Hukum Menukarkan Uang Menjelang Lebaran (Foto Ilustrasi: Shutterstock.com)
Dream - Sudah menjadi tradisi di tengah masyarakat Indonesia menjelang lebaran atau hari raya Idul Fitri tiba, orang-orang akan menukar uang dengan nilai yang berbeda-beda. Mulai dari 5.000, 10.000, 20.000, dan sebagainya untuk kemudian dibagikan kepada saudara maupun anak-anak saat lebaran.
Penukaran uang sendiri bukanlah hal yang sulit. Apalagi menjelang lebaran ada banyak sekali jasa penukaran uang dadakan yang bisa dijumpai di pinggir jalan. Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan bagi beberapa orang. Bagaimana hukumnya melakukan penukaran uang menjelang lebaran? Apakah ini tergolong sebagai perbuatan riba?
Dalam hal ini ada berbagai pendapat dengan alasan dan dasarnya masing-masing. Oleh karena itu, mari kita simak penjelasan berikut ini terkait hukum melakukan penukaran uang menjelang lebaran sebagaimana dirangkum Dream melalui berbagai sumber.
Dikutip dari konsultasisyariah.com, dalam kajian ekonomi terdapat beberapa istilah barang ribawi, yakni emas, peraj, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam. Hal tersebut dijelaskan dalam hadis riwayat Muslim berikut:
“ Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai.” (HR. Muslim 4147).
Kemudian dijelaskan dalam riwayat lainnya sebagai berikut:
“ Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)
Melalui hadis di atas, Rasulullah saw pun memberikan tiga ketentuan pada tukar-menukar sebagai berikut:
Dalam hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni wajib sama dan tunai. Misalnya saja emas dengan emas, rupiah dengan rupiah, kurma jenis A dengan kurma jenis B. Nabi saw berkata:
" Takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai)."
Untuk tukar-menukar antar barang yang berbeda tetapi masih satu kelompok, maka ada syaratnya, yakni wajib tunai. Misalnya saja emas dengan perak. Dalam hal ini diperbolehkan beda berat, tetapi tetap wajib tunai. Dijelaskan oleh Nabi saw berikut:
" Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai."
Ketentuan yang ketiga adalah jika tukar-menukar untuk benda yang beda kelompok. Dalam hal ini tidak ada aturan khususnya. Jadi, boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya saja jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam yang dibayar dengan uang. Semuanya boleh terutang asalkan sama-sama saling ridho.
Dalam praktik melakukan tukar-menukar uang receh yang biasanya dilakukan menjelang lebaran, di dalamnya terdapat kelebihan. Maka hal tersebut dianggap sebagai riba. Ketika uang Rp 100.000 ditukar dengan uang pecahan Rp 5.000, terdapat selisih Rp 10.000 atau ada tambahannya. Hal ini tergolong sebagai transaksi riba. Karena terdapat ketidaksamaan, walaupun dilakukan secara tunai.
Rasulullah saw bersabda:
" Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa."
Dikutip dari nu.or.id, jika dilihat dari praktik penukaran uang atau ma'qud 'alaih adalah uangnya. Jadi, penukaran yang dengan kelebihan jumlah tertentu haram hukumnya karena masuk dalam kategori riba.
Berbeda jika dilihat dari sisi praktik penukaran uang atau ma'qud 'alaih adalah jasa orang yang menyediakan. Maka praktik penukaran urang dengan kelebihan tertentu hukumnya adalah mubah karena masuk dalam kategori ijarah. Ijarah sendiri menurut KH. Afifuddin Muhajir dalam Fathul Mujibil Qarib adalah sebagai berikut:
“ Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).”
Adanya kelebihan uang yang diberikan untuk upah pada pemilik jasa penukaran uang tidak ada ketentuannya dalam fikih. Hal tersebut tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, yakni penerima jasa dan pemilik jasanya.
Jadi, kalau hendak menggunakan jasa penukaran uang, maka jangan lupa untuk meniatkan diri bahwa praktik itu adalah akad ijarah. Dengan begitu, adanya kelebihan uang tidaklah termasuk dalam riba, tetapi upah untuk jasa penukaran uang.
Advertisement
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini
Masa Tunggu Haji Dipercepat, dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun
Viral Laundry Majapahit yang Bayarnya Hanya Rp2000
NCII, Komunitas Warga Nigeria di Indonesia
Azizah Salsha di Usia 22 Tahun: Keinginanku Adalah Mencari Ketenangan
Throwback Serunya Dream Day Ramadan Fest bersama Royale Parfume Series by SoKlin Hijab
Benarkah Gaji Pensiunan PNS Naik Bulan Ini? Begini Penjelasan Resminya!
Timnas Padel Indonesia Wanita Cetak Sejarah Lolos ke 8 Besar FIP Asia Cup 2025
Hore, PLN Berikan Diskon Tambah Daya Listrik 50% Hingga 30 Oktober 2025
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
Hasil Foto Paspor Shandy Aulia Pakai Makeup Artist Dikritik, Pihak Imigrasi Beri Penjelasan
Zaskia Mecca Kritik Acara Tanya Jawab di Kajian, Seperti Membuka Aib