Survei IDEAS: 25,5 Persen Anak SD Mengaku Sudah Hisap Rokok
Ilustrasi Anak SD (Foto: Unsplash/Syahrul Alamsyah Wahid)
Reporter : Okti Nur
Jumlah responden terdiri dari 106 perokok anak dan remaja dari rumah tangga miskin di 54 desa tertinggal.
DREAM.CO.ID - Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) mengungkap survei di mana anak SD mengaku sudah mulai hisap rokok. Survei ini dilakukan kepada keluarga miskin di desa.
Jumlah responden terdiri dari 106 perokok anak dan remaja dari rumah tangga miskin di 54 desa tertinggal dan sangat tertinggal di 13 kabupaten pada lima provinsi, diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan DI Yogyakarta.
"Hasilnya, sangat mengejutkan yaitu 69,8 persen responden perokok anak tersebut adalah perokok aktif, 18,9 persen merokok sesekali, dan 11,3 persen baru mulai belajar merokok," ungkap Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini, dalam siaran pers, dikutip Sabtu, 18 Oktober 2025.
Sebagian besar, yaitu 58,5 persen mulai merokok di usia SMP (13–15 tahun), 25,5 persen sudah mencoba sejak SD (6–12 tahun), dan hanya 15,1 persen yang baru mulai di usia SMA (16–19 tahun).
“Fase mengenal rokok dan fase menjadi perokok aktif hampir tidak memiliki jarak waktu. Begitu anak mencoba, mereka langsung terjerat menjadi perokok aktif,” kata Agung.
Sebanyak 46,2 persen anak dan remaja mengaku mulai mengalami kecanduan rokok saat SMA. Kebiasaan itu, kata Agung, berimplikasi langsung terhadap pola konsumsi dan masa depan pendidikan mereka.
Rokok Jadi Pengeluaran Terbesar Anak Miskin
Survei juga menemukan bahwa 36,7 persen uang saku anak miskin dihabiskan untuk membeli rokok. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk makanan dan minuman (32,6 persen), transportasi atau BBM (20,2 persen), dan pulsa atau kuota internet (10,5 persen).
“Rokok kini seolah menjadi kebutuhan pokok baru dalam rumah tangga miskin. Akibatnya, alokasi untuk nutrisi, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya berkurang,” ujar Agung.
Dari sisi pendidikan, 14,2 persen perokok anak hanya tamat SD, 50 persen berhenti di SMP, dan hanya 35,8 persen yang menamatkan SMA. Temuan ini memperlihatkan bahwa perilaku merokok berhubungan erat dengan tingginya angka putus sekolah di kalangan keluarga miskin.
Lingkungan dan Sekolah Rentan Jadi Faktor Pemicu
IDEAS juga mencatat bahwa 67,9 persen perokok anak dan remaja mendapatkan rokok dari orang lain—terutama teman dan tetangga. Hanya 5,7 persen yang mendapat dari keluarga inti, dan 2,8 persen dari keluarga non-inti seperti paman atau kakek.
Kebiasaan saling berbagi rokok di kalangan teman sebaya juga memperkuat fase kecanduan. Karena itu, Agung menilai sekolah semestinya diberikan peran lebih besar dalam mengendalikan ekosistem merokok di lingkungannya.
“Sekolah harus menjadi ruang yang benar-benar bebas rokok, tidak hanya dari konsumsi, tapi juga dari promosi dan penjualan,” tegas Agung.
Iklan Rokok Masif, Regulasi Lemah
IDEAS juga menyoroti gencarnya iklan dan promosi rokok yang menyasar kelompok muda. Iklan-iklan tersebut, menurut Agung, menancapkan asosiasi positif merokok dengan nilai kebebasan, maskulinitas, dan petualangan.
“Di tengah banjir iklan, kesadaran publik soal bahaya rokok tenggelam. Anak-anak miskin yang tumbuh dalam kondisi terbatas justru menjadi target paling empuk,” ujarnya.
IDEAS mendorong pemerintah memperketat larangan iklan, promosi, dan penjualan rokok di sekitar sekolah, terutama di wilayah pedesaan yang rentan.
“Minimal dalam radius beberapa ratus meter dari sekolah tidak boleh ada toko yang menjual rokok atau menampilkan iklan rokok,” tegas Agung.
Tantangan Kebijakan
Menurut IDEAS, permasalahan merokok di kalangan keluarga miskin bukan sekadar isu kesehatan, tetapi masalah kebijakan publik yang mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Dari serangkaian riset ini, IDEAS menyimpulkan bahwa faktor-faktor di luar rumah, baik dari lingkungan sosial maupun sekolah, terbukti lebih banyak memengaruhi anak untuk mulai merokok hingga akhirnya menjadi perokok aktif. Kebiasaan saling berbagi rokok di antara teman sebaya membuat fase kecanduan semakin dalam.
Selain faktor lingkungan eksternal, iklan rokok juga berperan besar dalam meningkatkan prevalensi perokok pemula, khususnya di kalangan anak dan remaja.
“Kesadaran publik yang sebenarnya sudah terbangun tentang bahaya rokok terus tenggelam karena dihantam bertubi-tubi oleh beragam strategi iklan dan gencarnya promosi,” tutur Agung.