Dulu Hidup Sebagai Tunawisma, Ilmuwan Ijeoma Uchegbu Raih Gelar Tertinggi dari Raja Inggris
Ijeoma Uchegbu, Ilmuwan Yang Dianugerahi Gelar Dame Dari Raja Charles | Foto: Buckingham Palace
Reporter : Abidah
Di balik medali dan jabatan prestisius, ada jejak panjang sebagai ibu tiga anak yang pernah hidup di shelter tunawisma, dibesarkan di foster care, dan berkali-kali harus memulai hidup dari awal.
DREAM.CO.ID – Gelar Dame Commander of the Order of the British Empire yang baru saja diterima Ijeoma Florence Uchegbu dari Raja Charles mungkin menjadi puncak pencapaian dari seorang ilmuwan mapan. Ia memang dihormati atas jasanya di bidang ilmu kimia dan upayanya mendorong keberagaman di dunia sains.
Namun, di balik medali dan jabatan prestisius, ada jejak panjang sebagai ibu tiga anak yang pernah hidup di penampungan para tunawisma, dibesarkan bersama keluarga asuh, dan berkali-kali harus memulai hidup dari awal.
Kini ia menjadi profesor pharmaceutical nanoscience di University College London (UCL), presiden Wolfson College di University of Cambridge, sekaligus Chief Scientific Officer di perusahaan nanoteknologi farmasi Nanomerics.
Masa Kecil di Foster Care dan Kehilangan Tiga Sosok Ibu
Ijeoma lahir di London dari pasangan mahasiswa asal Nigeria yang datang ke Inggris pada awal 1960-an untuk melanjutkan pendidikan. Saat sang ibu hamil, orangtuanya harus membagi perhatian antara kuliah dan membesarkan anak. Seperti banyak keluarga Afrika Barat di masa itu, mereka akhirnya menempatkan Ijeoma kecil di keluarga asuh di Kent agar sang ibu bisa tetap menyelesaikan studinya.
Selama empat tahun pertama hidupnya, Ijeoma tumbuh bersama ibu asuh yang ia panggil “Aunt Pa”.
Suatu hari, ayah kandungnya datang menjemput dan membawanya pergi. Bagi Ijeoma kecil, pria yang datang itu hampir seperti orang asing. Di rumah barunya, ia baru menyadari bahwa perempuan yang tinggal bersama ayahnya adalah ibu tiri, bukan ibu kandungnya.
Pertemuan pertamanya dengan ibu kandung baru terjadi ketika ia berusia 13 tahun. Mereka menghabiskan akhir pekan yang hangat, penuh pelukan canggung antara dua orang yang saling dekat namun terasa jauh. Tak lama kemudian, sang ibu pindah ke Amerika Serikat dan wafat di sana pada usia 33 tahun.
Dalam perjalanan hidupnya, Ijeoma kehilangan tiga figur ibu sekaligus, yakni ibu asuh, ibu tiri, dan akhirnya ibu kandung. Sosok yang konsisten bertahan hanya sang ayah, yang kemudian memiliki banyak anak tetapi tetap memberi perhatian kuat pada dirinya. Pengalaman ini membentuk daya tahan dan empati yang kelak mewarnai kepemimpinannya di dunia akademik.
Perjalanan ke Nigeria
Masa remajanya juga diisi perpindahan besar lain. Pada 1970-an, ia dikirim ke Nigeria untuk bersekolah. Ia tumbuh di Inggris pada masa ketika rasisme masih sangat terbuka dan nyaris tidak memiliki role model yang berkulit seperti dirinya di profesi-profesi bergengsi. Dalam pikirannya saat itu, pekerjaan paling realistis adalah menjadi pegawai toko.
Namun, semua berubah setelah ia menginjakkan kaki di Nigeria. Ia harus beradaptasi dengan kurikulum baru, iklim yang berbeda, dan lingkungan sosial yang jauh dari suasana kota kelahirannya. Pelajaran sains dan matematika jadi satu-satunya yang masih mirip dengan pelajaran yang ia dapatkan di Inggris.
Suatu ketika, seorang guru atau orang dewasa menegurnya saat ia berkata tidak berencana kuliah. Dengan nada protes, orang itu kurang lebih mengatakan bahwa tidak masuk akal jika ia tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Teguran sederhana itu menjadi titik balik. Ia mengubah rencana hidupnya dan mulai membayangkan diri sebagai ilmuwan, bukan lagi pekerja toko.
Ia kemudian menempuh kuliah farmasi di University of Benin dan melanjutkan studi magister di University of Lagos. Di Lagos, ia mengerjakan riset tentang bagaimana produk pemecahan obat antimalaria bisa menimbulkan efek samping, di tengah keterbatasan infrastruktur riset.
Di sana, ia harus mensintesis sendiri senyawa yang ia butuhkan. Pengalaman “mengoprek” molekul dari nol inilah yang kelak membuatnya tidak gentar merancang bahan kimia baru untuk formulasi obat.
Kembali ke Inggris sebagai Ibu Tunggal dan Penghuni Shelter
Di usia 16 tahun Ijeoma sudah masuk universitas, kemudian lulus, menikah, dan memiliki tiga anak perempuan. Namun, pernikahannya tidak berjalan baik. Di saat yang sama, ia menyadari bahwa mimpi menjadi ilmuwan akan sulit tercapai jika tetap tinggal di Nigeria yang infrastruktur risetnya terbatas.
Ia mengambil keputusan berisiko dengan kembali ke Inggris bersama ketiga anaknya. Keputusan itu membawanya ke salah satu fase paling berat dalam hidup. Untuk sementara, mereka tinggal di shelter tunawisma selama sekitar tujuh bulan. Ia menggambarkan momen ketika akhirnya keluar dari shelter sebagai perasaan seperti bebas dari penjara.
Di tengah kondisi ekonomi yang sangat ketat, ia mulai memburu peluang riset dan beasiswa. Ia memilih bidang yang saat itu masih sangat baru, yaitu nanoteknologi dan “tiny particles”, untuk mendukung studi doktoralnya. Pendanaan yang ia dapatkan tidak besar, tetapi cukup untuk membantu membayar sewa rumah dan menopang kehidupan dasar keluarganya.
Perlahan, langkahnya mulai mantap. Ia menyelesaikan PhD di University of London pada akhir 1990-an, kemudian menjadi dosen di University of Strathclyde, sebelum akhirnya kembali ke UCL dan membangun kelompok risetnya sendiri.
Terobosan di Nanomedicine
Nama Ijeoma Uchegbu dikenal luas lewat risetnya di bidang nanomedisin dan drug delivery. Inti pekerjaannya adalah merancang partikel nano yang mampu membawa obat ke organ tertentu dengan lebih tepat sasaran, sehingga efek samping bisa dikurangi dan efektivitas terapi meningkat.
Salah satu tantangan terbesar dalam pengobatan adalah mengirim obat ke otak. Penghalang darah otak (blood brain barrier) sangat selektif, sehingga banyak molekul yang tidak bisa menembusnya, terutama molekul besar seperti DNA dan RNA. Pendekatan klasik biasanya mencoba “memodifikasi” obat agar lebih ramah otak, tetapi langkah ini sering menurunkan potensi obat tersebut.
Tim Ijeoma mengambil jalan berbeda. Mereka mengeksplorasi jalur hidung ke otak, menggunakan nanopartikel untuk mengantarkan molekul besar seperti DNA dan RNA langsung ke jaringan otak.
Dalam wawancara dengan Nature Africa, ia menjelaskan bahwa timnya berhasil menunjukkan bagaimana terapi gen bisa dikirim melalui hidung dan menargetkan area tertentu di otak, bahkan menyusutkan tumor pada model hewan.
“Kami adalah yang pertama menunjukkan penargetan ekspresi gen di korteks serebral ketika mengirimkan gen ke otak melalui hidung,” ujarnya.
Terobosan ini membuka peluang baru untuk mengobati penyakit otak yang punya dasar genetik, bukan hanya mengandalkan obat-obatan kecil yang larut lemak.
Selain itu, bersama rekannya Andreas Schatzlein melalui perusahaan Nanomerics, ia juga mengembangkan teknologi nanopartikel untuk mengantarkan obat ke bagian tubuh yang sulit dijangkau seperti bagian belakang mata dan otak, dengan harapan suatu hari bisa menghadirkan tetes mata untuk kebutaan dan alternatif penghilang nyeri yang tidak adiktif.
Penghargaan dari Istana
Pada 2025, kerja panjang itu mendapat pengakuan resmi. Ijeoma Uchegbu dianugerahi gelar Dame Commander of the Order of the British Empire dalam New Year Honours 2025 untuk jasa-jasanya bagi ilmu kimia serta keberagaman dan inklusi. Upacara penyerahan insignia diselenggarakan di Buckingham Palace, dipimpin Putri Anne.
Selain memimpin laboratorium riset, ia kini menjabat sebagai Presiden Wolfson College, Cambridge, sebuah posisi yang menempatkannya di garis depan pembinaan generasi ilmuwan berikutnya.
Di luar kampus, ia menjadi Chief Scientific Officer Nanomerics dan terlibat dalam berbagai lembaga sains bergengsi.
Mengubah Budaya Sains agar Lebih Inklusif
Meski dikenal berkat riset nanomedicine, Ijeoma juga vokal soal ketimpangan dalam dunia akademik. Dalam sebuah pertemuan ilmu sosial di UCL, ia melihat data yang menunjukkan bahwa mahasiswa dari kelompok minoritas etnis cenderung lebih jarang lulus dengan predikat kehormatan dan lebih sulit naik jabatan. Untuk perempuan dari minoritas etnis, peluangnya lebih kecil lagi.
Alih-alih berhenti pada keprihatinan, ia mendorong perubahan praktis. Ia mengusulkan agar dosen lebih sadar memberi ruang bicara pada mahasiswa dari kelompok yang kurang terwakili, mendorong mereka menyebutkan nama mereka sendiri di kelas, dan memasukkan ilmuwan dari latar belakang minoritas sebagai contoh dalam materi kuliah.
Ia juga bangga ketika institusinya mulai menghapus nama-nama tokoh yang terkait dengan eugenika dari gedung dan ruang akademik. Bagi Ijeoma, lingkungan belajar harus terasa aman dan menghargai martabat semua orang, bukan hanya meneruskan tradisi lama tanpa evaluasi.
Pesan untuk Perempuan Afrika di Dunia Sains
Perjalanan hidup Ijeoma Uchegbu mudah diromantisasi sebagai kisah “dari nol ke istana”. Namun ia sering mengingatkan bahwa karier ilmiah dibangun lewat kerja konsisten dan keberanian untuk terus mencoba, bahkan ketika ditolak berkali-kali.
Dalam wawancara dengan Nature Africa, ia bercerita pernah mengirim 13 aplikasi pendanaan dalam satu tahun pertama sebagai dosen dan hanya satu yang disetujui. Alih-alih putus asa, ia menjadikannya strategi memperbesar peluang. “Jangan biarkan apa pun bergantung pada keberuntungan,” ujarnya.