Gus Solah Bicara Soeharto, Kebiri, Sampai Ustaz Seleb

Reporter : Maulana Kautsar
Senin, 6 Juni 2016 20:06
Gus Solah Bicara Soeharto, Kebiri, Sampai Ustaz Seleb
KH Solahuddin Wahid menjawab lugas fenomena sosial yang ada di masyarakat. Ini pandangannya.

Dream - Sejumlah media massa baik online, cetak, maupun televisi belakangan kerap memuat kabar mengenai sejumlah persoalan. Mulai dari maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, isu pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan, hingga kekerasan kelompok mayoritas terhadap minoritas.

Hal ini menggelitik perhatian KH Solahuddin Wahid. Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur yang merupakan adik dari Mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini punya pandangan terhadap semua persoalan yang ada.

Dalam sebuah sore, tepatnya pada Minggu, 29 Mei 2015, pria yang akrab dengan sapaan Gus Solah ini berkenan meluangkan waktu berbincang di rumahnya, komplek Pondok Pesantren Tebuireng. Dalam suasana santai, Gus Solah banyak berbicara mengenai situasi nasional saat ini, termasuk pula pergolakan dalam tubuh organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama.

Berikut petikan wawancara jurnalis Dream, Maulana Kautsar dengan Gus Solah.

Kasus kejahatan seksual pada anak belakangan kerap muncul dan ramai menjadi pemberitaan. Bagaimana pendapat Anda?

Perppu sudah terbit. Menjadi hak dari DPR untuk menolak ataupun menyetujui. Ya kita serahkan kepada negara. Yang saya baca dari kalangan kodekteran banyak menolak hukuman kebiri. Jadi kalau mau kebiri jangan pakai kimia, potong saja sudah selesai.

Karena kalau pakai kimia itu yang saya baca banyak masalah, jadi banyak yg bersuara dari kalangan kedokteran. Ini bukan persolan libido. Ini persoalan kejiwaan. Tapi, saya nggak tahu, saya bukan ahli. Ya, kita serahkan kepada proses konstitusional yang ada. Tapi, hukum ini ada di hilir.

Padahal masalahnya ada di hulu, di pangkalnya. Ini juga masalah, berarti pendidikan. Baik pendidikan di sekolah, ataupun pendidikan di keluarga, ataupun pendidikan di masyarakat. Melalui media yang ada juga mendidik si anak. Kita bisa menjaga anak-anak supaya tidak terbawa kepada kekerasan.

Lantas hukuman apa yang efektif?

Kebiri itu efektif, cuma dari perspektif hak asasi malah ditentang. Hukuman mati juga ditentang. Mungkin jalan tengahnya ya hukuman seumur hidup. Karena itu sudah mencegah dia untuk melakukan lagi kejahatan itu.

Apakah ada kekerasan di pesantren?

Nah, tentunya anak di sini mulai umur 12. Sebelum umur 12 sudah terbentuk di rumahnya dari tempat dia berasal. Jadi kita memberikan informasi, memberikan dorongan dan pengertian kepada orangtua supaya anak dibuat cenderung tidak kepada kekerasan. Termasuk juga dalam berbicara.

Kalau orangtua berbicara kasar kepada anaknya, otomatis si anak akan mendapatkan kesulitan. Dia tidak akan mendapatkan kawan. Jadi kita harus memnberikan pengertian kepada orangtua.

Jadi pondok pesantren menghindari kekerasan pada anak?

Ya, di sini iya. Banyak yang kami keluarkan. Kami di Tebuireng tidak melakukan tindakan kekerasan. Jadi jika ada santri yang memukul santri lain dapat langsung dikeluarkan. Kalau gurunya yang melakukan ya diperingatkan. Ini dilakukan karena di sejumlah pesantren ada kasus santri yang meninggal. Tapi, tentunya itu tidak disengaja.

Bagaimana melihat polemik mengenai Undang-undang Jaminan Produk Halal dan Sertifikasi Halal?

Ya, saya malah bertanya. Kalau undang-undang-nya sih oke. Tetapi, kalau sertifikatnya, kenapa nggak yang haram saja yang diberi label.

Sebab, kalau menurut saya, pada prinsipnya semuanya itu halal. Kecuali makanan yang tidak disembelih dengan nama Allah. Itu sudah diatasi, kayak daging sapi. Walaupun kita impor dari manapun juga. Termasuk dari Australia-kan sudah ada mekanisme untuk menjaga kehalalannya.

Islam Indonesia dianggap sebagai jalan keluar konflik di Timur Tengah. Apa pendapat Anda?

Memang beda sekali. Sejarahnya juga beda. Kondisi saat itu dengan sekarang juga beda. Jadi tidak mungkin kita bisa membedakan. Pertanyaannya, apakah kita bisa menularkan, membimbing atau mengajari mereka? Saya enggak tahu juga. Apakah semudah itu, saya pikir nggak juga. Karena itu kepentingan juga.

Islam di sana itu belum konvergen. Di kita sudah. Saya mengambil istilah perpaduan antara keindonesian dengan keislaman. Ada empat contohnya.

Pertama, para ulama di Indonesia dari awal menerima Pancasila, walaupun di 1945 terpaksa, di 1984 NU diikuti yang lainnya menerima. Kedua, Kementerian Agama. Ketiga, pendidikan pesantren. Keempat, beberapa undang-undang, salah satu contohnya undang-undang perkawinan.

 

1 dari 4 halaman

Kepahlawanan Soeharto

Kepahlawanan Soeharto © Dream

Muncul dukungan agar Mantan Presiden Soeharto diangkat menjadi pahlawan. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Saya mau cerita, tahun 2000 saya pernah diminta bicara di Kementerian Sosial bersama Ruslan Abdul Gani dan seorang tokoh tapi saya lupa. Ada pertanyaan seperti ini, apakah Pak Harto akan diberikan gelar Pahlawan Nasional? Pak Ruslan nggak mau menjawab. Yang satu juga nggak mau menjawab.

Saya bilang begini, Bung Karno itu mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun 1983. Dia meninggal tahun 70, dia berhenti sebagai presiden tahun 1966. Jadi ada 17 tahun. Jadi Pak Harto, kira-kira 17 tahun setelah dia berhentilah paling cepat.

Nah, sekarang sudah lebih dari 17 tahun. Tapi penolakan masih kuat. Ini sangat tergantung pada Presiden Jokowi. Apakah mau memberikan atau tidak. Dugaan saya sih tidak. Belum saatnya. Tadi saya katakan, semakin lama sisi negatif Pak Harto semakin berkurang. Sisi positif Pak Harto semakin bertambah.

Apakah Anda setuju Soeharto menjadi pahlawan?

Saya tidak mendukung, juga tidak menolak. Terserah aja. Pak Harto jasanya banyak, dosanya juga banyak. Dan nanti secara nasional akan sampai keseimbangan antara plus dan minus. Antara jasa dan kesalahan. Setelah itu keseimbangan dilampaui otomatis jasanya lebih besar dari kesalahan. Saat itulah dia bisa diterima.

 

2 dari 4 halaman

Mahad Aly dan Fenomena Ustaz Selebritis

Mahad Aly dan Fenomena Ustaz Selebritis © Dream

Pemerintah akhirnya mengakui status Mahad Aly sebagai pendidikan tinggi berbasis pondok pesantren yang setara dengan perguruan tinggi. Apakah ini jadi momentum sejarah baru?

Ya, sebetulnya ini bagian dari upaya menjawab masalah yang sedang kita hadapi. Pesantren itu sebenarnya pelan-pelan mendapat posisi di kalangan masyarakat. Tapi tidak diikuti hasilnya, justru ulama yang mumpuni itu berkurang.

Tidak tahun empat tahun terus jadi ulama. Kan ndak mungkin. Untuk mencapai tingkatan ulama zaman dulu perlu dijaga mutunya. Tapi, pendirian Mahad Aly ini tidak perlu diobral di mana-mana. Sebab, standar mutu harus dijaga.

Bagaimana dengan ulama yang sering tampil di televisi?

Itu bukan ulama. Itu ustaz dadakan. Ulama itu betul-betul paham. Bagaimana ayat itu turun, hadis itu turun, gitu. Konteksnya ada. Kalau kita nggak pakai konteks kita lepas dari keadaan sesungguhnya.

Ada persoalan, ustaz dadakan, ada mutu yang turun. Terus salah siapa?

Aduh saya nggak tahu he he he. Yang sekarang muncul kan, ada ustaz yang ngomong sesuatu diprotes banyak orang. Yang disampaikan bagian yang kecil, khilafiyah, itu yang harus dipahami.

Kalau dia menjudgement dalam hati, itu hak dia. Tapi, kalau disampaikan di depan umum itu kan jadi masalahkan.

Adakah beda dengan zaman dulu jika terjadi silang pendapat?

Saya nggak begitu tahu. Setahu saya, yang saya inget, debat antara Mbah Wahab (KH Wahab Hasbullah) dengan Ustaz Ahmad Hasan (pendiri Persatuan Islam atau Persis). Debatnya ya anu, tajam. Tapi, yang tahu kan orang sekitar situ saja. Kalau sekarang kan sak Indonesia tahu (satu Indonesia tahu). Kadang ikut ribut juga antara yang setuju sama yang tidak.

Perbedaan itu pasti timbul, makanya perlu yang arif. Kita ini (umat Islam) kadang toleran dengan agama lain, tapi tidak toleran dengan agama kita sendiri.

Kadang dia harus menyebut, qulil haq walau kana murron (sampaikanlah kebenaran walaupun itu pahit). Tapi kalau menimbulkan masalah kan mending tidak kita sampaikan. he he he. Ucapan natal misalnya, kalau saya, ucapkan ya monggo, enggak ya silakan. Yang boleh, jangan nyalahkan yang nggak boleh. Kalau menurut saya begitu. Itu namanya menghormati pendapat orang lain.

 

3 dari 4 halaman

Ramadan dan Potret Kekerasan

Ramadan dan Potret Kekerasan © Dream

Ramadan identik dengan toleransi, tetapi justru muncul serangan pada warung makan. Adakah pesan Ramadan tahun ini?

Saya pikir yang punya warung itu juga punya kepekaan ya. Di daerah dimana dia melihat masyarakat menolak, pasti dia nggak buka. Tapi, jika dia di Jakarta pasti bukalah. Soalnya banyak orang yang membutuhkan kan?

Ada pekerja bangunan, kuli pikul, itu diperbolehkan tidak puasa. Agama memperbolehkan. Mereka kan butuh makan. Ngapain orang-orang itu ngurusin yang begituan.

Tidak mungkin ada orang puasa yang kemudian pengen makan. Kalau ada, satu banding sejuta kali. Itu kan untuk orang yang tidak puasa, dan orang yang tidak puasa kan butuh makan. Nggak perlu pakai diserbu.

Belakangan kerap terjadi tindak kekerasan mayoritas kepada minoritas. Apakah ini dibenarkan?

Saya sepakat Ahmadiyah bukan Islam. Tapi saya tidak sepakat masjidnya dirusak. Saya pernah melihat foto di halaman depan Jakarta Post, warga Ahmadiyah Bukit Duri salat di jalan. Karena nggak boleh salat di masjid. Itu kan nggak betul. Kan masjid-masjid dia kok. Itu tidak menghargai perbedaan.

Bukankah dalam Islam dikenal perlunya memerangi orang yang mengaku nabi?

Iya. Tapi tidak dengan fisik kan. Cukup mengatakan itu tidak benar. Sekarang kalau mau menutup harusnya melalui jalur pengadilan. Tempuhlah proses hukum. Itu gunanya bernegara itu. Termasuk dalam kasus Syiah.

 

4 dari 4 halaman

NU dan Komunisme

NU dan Komunisme © Dream

Kabarnya Nahdlatul Ulama (NU) sempat dilanda pergolakan internal?

Ya memang ada perang pemikiran. Pemikiran Mbah Hasyim itu ditafsirkan macam-macam. Ada yang konservatif ada yang liberal. Tapi, jumlahnya ini masing-masing sedikit. Yang banyak yang tengah-tengah.

Kalau kepengurusan, ada gugatan sejumlah pengurus wilayah NU tingkat provinsi mengenai kepengurusan NU yang dianggap tidak sah. Sebab, penyusunannya tidak melalui pemilihan. Tidak ada kesempatan memberikan suara. Peserta muktamar 60 persen tidak mau ngisi.

Itu yang kemudian membuat Gus Mus (KH Musthofa Bisri) menangis saat Muktamar NU di Jombang kemarin?

Oh, bukan. Itu awalnya, ketika ribut masalah tata tertib. Kemudian Gus Mus pidato meminta maaf. Tata tertib yang ngawur itu nggak dipakai kemudian. Lha, sebagai bentuk pertanggungjawaban Gus Mus bahwa muktamar tidak berjalan baik, beliau tidak mau diangkat jadi Rais Aam. Buat saya menafsirkan begitu.

Bagaimana menanggapi munculnya kembali simbol-simbol komunisme?

Saya nggak tahu persis apa yang dimuat di media sosial dan berita itu rekayasa atau bukan. Mestinya yang tahu ini kan intel ya. Kepolisian maupun intel BIN. Seperti apa yang sebetulnya? Apa orang yang pakai kaos palu arit itu paham atau enggak? Keturunan PKI atau enggak? Kalau enggak paham, kita kasih tahulah. Kemudian, kalau keturunan PKI itu permasalahkan, harus bagaimana itu wilayah hukum.

Bukankah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Presiden Ketiga Indonesia) pernah ingin mencabut Tap MPR XXV/1966 itu?

Itu Gus Dur nggak paham kondisi itu. Itu sebetulnya sederhana kok. Yang cerita itu, ponakan saya. Waktu itu dia mengajak anaknya Oemardhani di istana. Terus cerita, orang tuanya nggak bersalah, ya dizalimi gitu. Nah Gus Dur berpikir mencabut Tap MPR itu masalah selesai. Tapi, jujur Gus Dur nggak paham, karena Gus Dur sedang di luar negeri pada 1965, sekolah di Mesir. Tidak merasakan kondisi itu.

Dan itu salah satu kesalahan Gus Dur, yang termasuk kesalahan fatal Gus Dur. Ketika mau mencabut Tap MPR itu yang pertama bereaksi akhirnya TNI, partai-partai Islam dan Golkar. Makanya ketika Gus Dur dekrit tidak ada yang dukung.

Gus Dur menggali kubur sendiri, membuat kesalahan yang tidak perlu. Tidak memahami batas yang boleh dan yang tidak boleh.

Dalam politik Gus Dur kerap melakukan kesalahan?

Ya, dia itu kadang nggak paham yang mengangkat dia itu seluruh partai. Kebersamaan itu. Yang kedua, dia nggak paham Undang-undang. Dia menganggap sistem pemerintahan kita itu presidensiil. Padahal tidak. Itu semi-presidensiil.

Mengangkat Megawati sebagai Wakil Presiden juga menjadi kesalahan Gus Dur?

Kalau waktu itu Gus Dur mengangkat Wiranto, Amin Rais atau Akbar Tanjung, itu tidak mungkin mendapat tekanan. Soalnya masih bernuansa orde baru kan.

Waktu itu Gus Dur setujunya Akbar Tanjung. Cuma waktu itu, melihat ada ribut-ribut bakar-bakaran di Bali, nggak jadi. Tapi itulah sejarah nggak perlu dibahas lagi.

Bagaimana kekuatan kaum santri dalam politik?

Ya, sekarang nggak ada. Ketika Gus Dur jatuh dan ribut di dalam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai itu sudah jatuh berkeping-keping.

Lantas bagaimana dengan NU?

Nah, menurut saya NU memang seharusnya nggak berpolitik. Tapi, sekarang NU itu jadi alatnya PKB. Di berbagai daerah seperti itu.

Beri Komentar