Ilustrasi (Foto: Freepik)
DREAM.CO.ID - Climate Resilience for All merilis studi terbarunya mengenai suhu di malam hari yang semakin meningkat di berbagai negara di dunia yang mengakibatkan udara terasa lebih panas.
Studi bertajuk " Extreme Heat and the Shrinking Diurnal Range: A Global Evaluation of Oppressive Air Mass Character and Frequency" itu telah menganalisis data cuaca selama periode 30 tahun dari tahun 1994 hingga 2024.
Ada dua jenis kondisi cuaca yang yang dianggap paling berbahaya bagi kesehatan manusia, yakni cuaca tropis kering (dry tropical) yang panas dan kering, dan cuaca tropis lembap (moist tropical) yang panas dan lembap.
Selama periode studi 30 tahun, pola cuaca tropis lembap di musim panas telah meningkat mendekati atau lebih dari 50 persen di Amerika Tengah dan Selatan, Oseania, dan Afrika. Kemudian tumbuh sebesar 37 persen secara global.
Adapun pola cuaca tropis kering telah meningkat sebesar 13 persen selama periode yang sama, dengan peningkatan terbesar di Australia, yang mengalami peningkatan sebesar 29 persen.
Sebanyak 83% kota dalam penelitian ini mengalami suhu malam hari yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Suhu malam hari meningkat paling cepat di Melbourne, Australia (tropis kering), yang meningkat 1°C setiap 5,36 tahun, dan Dubai, UEA (tropis lembap), yang meningkat 1°C setiap 8,81 tahun.

Selama cuaca tropis lembap, Santa Maria, Upington, Seoul, Samarkand, Paris, Kuwait City, Portland, dan Abadan mengalami penurunan suhu terbesar antara siang dan malam hari.
Berikut rincian jumlah kota yang mengalami penurunan suhu per wilayah adalah sebagai berikut:
Afrika: 13 dari 15.
Asia: 18 dari 22.
Amerika Tengah dan Selatan: 10 dari 11.
Eropa: Tujuh dari 12.
Timur Tengah: 5 dari 5.
Amerika Utara: 14 dari 16.
Oseania: Sembilan dari 11.
Kemudian selama cuaca tropis yang kering, Melbourne, Agadir, Seoul, Mumbai, Kairo, Luxor, Kuwait City, dan Santiago mengalami penurunan suhu terbesar antara siang dan malam hari.
Berikut rincian jumlah kota yang mengalami penurunan suhu per wilayah adalah sebagai berikut:
Afrika: 10 dari 14.
Asia: 13 dari 22.
Amerika Tengah dan Selatan: Tujuh dari 11.
Eropa: Empat dari enam.
Timur Tengah: Enam dari tujuh.
Amerika Utara: 11 dari 14
Oseania: Lima dari sembilan.
Studi ini menyimpulkan perlunya tindakan pencegahan dan respons terhadap panas ekstrem untuk secara eksplisit memperhitungkan dan mengatasi ancaman malam hari yang semakin panas dan meningkat pesat.
" Kami ingin analisis ini memobilisasi para pemimpin kota dan kesehatan untuk segera memperluas pandangan mereka tentang krisis panas 24 jam. Penelitian ini mengungkap titik buta yang krusial dalam pemahaman kita tentang panas ekstrem," ujar CEO Climate Resilience for All, Kathy Baughman McLeod.
Advertisement
Mengintip Komunitas Sangkar Semut: Tempat Asah Bakat Anak, Punya Markas Unik di Tepi Kali Ciliwung

Daftar Barang yang Harus Dibawa Dalam Tas Siaga Bencana, Sudah Disiapkan?

FamFest 2025 Hadirkan Pengalaman Seru untuk Lebih dari 1.000 Keluarga Indonesia

Waduh! Pegawai di 5 Bidang Pekerjaan Ini Terbanyak Jadi Sasaran Empuk Loker Abal-Abal

Bawang Merah Bisa Turunkan Panas Anak, Mitos atau Fakta?


Tampil Cantik di Dream Day Ramadan Fest Bersama Beauty Class VIVA Cosmetics

Gratis Kuota Roaming 14 Hari di Singapura & Malaysia untuk Pelanggan PRIORITAS

Serunya Main Padel di Jakarta Bareng Prio Padel Club dari XL PRIORITAS

Bank Dunia Peringatkan Krisis Air Global yang Makin Mengkhawatirkan, Benua-Benua Mulai Mengering

Potret Deddy Corbuzier Rayakan Ultah Sabrina, Vidi Aldiano Protes Tulisan di Atas Kue


Layanan MRT Diberlakukan Terbatas Imbas Pohon Tumbang di Jalur Senayan-ASEAN