetuk hati para dermawan di media sosial.
Dia sadar betul. Inilah fungsi media sosial. Untuk kebaikan. Bukan tempat saling hujat. Saling caci karena masalah tidak penting. “Akhirnya saya sadar ternyata media sosial itu seperti ini, untuk sosialilasi,” kata Elsya.
Dia tak berharap balasan. Elsya hanya merasa lega bisa jadi jembatan untuk berbuat kebaikan. “Saya yakin dengan bantuan teman-teman yang sudah mengubah hidup orang lebih baik, akan jadi amal jariah,” tutur Elsya.
Kisah ini ditulis pada 2020. Cerita hijaber dan tukang ojek tua ini viral kala itu.
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tidak adanya korban luka pada insiden tersebut. Namun puting beliung menyebabkan kegiatan shalat menjadi tidak kondusif.
Baca SelengkapnyaMerasa sakit hati, Elvina langsung bertanya kepada pasangannya. Pria tersebut akhirnya meminta maaf dan mengakui dirinya sudah tidak mencintai Elvina lagi.
Baca SelengkapnyaDetik-detik proses melepas kepala siswa tersangkut viral ini bikin deg-degan.
Baca SelengkapnyaViral kisah seorang wanita Malaysia yang diduga jadi korban perbuatan sihir mertuanya sendiri.
Baca SelengkapnyaSebelum pingsan, ia sempat melihat cahaya putih. Ketika tersambar ia langsung jatuh ke tanah.
Baca SelengkapnyaBocah lelaki itu tampak begitu sayang dan selalu ingat dengan nasihat ibunya
Baca SelengkapnyaPernah nggak sih kamu ngumpet karena takut diajak temen bikin konten? Kalau pernah, kamu tentu paham yang dirasakan rekan kita ini.
Baca SelengkapnyaIkan berwajah menyeramkan dengan kulit hitam legam yang terdampar di pantai AS ini memiliki kehidupan menyedihkan.
Baca Selengkapnya