Cegah Efek Corona, Iuran BPJS Ketenagakerjaan Mau Dibebaskan?

Reporter : Arie Dwi Budiawati
Jumat, 13 Maret 2020 13:47
Cegah Efek Corona, Iuran BPJS Ketenagakerjaan Mau Dibebaskan?
Untuk memberikan stimulus dampak virus Covid-19.

Dream - Pemerintah mengkaji pembebasan atau penundaan pengenaan kewajiban iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Hal ini sebagai bagian dari pemberian stimulus jilid II untuk menekan dampak virus corona terhadap ekonomi.

Dikutip dari Liputan6.com, Jumat 13 Maret 2020, Sekretariat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, mengatakan kementeriannya tengah mengusulkan adanya penundaan pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan tersebut.

" Yang BPJS, juga kita akan mencoba mengusulkan pembebasan atau penundaan nanti terkait dengan iuran beberapa program BPJS,” kata Susiwijono, di Jakarta.

Dia mengatakan ada banyak program di BPJS Ketenagakerjaan, seperti Jaminan Pensiun dan Jaminan Kecelakaan Kerja. Pemerintah akan melihat program yang mana yang bisa mendorong stimulus.

“ Kami mau lihat dulu mana-mana yang bisa bermanfaat untuk mendorong relaksasi tadi,” kata Susiwijono.

1 dari 5 halaman

Akan Dilakukan Hati-Hati

Susiwijono menegaskan pemerintah berhati-hati mempertimbangkan semua kebijakan stimulus jilid ke-II. Dikatakan bahwa total insentif yang dikucurkan untuk stimulus jilid II mencapapi Rp10,3 triliun.

Angkanya jauh lebih kecil daripada insentif yang digelontorkan negara lain sebagai dampak virus corona.

“ Bukan masalah besarnya. Kami hitung betul efektivitas impact-nya. Ini, kan, karena karakteristik dunia usaha dan masyarakat kita, kan, berbeda dengan negara lain,” kata dia.

(Sah, Sumber: Liputan6.com/Pipit Eka Ramadhani)

2 dari 5 halaman

Wabah Virus Corona Baru Ancam Bisnis Hotel dan Restoran

Dream - Virus corona baru, Covid-19, membuat okupansi (tingkat hunian) hotel berkurang cukup besar. Kondis ini mendorong manajemen hotel harus bekerja keras menjaga arus kas tetap stabil salah satunya dengan memangkas biaya operasional.

“ Perusahaan harus mengatur cash flownya, dampaknya pendapatan dari masyarakat juga turun, kalau semua mengalami kondisi seperti ini nantinya akan mengalami masalah baru, yaitu ekonomi terhenti seperti di Wuhan dan Italia,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Hariyadi B. Sukamdani, di Jakarta, ditulis Jumat 13 Maret 2020.

 

 

Opsi pemotongan biaya operasional salah satunya dilakukan dengan memangkas tenaga kerja atau karyawan hotel. Namun, Hariyadi menepis langkah itu sebagai pemutusan hubungan kerja (PHK).

“ Ini bukan murni PHK," tegasnya. 

Menurut Hariyadi, perusahaan perhotelan selama ini mempekerjakan tiga kategori pegawai yaitu harian, kontrak dan tetap. Saat ini pegawai harian di sejumlah hotel sudah tak lagi dipekerjakan. Sementara pegawai kontrak dan tetap harus menjalani sistem shift kerja.

" Seperti di Bali, sudah mulai terjadi pergiliran dan sisanya dirumahkan," kata dia.

Rata-rata perusahaan pengelola hotel dilaporkan telah menurunkan biaya produksi untuk pengeluaran tenaga kerja sebesar 50 persen.

 

Untuk mengatasi masalah yang dihadapi pengelola hotel, PHRI mengaku tengah meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menangguhkan atau memberi relaksasi pinjaman yang dimiliki perusahaan hotel.

Salah satu usulannya adalah relaksasi agar perusahaan hanya membayar pinjaman pokok.

3 dari 5 halaman

Bagaimana dengan Restoran?

Tidak hanya bisnis hotel yang mengalami gangguan akibat virus corona. Pengelola restoran juga menghadapi persoalan yang tak kalah kecil. Beruntung pengusaha kuliner bisa menghadapi masalah ini lebih sederhana.

“ Restoran ini sama saja, lebih banyak karyawan kontraknya, jadi restoran itu relatif lebih less complicated lah dibanding hotel, jadi hotel lebih bisa beradaptasi menyesuaikan jumlah karyawannya,” kata dia.

Menghadapi wabah virus corona, Haryadi mengatakan, PHRI sudah mengkomunikaskan langkah-langkah antisipasi yang harus dilakukan pengelol hotel dan restoran terhadap tamu-tamu maupun pegawainya .

" Penggunaan thermal scanner, yang bapak ibu sekalian lihat, kalau masuk ke hotel sudah diukur suhunya ya, lalu juga melihat dari tampilan fisik, mungkin banyak yang nggak panas, tapi kalau kita lihat mukanya pucet dan sebagainya, itu kita minta untuk ke klinik," kata dia.

(Sah, Laporan: Raissa Anjanique Nathania)

4 dari 5 halaman

Gara-Gara Virus Corona, Pariwisata Indonesia Rugi Rp21 Triliun

Dream - Sektor pariwisata tidak luput dari dampak wabah virus Corona baru, Covid-19. Penyebaran virus yang sudah ditetapkan sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia itu benar-benar membuat dunia pariwisata Indonesia lesu. 

“ Dampak ekonominya sangat besar karena melumpuhkan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Untuk hari ini saja, okupansi hotel sudah mencapai 30 persen,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Hariyadi Sukamdani, di Jakarta, Kamis 12 Maret 2020.

Kerugian yang harus ditanggung pariwisata Indonesia sejak Januari silam mencapai US$1,5 miliar atau sekitar Rp21,69 triliun. Kerugian terbesar terjadi karena berkurangnya turis dari China.

 

 

Tahun lalu, tambah Hariyadi, jumlah wisatawan Negeri Tirai Bambu mencapai 2 juta orang. Satu orang turis rata-rata menghabiskan uang sebanyak USS$1900 atau sekitar Rp27,48 juta.

Menurut Hariyadi, jumlah turis China merosot separuhnya. Terlebih dari awal Februari 2020 saat penerbangan dari Negeri Panda itu ditiadakan. “ Bisa diasumsikan jumlah turis yang hilang baru separuhnya yang bernilai US$1,1 miliar (Rp15,91 triliun),” kata dia.

Ditambah lagi pembatalan kedatangan dari turis luar negeri dan domestik lainnya. “ Perkiraan kami itu sudah US$400 juta (Rp5,79 triliun),” kata Hariyadi.

5 dari 5 halaman

Harus Direvisi

Melihat angka kerugian yang tinggi di sektor pariwisata, Hariyadi meminta pemerintah untuk merevisi target di sektor itu pada tahun ini.

“ Sudah jelas pasti revisi, pertumbuhan ekonomi kita itu diperkirakan 5,2 persen tahun ini,” kata dia.

Kalaupun bisa mencapai 4,5 persen, kata dia, itu sudah sangat bagus. Menurut Haryadi, perkembangan ekonomi khususnya di sektor pariwisata, semua bergantung pada kondisi dan kepanikan masyarakat.

" Dengan sekarang ini sudah memasuki bulan maret, bulan depan sudah bulan ramadhan, kalau ini tidak ada sesuatu yang bisa mengembalikan, ya kira-kira di angka 4,5 persenlah kurang lebih," kata Haryadi.

(Laporan: Raissa Anjanique Nathania)

Beri Komentar