Ilustrasi
Dream - Seperti tahun-tahun sebelumnya, eksekusi mati terhadap empat terpidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dari satuan elit Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Republik Indonesia.
Meski mereka adalah orang-orang terlatih menghadapi perang, namun menjadi algojo untuk menghabisi terpidana mati ternyata tidak mudah.
Seorang anggota Brimob yang menjadi algojo hukuman mati mengisahkan pengalamannya. Saat diwawancarai The Guardian, dia mengaku lebih mudah menarik pelatuk. Yang paling sulit adalah saat menyentuh tubuhnya secara langsung.
Dia harus mengikat tubuh calon korbannya di sebuah tiang dengan tali. Itu adalah momen terakhir yang paling dekat dengan terpidana mati.
" Beban mental yang lebih berat itu dipikul petugas yang harus mengikat terpidana, ketimbang algojo penembak," kata dia. " Soalnya mereka bertanggung jawab untuk menjemput, mengikat, dan membawa terpidana ke tiang eksekusi sampai akhirnya mereka mati."
Menurut dia, selain tugas harian, anggota Brimob juga dipilih untuk menjalankan eksekusi terhadap terpidana. Mereka dibayar kurang dari Rp1,3 juta untuk melaksanakan tugas tersebut.
Dia menggambarkan saat-saat paling suram dari apa yang disebut 'pekerjaan' itu. Ketika menjadi orang terakhir yang menyentuh terpidana beberapa saat sebelum mereka 'dibebaskan dari kehidupan mereka'.
" Kami melihat terpidana itu dari dekat, dari saat mereka masih hidup, berbicara, hingga mereka mati. Kami tahu persis semua kejadian itu."
Lima anggota Brimob ditugaskan untuk mengawal setiap terpidana, dari mulai mereka keluar sel isolasi hingga menggiring mereka ke tiang. Dia mengatakan, terpidana bisa memilih untuk menutup wajah mereka sebelum diikat supaya posisi jantung atau tubuh mereka tidak bergerak saat berdiri di tiang.
Dengan tali tambang mereka mengikat terpidana ke tiang dalam keadaan berdiri atau berlutut sesuai keinginan mereka. Dia tidak berbicara kepada terpidana ketika menjalankan tugasnya namun memperlakukan mereka dengan lembut.
" Saya tidak berbicara dengan terpidana. Saya perlakukan mereka seperti keluarga sendiri. Saya hanya bilang, 'Maaf, saya hanya menjalankan tugas'," kata dia.
Para algojo itu dipilih berdasarkan kemampuan menembak dan kondisi mental serta kebugaran fisik. (Sah)
" Kami datang, ambil senjata, menembak, dan menunggu terpidana dinyatakan mati. Jadi, setelah senapan menyalak, kami menunggu 10 menit, jika dokter mengatakan terpidana mati maka kami kembali, begitu saja," ucap algojo itu.
Seorang dokter akan memeriksa terpidana untuk memutuskan apakah dia sudah mati atau belum. Jika belum maka petugas akan menembak di kepala dalam jarak dekat. Korban kemudian akan dimandikan dan dimasukkan ke dalam peti mati.
Dia mengatakan, hanya menjalankan tugas berdasarkan aturan hukum.
" Saya terikat sumpah prajurit. Terpidana sudah melanggar hukum dan kami hanya algojo. Soal apakah ini berdosa atau tidak kami serahkan kepada Tuhan."
Advertisement
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Penampilan Alya Zurayya di Acara Dream Day Ramadan Fest 2023 Day 6
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Bahaya Duduk Terlalu Lama di Toilet, Wasir Hingga Gejala Kanker
Prabowo Subianto Resmi Lantik 4 Menteri Baru Kabinet Merah Putih, Ini Daftarnya
Menanti Babak Baru Kabinet: Sinyal Menkopolhukam Dirangkap, Akankah Panggung Politik Berubah?