Masjid Agung Demak (Shutterstock.com)
Dream – Tumpuk tiga, atap itu berbentuk limas. Segi empat pada bagian bawah, kian ciut di atas. Runcing di pucuk. Sekilas mirip pura. Tapi ini bukan rumah ibadah umat Hindu itu, melainkan Masjid Agung Demak.
Masjid ini dibangun pada zaman Raden Patah, sultan pertama Demak, kerajaan Islam pertama di bumi Jawa, yang lahir di ujung kejayaan Majapahit.
Sehingga tidak heran, atap Masjid Agung Demak yang dibangun pada 1477-1479 masehi itu terpengaruh gaya Hindu, agama yang berkembang di era kerajaan terbesar di Nusantara tersebut.
Masjid Agung Demak menjadi bukti akulturasi Islam dengan budaya lokal. Penyebaran Islam tidak mengubah sesuatu yang sudah mapan sebelumnya, asal tidak bertentangan dengan ketauhidan. Lewat konsep itu, Islam bisa diterima secara luas oleh masyarakat kala itu.
Jika penyebaran Islam tidak menggunakan pendekatan semacam ini, mungkin akan mengalami kesulitan. Dari sudut pandang Islam, atap limas bersusun tiga itu merupakan simbol akidah, yaitu iman, Islam, dan ihsan.
Dalam makalah “ Syncretism in Architectural Forms of Demak Grand Mosque”, Ashadi dan kawan-kawan menyebut ciri ini terdapat pada penggunaan atap tajug atau atap tumpuk.
Hal itu biasa digunakan pada bangunan-bangunan keramat (candi) bagi masyarakat Hindu-Buddha di Jawa.
Dengan hadirnya atap tajug dan beberapa artefak kerajaan, Masjid Agung Demak dikenal juga sebagai bangunan yang memiliki nilai sakral menurut tradisi Islam Kejawen.
Peran Masjid Agung Demak sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa memang sangat penting. Pada masa awal penyebaran Islam di Tanah Jawa, masjid ini diyakini menjadi tempat berkumpulnya para wali yang terkenal dengan sebutan Wali Songo.
Penyebaran Islam di Jawa memang diyakini terjadi sejak abad ke-11, dilakukan oleh para wali di pesisir utara Jawa. Namun, pada masa Kesultanan Demak, abad ke-15, Islam mulai menemukan kejayaan.
Sebagai sebuah kerajan yang baru muncul dengan aliran agama yang berbeda, Kesultanan Demak harus mampu menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang masih memegang nilai-nilai agama Hindu-Buddha.
Sehingga, strategi menghormati budaya masyarakat lokal, salah satunya desain atap itu menjadi cara jitu untuk mengenalkan Islam dengan damai, tanpa pertumpahan darah.
Melalui tulisan bertajuk “ Spiritual Phenomena in the Town of Demak,” Marwoto menuturkan bahwa pada akhirnya Demak menjadi sangat makmur berkat pertemuan dua kebudayaan, Islam dan Hindu.
Surplus beras yang dihasilkan oleh komunitas Hindu di wilayah yang dikuasai Majapahit sebagian besar dijual melalui Demak.
Kelancaran aktivitas perdagangan ini menjadikan Demak ibarat magnet bagi pedagang-pedagang muslim dari Malaka, China, India, dan Arab.
Marwoto menandai kondisi ini sebagai fondasi awal pembentukan pemerintahan Demak yang terjadi dari hasil kolaborasi istana, masjid, dan pelabuhan.
“ Sistem perdagangan di Demak mengarah pada pembentukan kemampuan untuk menciptakan kelembagaan, pertahanan, dan pengaturan konstitusional, yang didasarkan pada Islam,” tulisnya.
Kemudian, dibentuklah sebuah lembaga bagi para ulama atau para wali yang dipusatkan di Masjid Agung Demak.
Selain Raden Patah, raja ke dua dan ke tiga Demak, Adipati Unus dan Sultan Trenggono, juga berhasil memanfaatkan lembaga ulama ini untuk mempertahankan stabilitas politik.
“ Masjid Agung Demak adalah jaringan inti antara para pemimpin dengan orang-orang yang dianggap suci karena raja perlu mendapatkan pendamping para ulama untuk mengendalikan hukum Islam,” tulis Marwoto.
Hingga kini, Masjid Agung Demak dan kompleks makam para raja tidak pernah lengang dari para peziarah.
Bahkan tidak sedikit masyarakat Jawa yang meyakini bahwa ziarah ke Masjid Agung Demak memiliki nilai sama dengan menjalankan ibadah haji ke Mekah.
Baca Tiap Saat, Tiga Surah di Alquran yang Jadi Doa Perlindungan untuk Buah Hati
Cetar Banget, Pilihan Outer Menjulur Syahrini Saat Naik Helikopter
Tak Hanya Makeup, Ada Banyak 'Senjata' MUA Saat Merias Klien
Hijab Motif Style Simpel, Look Jadi Terllihat Fashionable
Outfit Classy Erin Taulany Saat Liburan di Paris