Dream - Para orangtua, murid dan guru di Indonesia sudah cukup akrab dengan sistem full day school. Sistem ini membuat para murid berada sekitar 8 hingga 9 jam di sekolah dengan berbagai aktivitas. Bukan hanya belajar, tapi juga ekstrakurikuler.
Siapa sangka di Inggris ada sekolah yang menerapkan durasi sekolah mencapai 12 jam, yaitu di sekolah All Saints Catholic College. Sekolah yang berlokasi di London barat, termasuk sekolah yang memiliki banyak sekali peminat.
Penerapan sekolah selama 12 jam baru saja diujicoba oleh kepala sekolah Andrew O'Neil. Menurutnya, hal ini memang cukup radikal dan tak dipungkiri memicu pro kontra.
" Kami melakukan ini untuk membangun kembali rasa memiliki pada anak-anak. Perilaku anak-anak jadi cenderung apatis pascapandemi," kata O'Neil.
Berada di sekolah selama 12 jam bukan berarti anak-anak belajar terus menerus. Justru menurut O'Neil, para murid akan banyak bermain dan berinteraksi tanpa bermain gadget. Sekolah ini berlangsung mulai dari pukul 07.00 pagi hingga 19.00 malam.
" Hal yang paling mereka sukai adalah kebersamaan. Mengumpulkan anak-anak, makan atau bermain, dan mereka hanya mengobrol, saling mengejek, melakukan semua hal yang disukai anak-anak — kami hanya mengaturnya untuk mereka," kata O'Neil.
Siswa memang tidak dipaksa menjalani program sekolah 12 jam. Mereka yang ikut, akan sarapan dan makan malam di sekolah. Aktivitas yang dilakukan setelah jam sekolah selesai, yaitu kegiatan pendalaman materi selama satu jam.
Lalu diikuti dengan kegiatan ekstrakurikuler. Seperti pickleball, kelas seni, atau memasak sebelum makan malam bersama teman-teman mereka. Program ini membebankan biaya tetap sebesar £10 ($13) atau Rp210 per minggu per anak.
" Sarapan dan makan malam bersama teman-teman sekelas " menenangkan" bagi para murid. Ini juga jadi kesempatan untuk mendapatkan tutor lebih guru dalam mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat mereka merasa tidak terlalu stres," kata O'Neil.
Eksperimen yang dilakukan All Saints dengan sekolah 12 jam muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang dampak ponsel pintar dan media sosial pada remaja. Buku terlaris " The Anxious Generation" karya Jonathan Haidt menambah panasnya suasana dengan menyatakan bahwa maraknya penggunaan ponsel pintar dikaitkan dengan peningkatan penyakit mental.
Zach Rausch, seorang ilmuwan peneliti asosiasi di Sekolah Bisnis NYU-Stern dan peneliti utama untuk Haidt, menyebut uji coba All Saints sebagai contoh " fenomenal" dari " masalah tindakan kolektif."
" Dalam banyak hal, uji coba ini mengembalikan masa kanak-kanak yang normal. Hal ini menunjukkan anak-anak ini tidak selalu ingin menggunakan ponsel di kamar tidur mereka, tetapi jika itu yang terjadi dan semua orang melakukannya," kata Rausch.
Sumber: Bussines Insider
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN