Nurhayati Subakat Sebagai Pemilik Wardah (Forbes)
Dream – Mengenakan hijab berwarna pink lembut sesuai dengan warna baju yang dikenakan, ada yang khas pada wanita berkacamata itu. Senyum lepasnya tampak mengembang, Tak habis-habis. Saat itu dia tengah diwawancara di podcast Pita Kuning melalui zoom yang kemudian tayang di Youtube.
Dengan senyum yang terus-menerus lepas, dia menjawab tentang sejarah perusahaannya. Secara runtut. Dan tentu saja, ramah.
Tak ada yang berubah pada sosok wanita itu. Sama ramahnya seperti yang pernah ditemui Dream.co.id di kediaman pribadinya di daerah Jakarta Selatan, tujuh tahun lalu.
Wanita itu adalah Nurhayati Subakat, pemilik Wardah. Ia kini tidak lagi memegang jabatan sebagai Chief Executive Officer atau CEO di perusahaan produsen kosmetik Wardah, PT Paragon Technology and Innovation. Jabatan CEO itu kini dipegang putera keduanya, Salman Subakat.
Nurhayati yang tahun ini berusia 71 tahun kini duduk sebagai Komisaris Utama. Wardah sekarang memang dipegang dan dikelola oleh generasi kedua. Putera dan puteri Nurhayati dan suaminya, Subakat Hadi.
Putera pertamanya, Harman Subakat, kini menjabat sebagai Group Chief Executive Officer. Sedang puteri terakhirnya, dr. Sari Chairunnisa, Sp.KK kini menjabat sebagai Direktur Research & Development (RnD). Kendali perusahaan sehari-hari kini sepenuhnya dipegang oleh generasi kedua.
Namun, meski sudah menepi dari operasional perusahaan sehari-hari, sosok Nurhayati masih kerap diidentikkan sebagai personalisasi Wardah. Sampai sekarang.
***
Perjalanan Wardah memang tak bisa dilepaskan dari sosok Nurhayati Subakat.
Nurhayati lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 27 Juli 1950. Ia adalah anak keempat dari delapan saudara dari pasangan Abdul Muin Saidi (almarhum) dan Nurjanah (almarhumah).
Nurhayati mengenyam pendidikan di SD Latihan SPG Padang Panjang, lalu ke Diniyah Putri Padang Panjang. Setelah lulus, dia melanjutkan ke SMA 1 Padang. Kemudian kuliah di Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1971.
Nurhayati merupakan alumnus Farmasi ITB yang lulus pada 1975 dengan predikat lulusan terbaik. Ia juga mendapat predikat yang sama saat lulus dari pendidikan profesi apoteker di ITB pada 1976.
Setelah lulus, mimpinya tak muluk-muluk. Ia ingin menjadi dosen.
Berbekal titel sebagai lulusan terbaik ITB, Nurhayati cukup percaya diri melamar pekerjaaan sebagai dosen. Dia berpikir, dia lulusan terbaik, jadi dia pikir pasti mendapat pekerjaan sebagai dosen. Ternyata dia ditolak.
Di Jawa, dia kesulitan mendapat kerja, lalu dia pulang ke kampung halaman. Dia sempat bekerja sebagai apoteker di Rumah Sakit Umum di Padang.
Saat menikah dengan Subakat Hadi, alumnus ITB jurusan teknik kimia angkatan 1968, dia memilih hijrah ke Jakarta. Nurhayati kemudian bekerja sebagai manajer quality control di sebuah perusahaan kosmetik multinasional yang sudah sohor, Wella Cosmetics.
Nurhayati belajar banyak selama lima tahun bekerja di perusahaan multinasional itu. Tapi di sini dia mengalami kendala. Pimpinan yang dulu memberikan sedikit kebebasan untuk mengurus anak-anaknya, diganti. Dan pimpinan baru ingin dia masuk kerja secara full time. Ia kemudian mengundurkan diri. " Saya kurang cocok dengan seorang petinggi di situ," kenangnya kepada Dream.co.id.
Keluar dari perusahaan raksasa itu, dia tak mau menyerah. Dapur harus mengepul. Semangat harus menyala. Tiga anaknya terus tumbuh, butuh uang yang cukup. Dia lalu memulai bisnis sendiri.
Itu di tahun 1985. Ia mendirikan PT Pusaka Tradisi Ibu. Sebuah industri rumahan. Semula tenaga kerjanya cuma dua orang. Pembantu rumah tangganya sendiri. Produk pertama yang dibesut adalah sampo dengan merek Putri. Ia membesarkan si Putri itu dengan mengucurkan keringat. Ia memasarkannya ke salon-salon kecantikan.
Si Putri itu mekar berkembang. Keuangan juga mulai berkilau. Meski pelan diterima pasar. " Alhamdulillah, sebagian besar salon menerima produk kami," kata Nurhayati mengenang masa pahit itu. Saat itu sejumlah produk besutannya dikenal di salon-salon ternama di Jakarta. Sudah bisa diramalkan, masa depan perusahaan ini bakal kemilau.
Tapi cobaan berat datang lima tahun kemudian. Pabriknya hangus terbakar pada bulan April 1990. Usaha yang dirintis dari nol itu tiba-tiba saja jadi arang. Lenyap juga semua mimpi yang sudah lama menyala itu.
Dihantam krisis ke titik nadir seperti itu, Nurhayati hendak menutup perusahaan itu. Matematika bisnis sudah tak mungkin membangkitkan usaha itu. Sudah tak masuk akal. Utang di bank belum lunas. Ketika usaha ini merangkak naik, Nurhayati memang membeli secara kredit sebuah mobil boks. Mobil itulah yang mengantarkan si Putri ke salon-salon. Jadi? Jalan paling masuk akal, tutup itu usaha.
Tapi Nurhayati bukan seorang pebisnis belaka. Dia juga seorang ibu, yang bisa meleleh air mata memikirkan nasib para karyawannya. " Bila perusahaan saya tutup, bagaimana nasib mereka," kenangnya mengingat masa-masa susah itu. Mencoba bangkit juga sungguh tak gampang.
Dan Nurhayati memutuskan untuk terus berjuang. Dia mulai lagi. Dari nol. Benar-benar nol. Modal awal pinjam dari tabungan suami. Bayar gaji karyawan diambil dari gaji bulanan suami. Kerja keras episode kedua ini juga ada hasilnya. " Bahkan bisa bayar gaji dan THR para karyawan," kisahnya.
Nurhayati juga diuntungkan dengan kebijakan Bank Indonesia yang mewajibkan setiap bank memberikan dua persen porsi pinjamannya ke usaha kecil dan menengah. Ia pun meminjam modal ke bank milik negara. Ia mengajukan pinjaman Rp 50 juta. Tapi malah diberi Rp 150 juta. Tak sampai setahun, tepatnya pada Desember 1990, Nurhayati sudah bisa mendirikan pabriknya kembali seraya menyusun strategi untuk mengembangkan bisnisnya.
Sesudah itu mesin pabriknya terus menderu. Begitu untung, dia melakukan inovasi. Dan salah satu inovasi itu masuk ke bisnis kosmetik. Nurhayati jitu membidik konsumen. Merekam apa yang diperlukan dunia di sekitarnya. Dari pergaulan sehari-hari dia merasa bahwa ada kebutuhan para muslimah untuk tampil elegan. Merias diri secara bebas tanpa perlu cemas soal halal tidaknya sebuah produk.
Nurhayati seperti menemukan rumah usahanya. Pada tahun 1995, dia membidik segmen muslimah. Meramu produk kosmetik yang kini kita kenal dengan nama Wardah. Artinya bunga mawar dalam bahasa Arab. Nama itu dia dapat dari seorang tokoh Pesantren Hidayatullah. Ia memang mulai bekerjasama dengan pesantren untuk memasarkan Wardah.
Perlahan si bunga itu mekar. Merangsek pasar. Mulai dikenali dan jadi kosmetik langanan kalangan kelas menengah ke atas. Kaki bisnis ini kuat. Konsumen juga setia. Kesetiaan pemakai dan manajemen yang kuat membuat Wardah sanggup melewati badai krisis yang menggulung ekonomi Indonesia 1997.
Banyak cara ditempuh memasarkan produk kosmetik ini. Selain lewat sejumlah agen di beberapa kota besar, Wardah juga dipasarkan dengan cara Multi Level Marketing (MLM).
Dan kerja keras itu memang ada hasilnya. Produk Wardah terus berkembang seiring dengan membaiknya ekonomi nasional. Modal juga kian banyak. Laba yang diraih dipakai untuk terus memperluas jaringan pasar. Wardah kemudian merangsek ke pasar negara tetangga. Masuk ke kota-kota di Malaysia. Dan di sana sejumlah produknya laku keras. Diminati banyak muslimah di sana, bersaing dengan produk negeri serumpun itu.
Kini Wardah menjadi salah satu produk kosmetik terbesar di Indonesia. Banyak tokoh wanita dan pesohor yang memakai produk kosmetik dan menjadi bintang iklan perusahannya.
Inneke Koesherawati, Dewi Sandra dan Dian Pelangi adalah tiga contoh nyata. Inneke dan Dewi adalah mantan artis. Sementara Dian Pelangi adalah desainer hijab yang sukses dan sudah melalangbuana ke sejumlah negara. Tiga wanita cantik itu adalah bintang iklan Wardah. Syuting iklan Wardah bahkan hingga ke kota Paris.
***
Pada masa awal, ketiga anaknya tidak sepenuhnya mendukung usaha yang dijalankan oleh Nurhayati. Namun pada 2002 dan 2003, dua puteranya yang baru lulus dari ITB, akhirnya turun langsung membantu sang ibu mengembangkan bisnisnya.
Saat itu, slogan dari Wardah ialah “ Kosmetik Suci dan Aman,” sesuai tujuan awal yang ingin menyediakan kosmetik halal bagi muslimah yang ada di Indonesia.
Kemudian, setelah anaknya terjun langsung mengurus bisnis, banyak inovasi baru termasuk mengubah slogan pada 2009 menjadi “ Inspiring Beauty” yang saat ini akrab di telinga masyarakat. Anak-anak Nurhayati memutuskan me-rebranding Wardah.
Kebetulan fenomena hijaber tengah meledak pada tahun itu. Itu menjadi momentum bagi kebangkitan kosmetik berlabel halal itu. Wardah melejit bahkan sampai bisa beriklan di televisi.
Dari sana terjadi lonjakan luar biasa. Tahun 2010 ia mulai merilis produk Make Over. Di tahun 2011, dia mengganti nama perusahaan menjadi PT Paragon Technology and Innovation.
Tahun 2014, Nurhayati mengeluarkan produk untuk remaja bernama Emina. Kini, perusahaan itu menaungi merek-merek unggulan seperti Wardah, Make Over, Emina, IX.
Berkat kemajuan usahanya itu, Forbes Asia merilis laporan Woman in Business 2018. Majalah itu menilai ada 25 wanita pebisnis yang dianggap memiliki dampak besar dalam dunia bisnis di Asia.
Forbes Asia memilih 25 wanita pebisnis di kawasan Asia Pasifik yang memiliki dampak besar di dunia bisnis, baik dilihat dari uang yang dihasilkan maupun ide dan tren yang mereka usung.
Ada dua wanita Indonesia yang menembus daftar Woman in Business 2018. Salah satunya adalah Co-Founder atau pendiri PT Paragon Technology and Innovation yang terkenal dengan mereknya Wardah: Nurhayati Subakat.
Kini, perusahaannya menjadi market leader kosmetik di Indonesia. Bahkan, pernah menjadi pembahasan di jurnal Harvard Business Review edisi Februari 2019.
Di jurnal Harvard Business Review edisi 7 Ferbuari 2019 ini, berjudul “ How Global Brands Can Respond to Local Competitors,” diungkapkan bagaimana produsen komsetik multinasional kini menghadapi tantangan berat di Indonesia. Dan salah satu penantang serius adalah Wardah.
Di artikel itu ditulis: “ Ambil contoh Wardah, merek kosmetik wanita kecil tapi berkembang di Indonesia. Wardah bertahan dengan menjadi lebih baik dalam menemukan segmen konsumen, dan terlibat dengan konsumen dalam segmen tersebut. Wardah tidak hanya memenuhi kebutuhan kalangan muslimah akan produk make-up dan perawatan kulit yang disesuaikan dengan jenis kulit konsumen lokal, namun produk-produk tersebut juga memenuhi standar halal yang menjadi faktor penting bagi segmen konsumen ini.”
Harvard Business Review memang tidak sedang membual. Buktinya pendiri Wardah, Nurhayati, kini memiliki pabrik seluas 20 hektar, 32 distribution center di seluruh Indonesia, dan satu di Malaysia. Jumlah karyawannya juga fantastis: 11.000 karyawan!
Dan terakhir, pendiri Wardah, Nurhayati Subakat, kembali diganjar sebagai 50 wanita paling berpengaruh di Asia versi majalah Forbes edisi 11 Januari 2022 dalam edisi 'Forbes 50 over 50 Asia.’
Nurhayati kini memang diakui dunia sebagai salah satu wanita paling berpengaruh di Asia. Menjadi salah satu macan betina Asia. Sebuah prestasi yang tidak bisa dicapai oleh sembarang wanita. (eha)
Sumber: Youtube Pita Kuning, Dream, Liputan6, Merdeka, Harvard Business Review, Forbes.
Advertisement
Komunitas InterNations Jakarta, Tempat Kumpul Para Bule di Ibu Kota
Lihat Mewahnya 8 Perhiasan Bersejarah Kerajaan Prancis yang Dicuri dari Museum Louvre
Hobi Membaca? Ini 4 Komunitas Literasi yang Bisa Kamu Ikuti
Baru Dirilis ChatGPT Atlas, Browser dengan AI yang `Satset` Banget
Bikin Syok, Makan Bakso Saat Dibelah Ternyata Ada Uang Rp1000