Perjuangan Syiar Ustaz Muda di Pulau Minoritas Muslim Samosir
Ustaz Muhammad Sakban Bersama Rohima Dan Rumansih Warga Samosir (Foto: Dream.co.id/Okti Nur Alifia)
Reporter : Okti Nur
Hanya kurang dari 3 persen yang memeluk agama Islam.
DREAM.CO.ID - Pulau Samosir, Sumatera Utara (Sumut), yang terletak di tengah Danau Toba, memiliki penduduk dengan mayoritas beragama nasrani. Hanya kurang dari 3 persen yang memeluk agama Islam. Berdakwah di tengah minoritas Muslim ini menjadi tantangan tersendiri.
Jumlah populasi Muslim yang sedikit itu tersebar di lokasi-lokasi yang berjauhan. Setidaknya membutuhkan sepeda motor untuk mencapainya. Luas Pulau Samosir mencapai 63.000 hektar atau sekitar 640 km persegi, yang hampir setara dengan negara Singapura.
Di tengah berbagai tantangan itu, hadir sosok Ustaz Muhammad Sakban. Semangatnya tak pernah padam mensyiarkan dakwah Islam di pulau tersebut.
Berusia 32 tahun, Ustaz Sakban merupakan Dai Dompet Dhuafa yang mendapatkan penugasan dari Dompet Dhuafa Waspada (Sumut) sejak tahun 2016. Sejak tahun itu, dia pindah dari Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang ke Pulau Samosir dan kini membangun keluarga kecilnya.
Dakwah dari Rumah ke Rumah
Ustaz Sakban juga menjadi sosok yang menghidupkan Masjid Nurul Islam di tepi Pulau Samosir, Desa Tambun Sukkean, Kecamatan Onan Runggu. Masjid Nurul Islam menjadi masjid tertua di Pulau Samosir. Masjid ini dulu dibangun bersamaan dengan dibawanya ajaran Islam ke Pulau Samosir pada tahun 1932.
Masjid yang berdiri di Kabupaten Samosir jumlahnya tak banyak. Tercatat hanya ada tujuh masjid dengan tiga di antaranya berada di dalam Pulau Samosir termasuk Nurul Islam.
Sakban mengungkap dia berdakwah secara rumah ke rumah menggunakan sepeda motor karena lokasi rumah jamaahnya yang berjauhan.
"Kita dalam kegiatan berdakwah di kampung, Desa Tambun Sukkean, Kabupaten Samosir, lebih banyak mendatangi ke rumah-rumah. Karena melihat jamaah kita ini kan jauh-jauh rumahnya, kadang ada jamaah kita yang tidak ada kendaraan," ungkap Muhammad saat ditemui di Pulau Samosir, Selasa, 25 November 2025.
Sakban mencatat, hanya ada 40 Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Onan Runggu yang beragama Islam.
Pria yang sudah memiliki dua anak ini pun mengenalkan beberapa jamaahnya saat Dream dan jurnalis lain berkunjung ke Masjid Nurul Islam. Kunjungan ini juga sekaligus membagikan paket sembako "Heartventure Samosir-Berastagi" dari Dompet Dhuafa Waspada.
Salah satu jamaahnya adalah ibu Nelri Boru Butar Butar. Dia seorang mualaf yang menikah dengan suami Muslim.
Dari Masjid Nurul Islam, rumahnya juga cukup jauh, hingga kami menempuh dengan mobil. Ibu berusia 49 tahun itu tentunya sudah mengenal sang ustaz. Saat tahu kedatangan kami, dia langsung bergegas mengenakan kerudung.
Sakban juga mengajak kami bertemu jamaah lansia yang menurutnya rajin mengaji. Dia adalah Rohima Buru Harianjah yang berusia 95 tahun, yang saat ditemui sedang menunaikan sholat.
Untuk mencapai rumahnya, setelah menaiki mobil lebih jauh, kami juga harus berjalan kaki dan melewati persawahan dengan jalan sempit yang juga memakan waktu tak sedikit.
Rumah ibu Rohima, berdampingan dengan rumah sang anak Rumansih Gultom yang berusia 65 tahun. Di tengah usia lansia mereka, ibu dan anak ini masih terus semangat untuk belajar mengaji membaca Alquran. Kata Sakban, masyarakat di daerah sini menyebut mengaji dengan berburu.
Menurut Sakban, pada umumnya pemeluk agama Islam di Pulau Samosir memang keluarga keturunan Muslim. Ada juga yang mualaf. Beberapa warga ada pula yang memilih pindah keyakinan karena kondisinya sebagai minoritas. Hal ini menjadi salah satu tantangan sekaligus menjadi misi dakwah yang harus terus dijalankan di Pulau Samosir.
Kegiatan rutin di Desa Tambun Sukkean yang dijalankan seperti pengajian ibu-ibu di hari Kamis, malam Jumat pengajian untuk bapak-bapaknya, dan untuk anak-anaknya ada pengajian sore rutin baik di hari Kamis, Jumat, dan Sabtu.
Adapun yang kegiatan yang difokuskan adalah lebih ke pembinaan dalam hal yang wajib, seperti sholat, mampu membaca Al-Quran, thaharah atau bersuci. Mereka akan berkumpul di suatu tempat. Karena tidak semua jamaah memiliki kendaraan, dari mereka ada yang jalan kaki, hingga menyewa becak.
"Hal-hal yang dasar yang masih kita sampaikan di kampung kita ini. Karena memang mereka ini dari latar belakang yang memang belum belajar pendidikan agama sama sekali," ungkap Sakban yang juga mencatat terakhir diadakan kurban di kampung tersebut tahun 2017.
Selama delapan tahun mensyiarkan dakwah di Pulau Samosir, Sakban mengungkap tetap ada kendala. Selain jarak ada juga kendala lain seperti berladang dan mengikui kegiatan masyarakat.
"Di sini kan masyarakat kita lebih diikat dengan tradisi, adat. Jadi ketika sudah ada pesta, ada kegiatan, adat, mereka mau tak mau wajib harus berkumpul... Ketika ada acara-acara yang ada juga di non-muslim, mereka juga ikut berkumpul," ungkap Sakban.
Rogoh Kocek Sendiri Demi Dakwah
Bagi Sakban, berdakwah di daerah pelosok dan minoritas di Pulau Samosir memang harus banyak berkorban. Dia juga terkadang menggunakan kantong pribadi selama menjalankan syiar dakwahnya. Selain juga dibantu oleh yayasan, salah satunya Dompet Dhuafa dan lembaga kementerian penyuluhan agama Islam
"Kalau sudah berkegiatan, lebih banyak dari kantong pribadi dulu. Karena memang kita dalam berdakwah di daerah seperti ini, memang lebih harus banyak berkorban untuk bisa bagaimana masyarakat kita ini merasakan indahnya beragama tersebut," kata Sakban.
Dia berterima kasih kepada Dompet Dhuafa yang selama ini peduli dengan masyarakat Muslim yang ada di Kabupaten Samosir.
"Alhamdulillah, sangat senang sekali, karena selama ini kita ketahui Dompet Dhuafa peduli dengan masyarakat Muslim yang ada di Kabupaten Samosir, khususnya di Desa Tambun Sukkean, senantiasa memberikan yang terbaik, berupa perhatian untuk anak-anak mengaji, untuk ibu-ibu lansia, dan untuk bapak-bapaknya. Alhamdulillah, sampai saat ini sudah banyaklah diberikan," ungkap Sakban.