Komunitas Penyelam Perempuan Haenyeo, Para Pejuang Nafkah di Lautan Jeju
Haenyeo (Foto: Jeju Provincial Self-governing Haenyeo Museum)
Reporter : Okti Nur
Para Haenyeo ternyata sudah dilatih sejak kecil. Mereka yang tinggal di dekat lautan mempelajari cara berenang dan menyelam di laut dangkal pada usia 8 tahun.
DREAM.CO.ID - Pulau Jeju di Korea Selatan tak hanya sebuah destinasi wisata, namun tempat tinggal para penyelam perempuan yang mencari nafkah dengan mencari ikan di laut.
Mereka disebut "Haenyeo" yang merujuk pada penyelam perempuan. Masyarakat Jeju mengolah laut layaknya lahan peternakan dengan memanen abalon, keong, teripang, dan hijiki dari lautan.
Mencari nafkah di lautan juga tak luput karena lahan peternakan di Jeju jarang ditemukan akibat dari alam vulkaniknya.
Haenyeo memiliki komunitas yang kuat. Mereka harus bekerja sesuai dengan peraturan dan hukum. Haenyeo pun tidak boleh menyelam sendirian. Sebab menyelam di laut tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah dan memiliki banyak resiko, mereka dapat menghindari situasi yang berbahaya jika menyelam bersamaan.
Sejarah Haenyeo
Tradisi menyelam di Jeju dimulai sejak tahun 434 M, tetapi baru pada abad ke-18 jumlah penyelam perempuan melebihi jumlah penyelam laki-laki. Perubahan ini konon terjadi karena banyaknya pria yang meninggal di laut akibat perang dan kecelakaan penangkapan ikan di laut dalam.
Kehidupan Haenyeo merupakan bagian penting dari sejarah Jeju. Para nelayan diyakini memanen abalon untuk disajikan di Kerajaan Joseon.
Sejarah Haenyeo juga dicatat pada data bibliografi seperti Sejarah Dinasti Joseon, Jiyoungrok yang ditulis oleh Lee Ik Tae, dan Jonjaejeonseo oleh We Baek Gue.
Kehidupan para Haenyeo juga pernah menjadi inspirasi cerita Drama Korea popular "When Life Gives You Tangerines" yang mengambil latar belakang Pulau Jeju pada zaman dahulu.
Dahulu para penyelam menggunakan pakaian tradisional untuk menyelam yang disebut Mulsojungi. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2000-an para Haenyeo memakai Rubber Swimming Suits untuk menyelam.
Pakaian karet itu disebut membawa perubahan besar dalam lingkungan kerja para Haenyeo. Dulu, mereka membutuhkan waktu 30 hingga 60 menit untuk bekerja di laut. Kini, mereka dapat bertahan 3 hingga 5 jam dalam pakaian karet dan menyelam lebih dalam.
Pakaian karet telah menghasilkan panen yang beberapa kali lipat lebih besar daripada sebelumnya, namun juga menimbulkan efek samping seperti penyakit dekompresi.
Alat-alat yang digunakan oleh haenyeo seperti Bitchang, Homaeng-i (cangkul tangan untuk memetik makanan laut), Jaksal (tongkat untuk menusuk ikan), dan Jeonggehomi (sabit untuk mengumpulkan rumput laut).
Kehidupan Haenyeo Sejak Kecil
Para Haenyeo ternyata sudah dilatih sejak kecil. Mereka yang tinggal di dekat lautan mempelajari cara berenang dan menyelam di laut dangkal pada usia 8 tahun.
Kemudian menjadi Haenyeo muda pada usia 15 tahun. Setelah mulai menyelam pada usia 15 tahun, Haenyeo akan terus melakukannya hingga usia 70-an dan 80-an.
Pekerjaan haenyeo di laut disebut 'Muljil'. Ada tiga cara kerja yang dilalukan Muljil. Pertama, gotmuljil merujuk pada pergi melaut dari pantai. Kedua, baetmuljil merujuk pada melaut dengan perahu, dan yang terakhir adalah nabar merujuk pada berlayar di laut selama berhari-hari di atas kapal serta. Mereka bisa berpindah dari satu pulau ke pulau lain.
Kondisi fisik para haenyeo juga tak kalah penting. Mereka harus menimbang kondisi paru-paru, kemampuan menahan tekanan, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan suhu air yang dingin.
Bukan hanya asal menyelam, Haenyeo juga mampu mengenali geografi laut, arus gelombang pasang surut yang berubah-ubah, dan habitat biota laut. Mereka dapat memperkirakan proses pertumbuhan biota laut musiman dan memanen sebagaimana mestinya.
Sumber: Google Arts&Culture