Trump Effect

Reporter : Puri Yuanita
Kamis, 17 November 2016 21:45
Trump Effect
Kekerasan merebak setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden AS. Bagaimana nasib Muslim di bawah Trump?

Dream – “ Saya hanya berharap Anda menjadi baik.” Ini adalah doa tulus. Hasrat besar si gadis cilik, Sakeena Ahmed. Lewat secarik kertas, bocah sembilan tahun itu menggantungkan asa pada Donald Trump. Si Republikan.

Sakeena berwalang hati. Khawatir. Tapi resah itu justru menggugah nyali. Pada 3 November, tangan mungil bocah kelas empat sekolah dasar ini menggoreskan ujung pensil ke jeluang. Mengetuk hati Trump lewat untaian kata.

“ Menjadi Muslim sedikit sulit. Bayangkan jika semua orang membenci agamamu,” tulis gadis asal Oak Brook, Illinois, itu. Dia minta Trump membayangkan bagaimana rasanya jika berada dalam kekuasaan dengan pandangan rasisnya.

Takut tak hanya merubung Sakeena. Perasaan sama menggerayangi banyak orang di sekujur negeri. Maklum, sepanjang kampanye presiden, Trump mengumbar pernyataan tendensius. Dengan jargon “ make America great again”, dia sudutkan kaum minoritas Paman Sam.

Tentu masih segar di ingatan. Desember lalu Trump membuat wacana melarang Muslim datang ke Amerika. Mengawasi masjid untuk melawan terorisme. Juga akan membangun sekat beton di perbatasan Meksiko untuk menghalau imigran dari selatan.

Dalam surat itu pula Sakeena bertanya. Bukankah semuanya manusia? Apakah Trump akan merasa sakit jika diperlakukan demikian? Dia juga menolak stigma teroris sebagaimana pernah diucap pria 70 tahun itu.

Dengan lembut, Sakeena menyodorkan sang ayah sebagai contoh. Bapaknya adalah Doktor yang punya andil untuk kemajuan negara. “ Ini adalah bukti bahwa kami baik. Kami tidak jahat. Kami ingin damai seperti Anda.”

***
Kekhawatiran semakin membelenggu minoritas AS sepekan setelah Sakeena menulis surat itu. Pada 8 November, Trump yang tak diunggulkan dalam berbagai survei secara mengejutkan memenangi pemilihan presiden. Menumbangkan Hillary Clinton yang diusung Partai Demokrat.

Trump meraup 279 electoral votes atau suara pemilih. Terpaut jauh dari sang rival yang hanya mendapat 218. Modal itu membawa Trump ke Gedung Putih. Dan 20 Januari tahun depan, dia disumpah menjadi Presiden ke-45 Amerika Setikat. Sah!

Dan rupanya, keekhawatiran Sakeena jadi nyata. Usai kemenangan Trump, kerusuhan berbau rasis menjalar seantero negeri. Ucapan juragan properti itu seolah membakar emosi orang-orang yang sepaham.

Aksi menolak Trump memang gencar digelar. Namun, sejumlah gerombolan yang “ terinspirasi” pidato-pidato Trump mengganggu komunitas lain. Baca saja berita-berita tentang penyerangan di Palm Beach, Florida. Pusat komunitas Muslim Alamin diserang vandalisme oleh orang tak dikenal.

Lihat pula yang terjadi di Universitas Michigan dan Universitas San Diego. Di sana, dua mahasiswi Muslim diserang kelompok orang tak dikenal. Modusnya nyaris serupa, sentimen SARA. Mereka meminta dua mahasiswi itu melepas hijab.

Ketakutan serupa kini dirasakan hampir 3,3 juta Muslim, yang menjadi bagian dari 320 juta lebih penduduk negeri yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 4 Juli, hampir dua setengah abad silam, itu. Kelompok minoritas lain tak kalah ketar-ketir.

Dengarlah penuturan Alia Ali, Muslimah yang bekerja sebagai sekretaris sebuah sekolah negeri di New York. Sehari setelah kemenangan Trump, dia menjadi sangat khawatir akan dipaksa melepaskan hijabnya.

“ Saat bekerja, kamu akan terlihat seperti orang aneh oleh mereka. Apakah orang ini rasis? Apakah mereka menyukaiku? Kondisi ini muncul setelah pemilihan usai,” kata Alia.

Meski begitu, tak semua Muslim Amerika merasa khawatir. Ada pula yang menyikapi kemenangan Trump dengan tenang. Mereka masih percaya pemerintahan mendatang akan melindungi warganya.

Keyakinan itulah yang dimiliki penghafal Quran, Fatih Seferagic. Hafiz berkebangsaan Bosnia yang tinggal di Texas ini menyerahkan semuanya kepada Allah. Dia yakin Tuhan punya rencana terbaik dengan terpilihnya Trump.

“ Aku tak mau bicara mengenai politik. Tetapi, jika kita menyerahkan urusan ini kepada Allah, Insya Allah, masalah-masalah tersebut tidak akan menghantui dan membuat kita hancur,” ucap hafiz bersuara emas itu, saat berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu.

Optimisme juga disampaikan Imam Besar Masjid New York, Shamsi Ali. Menurut pria berkebangsaan Indonesia itu, komunitas Muslim masih menaruh harapan pada pemerintahan mendatang.

“ Ada kekhawatiran di masyarakat Muslim, tapi masih normal. Kami akan berpegang pada konstitusi Amerika Serikat yang menjamin hak kebebasan beragama,” kata Shamsi Ali saat dihubungi Dream, Rabu 16 November 2016. Umat Muslim terus menjalin komunikasi dengan komunitas lain untuk menjaga kerukunan.

Shamsi menambahkan, dalam pertemuan dua hari silam, ada beberapa masukan yang diterima komunitas Muslim. Di antaranya usulan ikut demonstrasi menentang Trump.

Tapi, ada pula yang berpendapat umat Muslim tak perlu menempuh jalur itu. “ Ada pula yang mengusulkan untuk bertemu dengan Donald Trump,” tutur dia.

Menurut Shamsi, kekhawatiran setelah pemilu AS bukan menyasar sosok Trump. Melainkan, retorika kampanye yang melarang imigran dan mendaftar umat Muslim, serta menutup masjid radikal –yang definisinya tak jelas.

“ Ini menjadi angin baru bagi orang-orang yang memiliki kebencian terrhadap Islam,” ucap dia.

Imam kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu menyebut, sejauh ini bentuk kekerasan yang terjadi baru bersifat insiden kecil dan dilakukan dalam bentuk ucapan.

“ Di New York, ada gadis berusia 19 tahun yang diminta melepas jilbab saat masuk ke dalam bus tanpa alasan.”

“ Di Long Island, seorang Muslimah diteriaki oleh tetangganta untuk kembali ke kampung halamannya saat hendak keluar dari rumah,” Shamsi mencontohkan.

Meski rentetan kasus terus terjadi kaum Muslim masih beraktivitas secara normal. “ Kekhawatiran itu ada. Tapi, media massa terlampau membesar-besarkan masalah ini,” ucap Shamsi.

***
Optimisme Fatih dan Shamsi mungkin cukup beralasan. Sebab, meski selama kampanye kerap mengeluarkan pernyataan yang dinilai rasis, Trump justru menyerukan persatuan saat menyampaikan pidato kemenangan.

“ Untuk semua pendukung Partai Republik dan Demokrat dan independen di seluruh bangsa ini, saya mengatakan ini adalah waktu bagi kita untuk bersama-sama sebagai warga satu bangsa,” ujar Trump.

Ya, Trump berjanji tak hanya menjadi presiden bagi sebagian kelompok saja. Melainkan untuk semua warga, baik yang memilih maupun yang tak memilihnya. “ Saya berjanji kepada setiap penduduk tanah kita bahwa saya akan menjadi presiden untuk seluruh warga Amerika, dan ini sangat penting bagi saya.”

Pidato memang sebatas retorika. Tapi, harapan besar untuk perdamaian tetap menyala. Seperti keyakinan Fatih dan Shamsi kepada Trump. Semua berharap, sebagai presiden kelak, Trump tak mewujudkan jargon-jargon rasis selama kampanye.

Semoga Trump benar-benar berubah, seperti harapan Sakeena dalam penutup suratnya. “ Saya berharap surat ini membuat Anda baik.”

Salam damai...

Laporan: Maulana Kautsar

Beri Komentar