Dukung Omnibus Law, Sandiaga Uno Pede Ekonomi Indonesia Pulih

Reporter : Arie Dwi Budiawati
Rabu, 11 Maret 2020 14:13
Dukung Omnibus Law, Sandiaga Uno Pede Ekonomi Indonesia Pulih
Keberadaan omnibus law bisa mereformasi birokrasi dan mempercepat investasi.

Dream - Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Sandiaga S. Uno, mendukung pemerintah menerbitkan Undang-Undang omnibus law. Sandiaga optimistis regulasi itu bisa mengerek perkonomian Indonesia.

Menurut Sandiaga, perekonomian Indonesia berpeluang menjadi lebih baik walaupun penuh tantangan. Keberadaannya akan mereformasi birokrasi dan menyederhanakan regulasi yang diyakini mampu mendorong percepatan realisasi investasi di Indonesia.

" Dengan investasi yang kondusif maka dapat menggerakkan dunia usaha yang secara tidak langsung mampu mendongkrak perekonomi bangsa," kata Sandiaga Uno dikutip dari Liputan6.com, Rabu 11 Maret 2020. 

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu juga menilai bahwa percepatan transformasi ekonomi dari pusat produksi ke distribusi akan menggeliatkan pelaku usaha kecil menengah (UKM).

" Iklim dunia usaha semakin kondusif dan hal ini akan merangsang pelaku usaha untuk lebih berkembang," kata dia.

Dengan adanya omnibus law, Sandiaga optimistis perekonomian Indonesia akan terus meningkat, meski di level global terjadi perlambatan.

" Sejak Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari semula 2,9 persen menjadi 2,6 persen, beberapa negara mulai menyiapkan rangkaian kebijakan untuk mencegah dampak perlambatan tersebut terhadap kinerja perekonomian di negaranya, tidak terkecuali Indonesia," kata Sandiaga.

1 dari 5 halaman

Omnibus Law Buka Peluang Ormas Islam Terbitkan Sertifikat Halal

Dream - Konsep Omnibus Law dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja juga memuat ketentuan mengenai sertifikasi halal. RUU ini membuka peluang bagi organisasi massa Islam untuk turut menerbitkan sertifikat halal yang selama ini semata menjadi wewenang Majelis Ulama Indonesia. 

Dikutip dari Liputan6.com, Selasa 18 Februari 2020, ketentuan ini tercantum dalam Pasal 33. Pasal itu menyebutkan penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh ormas Islam yang berbadan hukum, selanjutnya dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

 



Kemudian Sidang Fatwa memutuskan kehalalan produk paling lama tiga hari kerja sejak MUI atau Ormas Islam menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Keputusan Sidang Fatwa disampaikan kepada BPJPH dan dijadikan dasar penerbitan Sertifikat Halal.

Dalam Pasal 42 ayat (1) disebutkan masa berlaku sertifikat halal yaitu selama empat tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH. " Kecuali terdapat perubahan komposisi bahan,” demikian bunyi Pasal tersebut.

Lalu, pemegang sertifikasi halal bisa mengajukan perpanjangan paling lambat 3 bulan sebelum masa berlakunya berakhir.

2 dari 5 halaman

Gratis Bagi UMKM

Terkait biaya pengurusan dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikasi halal. Hal ini tertuang dalam Pasal 44 ayat (1).

Kendati begitu, ayat (2) pasal yang sama memuat ketentuan mengenai pelonggaran biaya. Dalam ayat itu disebutkan para pelaku Usaha Mikro dan Kecil tidak dikenakan biaya. 

Sementara, bagi pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikas namun produknya tidak terjamin kehalalannya, maka yang bersangkutan dikenai sanksi administratif berupa denda Rp2 miliar. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2).

Apabila tidak bisa membayar denda, pelaku usaha tersebut diancam pidana penjara selama lima tahun.

(Sumber: Liputan6.com/Tira Santia)

3 dari 5 halaman

Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja Hapus Aturan Cuti Panjang

Dream - Draft Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah ke DPR pekan lalu memuat banyak perubahan besar di dunia usaha. Selain masa kerja 6 hari, salah satunya usulan perubahan adalah penghapusan cuti panjang.

Dikutip dari Merdeka.com, Senin 17 Februari 2020, berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 79, pemerintah menjelaskan soal cuti panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun di perusahaan yang sama.

Dalam ketentuan tersebut, pegawai bisa mendapat cuti panjang sekitar 2 bulan pada tahun ketujuh hingga kedelapan, masing-masing 1 bulan tiap tahunnya.

Aturan tentang cuti panjang ini bahkan dibuat dalam beberapa poin khusus.

 

 

Namun ketentuan tersebut dihapus dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah hanya mengatur waktu istirahat antara jam kerja setelah bekerja 4 jam berturut-turut dan istirahat mingguan sekitar 1-2 hari.

Selain itu, pemerintah memangkas cuti tahunan yang bisa diberikan perusahaan minimal 12 hari.

Perusahaan dapat memberikan cuti panjang kepada karyawannya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

4 dari 5 halaman

Usulan Pemerintah

Adapun bunyi pasal 79 dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah yakni :

1. Pengusaha wajib memberi:

a. Waktu istirahat; dan

b. Cuti.

2. Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja atau buruh paling sedikit meliputi:

a. Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

3. Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja atau buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

4. Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

5. Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

5 dari 5 halaman

Aturan Soal Cuti Panjang di UU Sebelumnya

Sementara itu, jika dilihat lebih detail beberapa poin diatur Omnibus Law berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan pasal yang sama yakni 79 soal cuti panjang:

1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja pekerja buruh.

2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, meliputi :

a. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 empat jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu;

c. Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus; dan

d. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.

3. Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

4. Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

5. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatur dengan Keputusan Menteri.

Beri Komentar