Fatwa MUI: Crypto Sebagai Mata Uang Hukumnya Haram

Reporter : Ahmad Baiquni
Jumat, 12 November 2021 11:00
Fatwa MUI: Crypto Sebagai Mata Uang Hukumnya Haram
Terdapat potensi gharar dan dharar dalam kripto.

Dream - Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia menetapkan crypto dimanfaatkan sebagai mata uang hukumnya haram. Demikian pula, perdagangan kripto dinyatakan tidak sah.

Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh, menyatakan ada tiga alasan yang digunakan dalam penetapan keharaman crypto sebagai mata uang.

Pertama, terdapat kandungan gharar (ketidakpastian) dan dharar (kerusakan) dalam crypto. Selain itu, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.

Kedua, crypto sebagai komoditas atau aset digital tidak sah diperjualbelikan. Sebab, di dalamnya terkandung potensi gharar, dharar, dan qimar (pertaruhan).

" Tidak memenuhi syarat sil'ah secara syar'i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli," ujar Niam.

Tetapi, selama memenuhi ketentuan sil'ah, maka transaksi crypto adalah sah, dikutip dari Merdeka.com.

1 dari 4 halaman

Hukum Pinjol dan Pernikahan Online Jadi Bahasan Komisi Fatwa MUI

Dream - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia untuk membahas sejumlah isu aktual dan masalah kebangsaan yang tengah terjadi pada umat. Salah satu isu yang jadi pembahasan adalah mengenai Pinjaman Online (Pinjol)

Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat, KH Asrorun Niam Sholeh, menerangkan sejumlah agenda yang dibahas dalam forum yang berlangsung 9-11 November 2021 di antaranya strategi kebangsaan, fikih kontemporer, serta hukum dan perundang-undangan

" Dalam forum ini akan dibahas masalah strategis kebangsaan di antaranya tentang dhawabith dan kriteria penodaan agama, jihad dan khilafah dalam bingkai NKRI, panduan Pemilu yang lebih masalahat, distribusi lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan, dan masalah perpajakan," ujar Asrorun.

Sedangkan masalah fikih kontemporer dibahas beberapa isu. Seperti hukum pernikahan online, cryptocurrency, pinjaman online, transplantasi rahim, zakat perusahaan, penyaluran zakat dalam bentuk qardh hasan, serta zakat saham.

Sementara untuk masalah berkaitan dengan hukum dan perundang-undangan, Niam mengatakan forum juga akan meninjau RUU Minuman Beralkohol. RKHUP terkait perzinahan, dan peraturan tata kelola sertifikasi halal.

2 dari 4 halaman

Bukan Semata Kajian Keagamaan

Niam menyatakan Ijtima Ulama tidak semata menjadi kajian keagamaan. Tetapi, menjadi pedoman umat Islam Indonesia menghadapi berbagai masalah keumatan dan kebangsaan.

" Juga penentu arah untuk mengokohkan fungsi dan peran ulama," kata Niam.

Dalam pembahasan sejumlah isu kontemporet, Niam mengatakan sejumlah ahli diundang untuk memberikan pandangan. Terutama mengenai aset kripto dan lain sebagainya.

" Kita mengundang berbagai ahli di bidangnya di antara adalah lewat FGD (forum group discussion) terkait dengan persoalan aset kripto mengundang dari Bappebti dan juga pelaku usaha serta dari pemegang kebijakan terkait," ucap Niam, dikutip dari MUI.

3 dari 4 halaman

MUI: Prokes di Tempat Ibadah Bukan Sekadar Aturan, Tapi Panggilan Keagamaan

Dream - Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Asrorun Niam Sholeh, menyatakan, kondisi pandemi saat ini telah melandai. Masyarakat sudah dibolehkan melakukan kegiatan keagamaan di tempat ibadah namun dengan protokol kesehatan yang ketat.

Niam menyatakan prokes bagi umat beragama tidak bisa dipandang sekadar aturan. Lebih dari itu, merupakan panggilan keagamaan bagi setiap orang untuk menjaga diri dan saudaranya agar tidak tertular Covid-19.

" Kalau dalam perspektif Islam, ketika ada orang melaksanakan sholat tetapi menyebabkan orang lain terpapar atau menyebabkan orang lain khawatir (terpapar) itu saja sudah tidak diperkenankan. Di situlah panggilan keagamaan," ujar Niam dalam webinar disiarkan kanal FMB9ID.

Niam menegaskan prokes dalam menjalankan aktivitas ibadah bukan sekadar tanggung jawab sebagai warga negara menjalankan aturan Pemerintah.

" Itu adalah panggilan keagamaan atas dasar kesadaran dan ketaatan," kata dia.

 

4 dari 4 halaman

Ritual Keagamaan Bukan Pemicu Klaster Covid-19

Niam juga menyinggung sebenarnya aktivitas keagamaan skala besar seperti Hari Raya tidak memicu munculnya klaster Covid-19. Karena umumnya ritual keagamaan menyeimbangkan tanggung jawab praktik keagamaan dengan tanggung jawab menjaga keselamatan jiwa.

" Bukan Hari Raya sebenarnya yang menjadi faktor klaster Covid, melainkan sesi berliburnya, rekreasi kemuadian keluar ke ruang-ruang publik," kata dia.

Menurut dia, aktivitas keagamaan seperti Sholat Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, ataupun ke gereja rata-rata berjalan dengan prokes yang ketat. Masyarakat sudah sangat memahami hal ini sehingga penyebaran bisa dikendalikan.

" Yang tidak terkontrol itu mereka yang rekreasi," kata dia.

Lebih lanjut, Niam mengatakan prokes harus menjadi normalitas baru dalam kegiatan keagamaan di tengah menurunnya Covid-19. Dia pun mengingatkan agar masyarakat terus menjalankan kebiasaan bersih meski nantinya pandemi sudah berlalu.

" Jangan sampai kemudian nanti pada saat pandemi Covid-19 berlalu komitmen menjaga kebersihan hilang, jadi jorok, atau tidak mencuci tangan," ucap dia.

Beri Komentar