Ramen Cokelat/ Foto Soranews24
Dream – Ramen merupakan hidangan khas Jepang yang disukai banyak orang, bahkan lintas negara. Berupa mi tebal yang direndam dalam kuah kaldu kental dengan berbagai isian, seperti telur dan irisan ayam gurih.
Ada juga yang memiliki citarasa pedas. Rasa gurih identik dengan ramen, pernahkah terbayang mengonsumsi ramen tapi rasanya manis? Sebuah kedai ramen terkenal di Tokyo Menya Musashi, membuat ramen yang berbeda.
Untuk mi ramennya berwarna hijau karena terbuat dari campuran matcha atau teh hijau. Sementara isiannya berupa lelehan coklat, shiratama mochi mint, kacang-kacangan, kemangi, dan juga telur puyuh.
Dikutip dari Soranews, rupanya ramen tersebut juga memiliki citarasa gurih dari daging giling, dan Gyofun atau bubuk kering ikan yang beberapa digunakan untuk ramen beraroma.
Hal yang membuat sangat berbeda adalah, ramen ini tak memiliki kaldu. Jenis ramen ini adalah mazesoba, dimana tidak terdapat kaldu dan diharuskannya pemakannya mengaduk keseluruhan isi ramen untuk mendapatkan rasa yang utuh.
Ramen unik dikemas dalam mangkok berdesain gemas. Ingin membeli untuk mencicipi? Datang saja ke Menya Musashi dan siapkan uang 1.485 yen atau sekitar Rp200.000. Harga tersebut sudah termasuk dengan 1 buah cokelat Lotte’s Ghana.
Laporan Josephine Widya/ Sumber: Soranews24
Dream - Ramen telah menjadi makanan pokok di Jepang hampir seabad. Tetapi, hidangan mi ini baru diperkenalkan di negara Barat terutama di Amerika Serikat setelah penciptaan ramen instan pada 1970an.
Sejak itu, ramen kian populer. Kedai ramen bermunculan, dengan koki yang didatangkan langsung dari negeri Sakura. Kini, ramen seakan jadi hidangan favorit lintas negara.
Efeknya adalah aspek kultural dan keaslian pengolahan ramen kerap mengalami penyesuaian. Rasa, tekstur hingga penyajian, akan sulit menyamakan dengan sajian ramen yang ada di Jepang.
Mantan koki ramen dan Japanese noodle expert, Mark Hoshi, mencoba memberi informasi pada khalayak internasional seputar budaya dan indus ramen yang asli, melalui situs dan mediasosial " Ramen Culture" .
" Saya besar di rumah Jepang dan orang tua saya selalu membawa pulang makanan Jepang," kata Hoshi.
Walaupun besar di Los Angeles, Hoshi menghabiskan hampir 10 tahun tinggal di Jepang. Saat tinggal di sana, ia magang dengan Chef Ikuta Satoshi di Ramen Nagi, Tokyo.
Tidak lama setelah itu, ia memilih menuangkan kecintaannya terhadap ramen dengan bekerja full time bersama Chef Yukihiko Sakamato di toko ramen terpopuler di Jepang. Toko tersebut adalah Menya Itto. Hoshi lalu kembali ke Amerika dan memulai Ramen Culture.
Menurut Hoshi, ada lima komponen penting dalam ramen yaitu mi, kuah, kuah dasar, topping, dan aroma minyak. Hal yang paling menggelitik Hoshi adalah ketika orang banyak orang berpikir bahwa miso dan tonkotsu ramen adalah menu yang sama.
Menurutnya, ramen memiliki variasi yang berbeda, tergantung bahan apa yang dipakai. Misalnya Jiro-style ramen, di dalamnya terdapat potongan daging berlemak dengan sup tonkotsu, shoyu, dan mie tebal. Rasa, ramen ini lebih berat daripada ramen lainnya.
Ada pula Shio-style ramen yang terkenal dengan rasa asinnya. Selain itu, tsukemen ramen disiapkan dan dihidangkan berbeda dari ramen lainnya.
Restoran yang menyajikan tsukemen ramen, menghidangkan mie soba dingin yang terpisah dari kaldu ramen. Pelanggan, kemudian mencelupkan mi ke dalam dashi soup base.
Ada tips unik dari Hoshi untuk mencari kedai ramen yang menyajikan menu yang nikmat. Yaitu dengan melihat kondisi toiletnya.
" Jika mereka menyediakan toilet yang sangat bersih, maka mereka memerhatikan hal kecil dengan sangat baik," ujarnya.
Hoshi menambahkan, jika di dapur terdapat noodle timer (waktu masak mie hingga mencapai tingkat kematangan yang pas), maka ini menunjukkan koki tahu apa yang sedang mereka lakukan.
Tidak ada cara yang benar atau salah saat memakan mie. Menurut Hoshi, setiap orang dapat memakan mie sesuai gaya mereka masing-masing.
" Tradisionalnya, kamu menyeruput mie. Tetapi, bagi orang yang tidak besar di lingkungan Jepang akan merasa sedikit tidak nyaman untuk melakukan hal itu," ungkap Hoshi.
Menurut Hoshi, di Jepang, kebanyakan orang menghabiskan semangkuk ramen selama 12 menit. Sementara bagi orang non Jepang, cenderung menyantap ramen lebih lama. Ternyata hal ini berdampak buruk bagi tekstur mie yang terlalu lama terendam kuah.
Semakin lama menyantap mi, semakin lembek nantinya. Oleh karena itu, di Amerika, diadakan eksperimen di berbagai restoran ramen untuk menyajikan berbagai tipe mie yang dapat menyerap kaldu di tingkat berbeda.
Hal ini memudahkan pelanggan agar saat mencoba memadukan mie dengan kaldunya tetap dapat menghasilkan rasa yang konsisten.
" Mi adalah yang paling penting karena ini memberikan tekstur yang berbeda saat menyeruputnya," kata Hoshi.
Sering kali, Hoshi melihat koki Amerika memilki pemikiran keliru soal ramen. Ia sering melihat berbagai restoran hanya memasukan mie ke dalam miso soup dan menamakannya ramen.
" Ramen adalah ramen ketika ada sifat basa di dalam mie nya. Jika tidak ada, maka itu bukan ramen," kata Hoshi.
Laporan: Keisha Ritzska Salsbila/ Sumber: Food Insider
Advertisement
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini
Masa Tunggu Haji Dipercepat, dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun
Viral Laundry Majapahit yang Bayarnya Hanya Rp2000
NCII, Komunitas Warga Nigeria di Indonesia
9 Kalimat Pengganti “Tidak Apa-Apa” yang Lebih Hangat dan Empatik Saat Menenangkan Orang Lain
PT Taisho Luncurkan Counterpain Medicated Plaster, Inovasi Baru untuk Atasi Nyeri Otot dan Sendi
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
Hasil Foto Paspor Shandy Aulia Pakai Makeup Artist Dikritik, Pihak Imigrasi Beri Penjelasan
Zaskia Mecca Kritik Acara Tanya Jawab di Kajian, Seperti Membuka Aib