Bonnie Triyana: Penulisan Sejarah Tak Boleh Abaikan Fakta Kekerasan Seksual Tragedi 1998

Reporter : Daniel Mikasa
Rabu, 18 Juni 2025 13:13
Bonnie Triyana: Penulisan Sejarah Tak Boleh Abaikan Fakta Kekerasan Seksual Tragedi 1998
Karya sejarah seharusnya memberi manfaat sebagai pembelajaran, bukan hanya berisi narasi heroik.

Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, dengan tegas mengkritik pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanyalah rumor. Ia menilai bahwa sudut pandang subjektif seorang menteri tidak bisa menghapus realitas sejarah yang menyakitkan tersebut.

" Apa yang menurut Menteri Kebudayaan tidak ada, bukan berarti tak terjadi," ujar Bonnie saat dimintai tanggapan soal pernyataan kontroversial tersebut, Rabu (18/6/2025).

Diketahui, Fadli Zon mengklaim bahwa tak ada bukti terkait peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998, dan menyebut cerita-cerita yang berkembang hanya bersumber dari rumor. Ia juga menyatakan bahwa Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak dapat membuktikan laporan-laporan mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan saat itu.

Namun faktanya, laporan resmi TGPF menyebutkan adanya kekerasan seksual di sejumlah kota seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya selama kerusuhan berlangsung. Dalam laporan tersebut, tercatat empat bentuk kekerasan: pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan disertai penganiayaan (14 korban), penyerangan seksual (10 korban), dan pelecehan seksual (9 korban). Selain itu, ditemukan pula kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa kerusuhan.

Bonnie menyayangkan pernyataan Fadli Zon, apalagi mengingat ia adalah pihak yang menginisiasi proyek penulisan ulang sejarah nasional. Menurutnya, seorang Menteri Kebudayaan seharusnya tidak mengabaikan kekerasan terhadap perempuan, khususnya warga Tionghoa, yang terjadi saat kerusuhan rasial 1998.

" Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan," tegas Bonnie.

Sebagai anggota Komisi X yang membidangi sektor pendidikan dan kebudayaan, Bonnie menegaskan bahwa karya sejarah seharusnya memberi manfaat sebagai pembelajaran, bukan hanya berisi narasi heroik. Menurutnya, catatan sejarah juga perlu memuat kisah-kisah luka bangsa agar bisa menjadi refleksi bagi generasi penerus.

" Tanpa terkecuali untuk penyelenggara negara di masa kini dan masa depan," tegas legislator dari Dapil Banten I tersebut.

Ia juga memperingatkan bahwa sikap menyangkal tragedi Mei 1998 hanya akan memperdalam luka kolektif korban, keluarga, dan masyarakat yang terlibat dalam masa kelam tersebut.

" Penyangkalan atas peristiwa pemerkosaan massal terhadap kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial 1998 hanya akan menambah beban traumatik pada penyintas dan keluarganya, bahkan kepada masyarakat yang mengalami peristiwa itu," ungkapnya.

Saat ini, Kementerian Kebudayaan sedang menyusun kembali buku Sejarah Nasional yang dijadwalkan rampung Agustus 2025. Namun, dalam draf Kerangka Konsep Penulisan tersebut, sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat justru tidak dicantumkan. Di antaranya: pemerkosaan massal perempuan Tionghoa dalam kerusuhan 1998, kasus penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997–1998, tragedi Trisakti dan Semanggi, serta kasus HAM di Aceh dan Papua.

Bonnie pun mendesak agar proyek penulisan ulang sejarah dihentikan jika hanya menjadi alat kekuasaan yang menyaring sejarah secara sepihak.

" Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini," pungkasnya.

Beri Komentar