Wartawan Dari Berbagai Media Dalam Wartawan Hitam Jakarta Menggelar Unjuk Rasa Di Depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). (Foto: Liputan6.com)
Dream - Kasus doxing atau penyebarluasan informasi pribadi untuk tujuan kekerasan yang menimpa jurnalis Liputan6.com mendapat perhatian serius dari dua institusi jurnalistik, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Kedua lembaga tersebut pada intinya mengecam keras tindakan doxing yang menimpa jurnalis Liputan6.com, Cakrayuri Nuralam.
Cakra, sapaan akrab jurnalis Liputan6 Cakrayuri Nuralam, menjadi korban doxing setelah memverifikasi klaim yang menyebut politisi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan merupakan cucu pendiri PKI di Sumatera Barat, Bachtaroeddin.
Dalam pernyataannya, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, mengungkapkan bahwa doxing adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap wartawan. Menurutnya, saat ini jurnalis banyak terkena doxing berupa penyebarluasan nomor telepon, link akun media sosial, dan pendidikan.
" Doxing semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Okelah saat ini kita belum memiliki aturan terkait dengan perlindungan data pribadi tapi dengan melihat motif saya pikir peristiwa doxing adalah bentuk hambatan pekerjaan terhadap pers," kata dia saat dihubungi, Sabtu, 12 September 2020.
Ade mencatat, setidaknya ada tiga jurnalis cek fakta yang sudah terkena doxing pada tahun ini. Dua jurnalis lain adalah dari media Tempo.
Dia mengatakan doxing terjadi karena belum adanya aturan yang lebih tegas soal penyebaran informasi data pribadi. Akibatnya pada pelakunya tidak bisa diseret ke meja hijau. Kecuali, di dalam doxing itu ada intimidasi, pelecehan, atau ancaman kekerasan.
" Itu bisa ditindaklanjuti ke proses hukum. Karena itu sekarang dipantau saja apakah akibat dari penyebaran informasi itu terdapat intimidasi, ancaman kekerasan, pelecehan. Tinggal di monitoring sambil kemudian teman-teman yang lain untuk melaporkan akun si penyebar doxing," jelas dia.
Ade kemudian menyarankan kepada redaksi Liputan6.com untuk segera menyiapkan protokol keamanan bagi jurnalis, sebagai antisipasi adanya peristiwa lanjutan.
" Karena sudah menyebar, dia bisa cek alamat rumah, nomor telepon, jadi redaksi harus mempersiapkan protokol keamanan untuk si jurnalis," katanya.
Selain itu, jurnalis yang menjadi korban pun harus membatasi akses media sosial ke orang lain. Ade menyarankan sebaiknya dikunci agar orang di luar teman-temannya tidak bisa melihat.
Selanjutnya, melaporkan akun-akun pelaku penyebar doxing agar segera diblokir. Jika perlu lapor ke pihak berwajib untuk meminta perlindungan.
" Itu langkah awal yang harus diperhatikan untuk meminimalisir adanya peristiwa lanjutan," pungkas dia.
Sementara itu Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, mengecam adanya praktik doxing terhadap jurnalis atas produk jurnalistiknya.
" AJI Jakarta mengecam segala bentuk aksi doxing terhadap jurnalis Liputan6.com. Artinya doxing yang dilakukan pihak tertentu adalah sebuah tindakan kriminal yang itu melanggar Undang-Undang Pers, artinya doxing itu salah satu bagian dari kekerasan terhadap jurnalis," tutur Erick saat dihubungi, Sabtu 12 September 2020.
Erick kemudian menjelaskan bahwa kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Segala bentuk aksi yang dimaksudkan untuk mengganggu kinerja jurnalistik bertentangan dengan undang-undang.
" Ancamannya pidana penjara dua tahun atau denda Rp 500 juta," tambah dia.
AJI Jakarta meminta semua pihak baik itu pemerintah maupun seluruh lapisan elemen masyarakat agar menyikapi masalah pemberitaan dengan cara yang beradab. Artinya mengikuti mekanisme sesuai undang-undang yang berlaku.
" Bisa melalui mekanisme hak jawab jika tidak terima dengan pemberitaan. Atau menyelesaikannya di Dewan Pers, itu amanah undang-undang. Jadi nggak bisa semena-mena melakukan doxing, apalagi sampai menimbulkan teror," kata Erick.
Sumber: Liputan6