Puasa (3): Kisah Lampion di Malam ke-21 Ramadan

Reporter : Ramdania
Senin, 6 Juli 2015 20:02
Puasa (3): Kisah Lampion di Malam ke-21 Ramadan
Di malam itu cahaya ribuan lampion akan memenuhi jalan dan Sungai Martapura. Memicu kontroversi dan perdebatan.

Dream - Keheningan suasana malam Ramadan di langit kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, akan berubah di malam ke-21. Suasana sendu berubah menjadi meriah dan terang-benderang. Cahaya dari ribuan lampion hias mendadak menerangi jalan. Pada malam itu, warga tengah menjalani tradisi asal Banjar, yaitu festival Tanglong (lampion).

Tak hanya di jalan, Sungai Martapura juga dipenuhi perahu-perahu berhias lampion terang. Lampion berornamen dua naga di sisi perahu, nampak hilir mudik. Ada juga lampion bertulis “ Pray for Gaza.” Lampion berbentuk unta dan masjid juga tak ketinggalan. Penduduk pun berjejal memenuhi tepi sungai.

Biasanya, tradisi ini juga dibarengi dengan tradisi lain yaitu Bagarakan yaitu membangunkan orang sahur. Ini mungkin hampir sama dengan yang biasa dilakukan warga di kawasan lain. Namun, karena dibarengi dengan festival lampion Tanglong, maka Bagarakan menjadi lebih menarik, bahkan bisa diperlombakan.

Kedua tradisi unik ini dinilai memiliki tujuan untuk mempererat tali persaudaraan, persatuan dan kesatuan umat beragama. Selain itu, tradisi ini merupakan bentuk pelestarian tradisi Islami di bulan Ramadan yang dikemas dengan kreativitas dan menghibur masyarakat luas.

Tanglong dan Bagarakan menjadi momentum untuk menciptakan keindahan dan kesejukan beragama warga Banjar. Serta dapat menumbuhkembangkan kreativitas seni yang bernuansa Islami, seperti kaligrafi, musik, lukisan dan bentuk lainnya.

***

Bagarakan merupakan tradisi... 

1 dari 2 halaman

Tradisi Membangunkan Orang Sahur

Tradisi Membangunkan Orang Sahur © Dream

Tradisi Membangunkan Orang Sahur

Bagarakan merupakan tradisi warga Kalimantan Selatan membangunkan orang sahur. Sebenarnya, tradisi ini tidak hanya dilakukan warga Kalimantan Selatan. Sebagian besar umat muslim di tanah air memiliki tradisi ini di kampungnya.

Masyarakat di daerah Pantura mengenalnya dengan istilah Komprekan. Masyarakat Cirebon menyebutnya dengan Obrok-burok. Di Jawa Timur dikenal dengan istilah Tektekan dan di Semarang disebut dengan Dekdukan.

Para remaja putra yang menggunakan sarung dan kopiah siap dengan berbagai peralatan dapur dan rumah tangga lainnya yang memiliki bunyi-bunyian nyaring, seperti panci, wajan, ember, sodet, dan dirijen. Bukan untuk berkelahi, tetapi mereka siap membangunkan warga sekitar jam makan sahur, dari pukul 2 dini hari hingga waktu imsak.

Mereka membunyikan peralatan tersebut dan saling bersahutan menciptakan irama. Sambil berteriak " Sahur... Sahur..." kehadiran mereka memecahkan suasana malam yang hening.

Namun tradisi ini terasa spesial pada malam ke-21 Ramadan. Mengapa? Karena Bagarakan digelar bersamaan dengan tradisi lainnya yaitu, Tanglong, atau festival lampion. Tidak hanya menampilkan lampion-lampion yang indah, tradisi ini juga diwarnai pawai kendaraan hias dan kostum. 

Masyarakat sangat bersemangat mengikuti pawai ini. Pasalnya, sejak tahun 2000, pemerintah kota pun menjadikannya ajang perlombaan dengan berbagai hadiah menarik. Hal ini guna melestarikan budaya malam ke-21 Ramadan. Selain itu, sebagai ajang silaturahmi untuk memperkuat hubungan antarmanusia.

Masyarakat pun berlomba menampilkan kreativitasnya dalam menggabungkan unsur seni dan agama sehingga memberikan nuansa Islami yang indah dan semarak. 

Konon, tradisi Tanglong sudah ada sejak munculnya Islam di tanah Banjar. Dulunya, warga akrab dengan Badadamaran atau menyalakan lampu dari getah kayu damar. Lampu-lampu ini biasanya mereka pajang di halaman rumah dan pinggiran jalan sejak malam 21 Ramadan hingga menjelang lebaran.

Namun, sejak 25 tahun silam, tradisi ini mulai hilang seiring dengan mulai habisnya pohon damar. Para warga pun menggantikan getah damar ini dengan pelita bersumbu kain yang diletakkan di botol atau kaleng bekas minuman. Tradisi ini pun berkembang ke arah kreativitas pola dan bentuk.

Muncullah tradisi Tanglong pawai pelita dengan media lampion. Pawai ini menampilkan beberapa ornamen ke-Islaman, seperti miniatur masjid, beduk, hingga burung Buraq.

Akhirnya, kedua tradisi ini mendapatkan dukungan dari pemerintah kota sehingga bisa dilaksanakan tiap malam ke-21 Ramadan setiap tahunnya. Bahkan, pemerintah telah menyediakan sejumlah dana untuk menyediakan hadiah bagi peserta pawai.

***

Namun festival Tanglong... 

2 dari 2 halaman

Menuai Kontroversi

Menuai Kontroversi © Dream

Menuai Kontroversi

Namun festival Tanglong dan Bagarakan juga memicu kontroversi. Muncul tentangan dalam pelaksanaan tradisi ini. Hal ini karena adanya sebagian orang menganggap tradisi itu sebagai acara religius tetapi terkesan glamor dan hura-hura. 

Sebagian masyarakat berpikir bahwa dalam sudut pandang Islami, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Dalam pengemasan acara diakui terdapat beberapa hal yang mencerminkan kemeriahan dan cenderung dianggap glamor. Terlebih ada yang menganggap acara ini memunculkan sesuatu yang mudharat bagi para pengujungnya yang larut dalam suka cita.

Alhasil, Festival Tanglong dan Bagarakan Sahur yang sudah menjadi agenda tahunan setiap bulan Ramadan yang digelar Pemerintah Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, sejak tahun 2014 ditiadakan. 

Wali Kota Banjarbaru, Ruzaidin Noor, kepada wartawan tahun lalu menyatakan, keputusan meniadakan festival yang menjadi ikon pariwisata Banjarbaru itu berdasarkan masukan banyak pihak terutama tokoh agama.

" Pengurus Majelis Ulama Indonesia dan tokoh agama meminta kegiatan itu ditiadakan karena mengganggu kesucian dan kekhusukan bulan suci Ramadan sehingga kami respon dan diputuskan ditiadakan," ujarnya.

Ia mengatakan, tokoh agama dan tokoh masyarakat meminta kegiatan yang biasanya dilaksanakan malam ke-21 Ramadan atau malam " Salikur" itu, banyak membawa mudharat daripada manfaatnya. 

Oleh karena itu, kata dia, sejalan dengan harapan pengurus MUI, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, akhirnya diputuskan festival yang tujuannya untuk menyemarakkan bulan Ramadan itu ditiadakan mulai 2014. Sehingga pelaksanaan festival yang sudah berlangsung selama 13 tahun itu sejak tahun lalu ditiadakan.

Dengan demikian sudah dua tahun terakhir ini tradisi Ramadan unik ini tak lagi digelar di Kalimantan Selatan. Apakah ini pertanda tradisi unik ini akan menyusul berbagai tradisi daerah yang sudah terlebih dahulu lenyap akibat perkembangan zaman? Entahlah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya… (eh)
 
(Sumber: berbagai sumber)

Beri Komentar