Lantunan Tahlil di `Lorong Neraka` Kalijodo

Reporter : Maulana Kautsar
Rabu, 24 Februari 2016 20:18
Lantunan Tahlil di `Lorong Neraka` Kalijodo
Dari riuh kemaksiatan, masih ada doa yang mengalun.

Dream – Detak jantung Kalijodo terhenti. Dentum musik disko yang mengalun saban malam tak lagi terdengar. Kerlap-kerlip lampu juga sudah padam. Bau menyengat alkohol dari balik bilik-bilik bar dan kafe pun sudah tak tercium lagi.

Malam itu, Selasa 23 Februari 2016, pukul 21.45 WIB. Lokalisasi prostitusi yang termasyhur di ibukota itu berubah membisu. Tak ada aktivitas transaksi jual beli kenikmatan di Jalan Kepanduan II, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, itu.

Aktivitas lelaki hidung belang penikmat esek-esek yang telah berlangsung sejak zaman kolonial berhenti total. Beberapa penghuni " mengungsi" . Sebagian pulang ke kampung halaman. Ada juga yang mencari lokasi baru, ikut kehendak si bos pemiliknya.

Di antara himpitan bangunan-bangunan semi permanen, Syamsudin tengah bercengkrama dengan warga sekitar. Logat daerah begitu kental terdengar dari mulut pria ini. Puluhan tahun tinggal di belakang kawasan Kalijodo, Syamsudin biasa bertugas menjaga kendaraan milik para tamu yang berkunjung.

Malam itu, Syamsudin baru mendapat perintah dari seorang bos pemilik kafe. Dia diminta membongkar sebuah bangunan salon. Tak seperti kebanyakan tempat kecantikan, salon itu terletak di sebuah lorong gelap berbau pesing. Mirip dengan lorong-lorong di Kalijodo.

" Lorong neraka? Ndak ada itu. Hehehe," jawab Syamsudin sembari sibuk mengirim pesan lewat gawainya.

Pertanyaan soal lorong neraka itu membuat seorang perempuan yang duduk tak jauh dari Syamsudin tertawa. Dialah Atun. Sejak hinggap di Kalijodo 40 tahun silam, perempuan Pemalang, Jawa Tengah, ini mengaku tak pernah tahu sebutan itu.

" Ya Kalijodo itu neraka dunia. Lorong-lorongnya ya ini," timpal Atun sambil mematikan rokok dan menunjuk daerah di sekitarnya.

****


1 dari 2 halaman

Dalam Salat, PSK Itu Menangisi

Dalam Salat, PSK Itu Menangisi © Dream

Atun mungkin benar. Gang di kawasan Kalijodo berupa lorong-lorong sempit, minim pencahayaan. Sinar matahari pun sulit menembus celah-celah lorong itu. Lampu yang dipasang pun tak cukup membantu. Apalagi cuma bermodal bohlam watt kecil.

Sebutan neraka sendiri muncul karena Kalijodo sering disebut sebagai “ Neraka Dunia”.

Dream mencoba menyusuri lorong-lorong sempit itu. Bangunan bercat hijau-putih di ujung gang menarik perhatian. Warnanya sangat terang. Setapak demi setapak gedung itu semakin terlihat. Bangunan di ujung Jalan Kepanduan II itu ternyata sebuah masjid. Namanya masjid Nurul Hasanah.

Kontras dengan suasana sekitar, masjid berukuran 5x3 meter itu jadi pemandangan tak lazim. Sebuah rumah ibadah di tengah kawasan lokalisasi. Desain masjid ini juga terlihat mencolok karena memiliki dua lantai. Di sinilah saksi bisu kehidupan lain Kalijodo. Di rumah Allah ini terlantun doa penghuni Kalijodo.

Saban waktu salat Maghrib dan Isya, masjid itu ramai disambangi jemaah. Bukan cuma warga Kalijodo. Pengguna jalan yang kebetulan melintas sering singgah di masjid ini, salat menghadap Allah.

Subur Waluyo, pengurus masjid menyebut tempat ibadah itu selalu ramai saat Maghrib dan Isya. Bahkan, saat Salat Jumat berlangsung, masjid itu selalu padat.

" Saat Jumatan, orang-orang penuh di Masjid Nurul Hasanah," ujar pria yang berprofesi sebagai pengemudi salah satu penyedia ojek online ini.

Lalu lalang jamaah senantiasa menyemarakkan masjid ini. Namun Subur tak pernah lupa akan sebuah pengalaman haru. Di masjid itu, Subur pernah sekali waktu melihat seorang pekerja seks komersial (PSK) menangis dalam salatnya.

Dia tak berani bertanya jauh kepada si wanita itu. Hanya hati kecilnya yang berkata. " Mungkin menyesali perbuatannya," kata Subur.

Masjid Nurul Hasanah memang rumah bagi semua hamba Allah. Bukan kali itu saja Subur mendapati pengalaman menyayat hati. Entah sudah berapa kali Subur diminta tolong PSK yang ingin bersedekah.

Suatu ketika, Subur bercerita, seorang PSK sedang banyak mendapatkan order. Merasa uang yang diperolehnya cukup besar, si wanita ingin bersedekah. Dia ingin menyisihkan penghasilan yang didapat dari melayani lelaki hidung belang itu.

" Saya sarankan untuk memberikan 2,5 persen untuk zakat mal. Dia (PSK) itu ngasih Rp 300 ribu," ujar pria paruh baya itu.

Pengalaman hampir sama dirasakan Salman. Aktif sebagai Ketua Gerakan Masyarakat Pecinta Tilawatil Quran Nusantara (GMPTQN), Salman sempat diundang seorang pemilik bar. Hatinya bimbang menerima undangan untuk memimpin doa peresmian bar itu.

Tapi Salman punya pertimbangan lain. Dia meneguhkan hati memenuhi undangan. Niatnya cuma satu. Mengetuk nurani para penghuni Kalijodo. Di acara itu, memang hadir para pemilik kafe, mucikari, dan PSK.

" Pada saat saya mau pimpin doa itu, mereka-mereka (PSK-red) turun. Pakaiannya seksi. Tapi ketika doa saya lantunkan, tergambar dari ekspresi wajahnya itu rasa penyesalan, rasa sedih," kata Salman yang ditemui Dream di Masjid Nurul Hasanah.


2 dari 2 halaman

Mereka Masih Ada yang Beribadah

Mereka Masih Ada yang Beribadah © Dream

Neraka Dunia Kalijodo memang menyimpan cerita sisi lain dari kehidupan malam. Setidaknya bagi warga sekitar, tidak semua PSK dan petugas keamanan di kafe-kafe itu hidup dalam kemaksiatan. Santer terdengar kabar, beberapa PSK masih rajin beribadah.

Dari balik bilik senggama mereka masih menghadapkan muka ke hadapan Tuhan. Menengadahkan tangan tanda ketidakmampuan. Mereka tak bisa berjalan ke masjid. Ada aturan dan jadwal ketat membatasi ruang gerak mereka.

" Kalau kata-katanya warga sini, ada yang gitu," kata seorang warga Kalijodo yang enggan disebutkan namanya.

Tak selalu para wanita penghibur ini ingin berkubang dalam dosa. Namun daya tak beruasa. Untuk keluar dari lubang gelap prostitusi bukan perkara mudah. Ancaman dari penyalur menjadi alasannya.

Belum lagi si mucikari menyita identitas para PSK. Itu sebagai bentuk jaminan agar PSK itu tidak melarikan diri. Jika, PSK ketahuan melarikan diri, kekerasan fisik akan mendera.

Tetapi, tidak sedikit PSK yang berhasil keluar dan menjalani hidup normal. Mereka kaum yang beruntung. Menerima cinta tulus dari seseorang yang pernah jadi pelanggan. " Tapi harus nebus ke mucikarinya. Biaya nebusnya bisa sampai Rp 15 juta," kata warga itu.

Dramatis. Itulah kenyataan yang terjadi di Kalijodo. Salman percaya, sejatinya para PSK itu masih memiliki nurani.

Apa yang mereka lakukan di Kalijodo tidak lain karena faktor himpitan ekonomi, yang menjebak mereka di bilik-bilik senggama. Tetapi, nurani mereka sebagai manusia tetap menginginkan hidup dengan kebaikan.

" Ibadah itu hubungannya dengan Tuhan. Profesi PSK itu wilayah " perut" . Buat bayar sekolah anak, makan, kebutuhan dll. Tapi, saya yakin fitrah mereka ingin berubah," ucap pria yang sehari-hari tinggal di Islamic Center Sunda Kelapa itu.

Kini, jelang waktu penggusuran, azan masih berkumandang di Masjid Nurul Hasanah. Sesuai arti namanya, cahaya yang membawa kebaikan, masjid itu masih terus berjuang di sisa waktu yang ada. Berharap muncul kesadaran baru bagi warga Kalijodo yang salah arah. Amin.

(Laporan: Maulana Kautsar)

Beri Komentar