Rupiah (Foto: Merdeka.com/Arie Basuki)
Dream - Wacana redenominasi rupiah dari Rp.1000 menjadi Rp1 kembali bergulir. Bank Indonesia (BI) menegaskan rencana penyederhanaan nominal rupiah tersebut sudah dipersiapkan sejak lama namun pengimplementasiannya harus menunggu momen yang tepat.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sendiri mengatakan rencana persiapan redenominasi rupiah bahkan sudah sampai tahap desain uang baru hingga tahapan operasionalnya.
" Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain dan tahapan-tahapannya, baik secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya," kata Perry, dikutip dari Liputan6.com, Selasa, 27 Juni 2023.
Selain membuat nomimal rupiah lebih sederhana tanpa mengurangi nilainya, redenominasi diyakini bakal menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).
Lebih jauh, tujuan redenominasi akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
BI sebelumnya sudah pernah memaparkan rencana redenominasi kepada DPR beberapa tahun lalu melalui Rancangan Undang-Undang Redenominasi.
Merujuk ketentuan dalam RUU tesebut, pelaksanaan redenominasi bakal membutuhkan waktu minimal tujuh tahun termasuk di dalamnya dua tahun masa persiapan. Tahapan persiapan ini akan dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya.
Sementara lima tahun berikutnya akan digunakan sebagai masa transisi sebelum Indonesia nantinya akan menghapus mata uang lama dari peredaran.
Jika semuanya sudah terbiasa, Bank Indonesia akan melanjutkan proses redenominasi dengan mencetak uang menggunakan desain baru dengan angka yang baru.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan Bank Indonesia untuk menerapkan redenominasi rupiah.
Faktor pertama, Perry mengatakan, kondisi makroekonomi Indonesia yang dinilai sudah membaik dan pulih, tetapi masih terdapat potensi dampak rambatan (spillover) dari ekonomi global yang masih diliputi ketidakpasstian.
Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.
Pertumbuhan ekonomi global diprediksi sekitar 2,7 persen pada 2023 dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat dan China.
Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sedangkan di China, pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prediksi di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Faktor kedua, Perry menuturkan, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan di Indonesia sudah stabil, tetapi Indonesia juga masih dibayangi ketidakpastian global.
Faktor ketiga, kondisi sosial dan politik di mana untuk melakukan redenominasi diperlukan kondisi sosial dan politik yang kondusif mendukung, positif serta kuat.
“ Untuk kondisi sosial dan politik ini pemerintah yang lebih mengetahui,” tutur dia.