Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Muncul Gelombang Kritikan

Stories | Selasa, 11 November 2025 08:04

Reporter : Abidah

Keputusan pemerintah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional langsung memicu reaksi keras.

DREAM.CO.ID – Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan Presiden ke-2 RI, H.M. Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan, Senin, 10 November 2025. Keputusan ini diumumkan dalam upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta.

Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, menjelaskan bahwa Soeharto menjadi satu dari 10 tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini, bersama antara lain Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, diplomat Mochtar Kusumaatmadja, ulama karismatik Kiai Kholil Bangkalan, serta Sarwo Edhie Wibowo.

Menurut Fadli, seluruh nama yang dipilih telah melalui proses panjang. Diusulkan dari daerah, dikaji oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), lalu difilter lagi di tingkat pusat sebelum diputuskan presiden.

“Presiden telah memilih 10 nama pahlawan,” ujarnya.

Faadli juga menjelaskan bahwa jasa Soeharto dinilai besar dalam operasi militer seperti Serangan Umum 1 Maret, pembebasan Irian Barat, dan program pembangunan ekonomi Orde Baru.

2 dari 4 halaman

Proses Panjang Gelar Pahlawan

Penetapan ini menutup rangkaian proses yang dimulai sejak 21 Oktober 2025, ketika Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyerahkan 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Fadli Zon selaku Ketua Dewan Gelar. Dalam daftar itu, tercantum nama-nama besar seperti Soeharto, Gus Dur, dan Marsinah.

Gus Ipul menegaskan kala itu bahwa daftar tersebut merupakan hasil kajian bertahun-tahun oleh tim pengkaji pusat dan daerah, bukan keputusan instan. Ia menyebut sebagian nama bahkan sudah memenuhi syarat sejak lima hingga tujuh tahun lalu, namun baru diajukan sekarang lewat jalur resmi.

Fadli Zon kemudian menyatakan bahwa dari total 49 nama yang dibahas (40 usulan baru dan 9 “carry over”), Dewan Gelar menyusun 24 nama prioritas sebelum akhirnya presiden memilih 10 nama penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Di titik inilah nama Soeharto menjadi pusat polemik.

3 dari 4 halaman

Penolakan Masif dari Berbagai Kalangan

Keputusan pemerintah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional langsung memicu reaksi keras. Padahal, menjelang penetapan, gelombang penolakan sudah lebih dulu muncul dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, aktivis HAM, hingga organisasi keagamaan.

Pada awal November 2025, lebih dari 500 akademisi, guru besar, dan aktivis dari berbagai universitas berkumpul di kantor YLBHI Jakarta untuk menyuarakan penolakan. Mereka mendesak Presiden Prabowo agar tidak mengesahkan usulan Dewan Gelar yang mencantumkan nama Soeharto.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menyebut langkah itu mengabaikan sejarah panjang pelanggaran HAM berat, praktik korupsi, serta pemberangusan kebebasan sipil di era Orde Baru.

Sikap serupa datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Ketua PBNU Savic Ali bersama sejumlah sejarawan dan aktivis muda NU menilai Soeharto tak layak menyandang gelar pahlawan. Mereka menilai keputusan itu berpotensi “membuka kembali luka sejarah paling kelam bangsa Indonesia” dan bertentangan dengan semangat Reformasi 1998.

4 dari 4 halaman

Di lapangan, penolakan mengkristal dalam gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) yang menghimpun organisasi HAM, akademisi, seniman, hingga korban Orde Baru. GEMAS menggelar aksi demonstrasi di depan Kementerian Kebudayaan dengan slogan “Soeharto Bukan Pahlawan” dan “Jangan Hapus Luka Sejarah”, mengajukan petisi daring yang ditandatangani hampir 20 ribu orang, serta menyusun dokumen argumentasi setebal lebih dari 2.000 halaman.

Mereka juga mengirim surat terbuka yang ditandatangani 185 lembaga dan 256 individu, menegaskan bahwa Soeharto tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan sebagaimana diatur dalam UU Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, merujuk pada temuan Komnas HAM, putusan MA soal Yayasan Supersemar, dan TAP MPR XI/1998 tentang KKN.

Sementara itu, bagi para penyintas dan keluarga korban Orde Baru, keputusan pemerintah ini dianggap mencederai rasa keadilan. Mereka menilai negara justru menutup mata terhadap luka sejarah yang belum pernah benar-benar dipulihkan.

Keseruan Hari Terakhir Dream Day Ramadan Fest 2023
Join Dream.co.id