Ini Kondisi Sebenarnya Penduduk Negara Bersatus Kaya

Reporter : Syahid Latif
Minggu, 13 Maret 2016 16:02
Ini Kondisi Sebenarnya Penduduk Negara Bersatus Kaya
Mereka bangga dengan status warga negara berpenghasilan terbesar di dunia. Nyatanya, hidup mereka....

Dream - Status sebagai negara kaya tak menjamin penduduknya hidup serba berkecukupan. Justru status itu menjadi bencana karena gaya hidup yang terpaksa diangkat.

Inilah yang dialami salah satu negara dengan penghasilan penduduk per kapita paling besar, Qatar. Penduduk negara ini justru terkena demam utang.

Mengutip laman businessinsider, Minggu, 13 Maret 2016, Qatar yang memiliki jumlah penduduk 2,4 juta justru sebagian besar dihuni pekerja asing yang kurang memiliki akses ke pinjaman dengan bunga rendah di sistem perbankan konvensional yang terpisah dari lembaga keuangan Islam.

Dianggap sebagai 'kutukan sosial' dan demam yang menyebar dari rumah ke rumah oleh para analis, tingginya tingkat utang di kalangan warga asli Qatar yang jauh lebih kecil tetap merupakan masalah nasional yang terus meningkat.

Banyak acara talk show di radio setempat menghadirkan pegawai negeri yang mengeluh terjebak utang setelah meminjam uang dari bank. Mereka tak menyadari tingginya biaya pengembalian.

Sementara itu, di masjid-masjid setiap diselenggarakan salat Jumat, para pengkhotbah mengecam orang-orang yang membiayai liburan mereka ke Eropa dan menggelar pesta pernikahan mewah dengan utang. Padahal gaya hidup itu bisa menghabiskan semua uang gaji sehingga menyebabkan depresi dan perceraian.

Sebagian warga Qatar mengatakan, booming ekonomi di era tingginya harga energi dunia yang berakhir pada pertengahan 2014 telah mendorong mereka untuk menaikkan standar hidup.

" Anda tidak mungkin punya jam tangan jelek, mobil bekas, atau telepon tua. Anda harus punya model terbaru agar tidak terlihat 'miskin'," kata Mohammed al-Mari, mantan polisi lalu lintas.

" Orang-orang akhirnya berpura-pura mereka memiliki banyak uang hanya untuk menjaga gengsi. Di sinilah mulai muncul tekanan sosial ini," tambahnya.

Al-Mari teringat seorang lulusan universitas baru yang sedang kesulitan uang. " Dia membeli iPhone terbaru karena melihat teman-temannya banyak yang punya. Namun, kemudian, di akhir bulan, dia menjualnya kembali untuk membayar tagihan," kata dia.

Ditambahkannya, dia juga mengenal seorang wanita Qatar baru-baru ini yang terbang ke negara tetangga Dubai untuk membeli tas bermerek palsu. " Temannya baru saja membeli tas mahal yang dia inginkan tetapi tidak mampu membelinya," ujar Al-Mari.

Selain budaya pemborosan dan konsumerisme, banyak yang mengatakan warga Qatar mengalami 'sindrom kesejahteraan' yang telah menyebabkan generasi muda untuk percaya mereka bisa hidup seenaknya dan menggantungkan bantuan kerabat atau pemerintah.

Beri Komentar