Dream – Saldi Isra menjadi salah satu dari dua Hakim Konstitusi yang mengajukan dissenting opinion atau pendapat ebrbeda pada putusan perkara uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 tahun 2017. Dia mengaku bingung dengan amar putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal itu mengatur persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus berusia paling rendah 40 tahun.
Namun salam putusannya, MK memaknai pasal itu menjadi, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
kata Saldi Isra saat membaca pendapatnya dalam persidangan di Gedung MK, Senin 16 Oktober 2023.
Saldi Isra mengaku baru kali ini menemukan keanehan sejak menjabat sebagai Hakim Konstitusi dan pertama kali menginjakkan kaki di gedung MK apda 11 April 2017 atau sekitar enam tahun silam.
Menurut dia, Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekejap. Sebelumnya, dalam putusan atas tiga permohonan, yaitu perkara nomor 29, 51, dan 55/PUU- XXI/2023 [perkara nomor 29, 51, dan 55], Mahkamah menyatakan pengubahan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan wewenang pembentuk undang-undang. Tak ada cara lain mengubah pasal 69 huruf q, selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
“Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari,” kata dia.
Saldi menambahkan, perubahan pendirian Mahkamah tak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi sangat kuat setelah mendapatkan fakta penting yang berubah di tengah masyarakat.
Dia mempertanyakan fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari putusan menolak dalam perkara nomor 29, 51, dan 55, menjadi mengabulkan dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 [perkara nomor 90].
Saldi mengatakan, ada belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Perkara nomor 29, 51, dan 55 merupakan permohonan gelombang pertama.
Dari belasan perkara tersebut, hanya tiga permohonan itu yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan pihak-pihak, mulai Presiden, DPR, Pihak Terkait, ahli Pemohon, dan juga ahli Pihak Terkait.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus perkara Nomor 29, 51, dan 55, pada tanggal 19 September 2023, dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi. Mereka adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
Hasil rapat itu, enam Hakim Konstitusi sepakat menolak perkara Nomor 29, 51, dan 55. Mahkamah memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).
Namun kondisi berbeda terjadi pada RPH berikutnya, ketika membahas perkara nomor 90 dan Nomor 91/PUU- XXI/2023 [perkara nomor 91]. Padahal, apsal yang disoal sama, yaitu Pasal 169 huruf q UU 7/2017, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua.
Dalam RPH membahas perkara nomor 90 dan 91, RPH dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi. Menurut Saldi, beberapa hakim yang memutuskan menolak dalam perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 tiba-tiba tertarik dengan model alternatif yang diajukan pemohon perkara nomor 90.
Padahal, tambah Saldi, meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam perkara nomor 90 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29, 51, dan 55.
Menurut Saldi, tanda-tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pendapat beberapa hakim dari putusan MK Nomor 29, 51, dan 55 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet.
“Karena itu, pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali,” kata dia.
Apalagi, para pemohon perkara nomor 90 dan 91 sempat menarik permohonannya. Namun sehari kemudian mereka membatalkan penarikan tersebut. Mahkamah pun harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para pemohon.
Menurut Saldi, terlepas dari “misteri” penarikan dan pembatalan penarikan perkara nomor 90 yang hanya berselang sehari, sebagian Hakim Konstitusi yang dalam perkara nomor 29, 51, dan 55 menyatakan menolak dan memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian “pindah haluan” dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” dalam perkara nomor 90.
Dari lima hakim yang menyatakan “mengabulkan sebagian” permohonan perkara nomor 90, tiga Hakim Konstitusi memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” memadankan atau membuat alternatif dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sementara itu, tambah dia, dua Hakim Konstitusi yang juga “mengabulkan sebagian” tersebut memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” memadankan atau membuat alternatifnya dengan “pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur”.
Setelah menguraikan fakta-fakta itu, Saldi punya pertanyaan “ringan” dan mengelitik. Dia bertanya, apakah bila RPH untuk memutuskan perkara nomor 29, 51, dan 55, dihadiri seluruh Hakim Konstitusi yang berjumlah sembilan hasilnya akan tetap menolak perkara dan menyatakan yang berwenang mengubah Pasal 69 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum pembuat undang-undang?
Saldi bertanya pula, jika RPH untuk memutus perkara nomor 90 sama dengan komposisi hakim dalam putusan perkara nomor 29, 51, dan 55, yaitu delapan hakim tanpa dihadiri Hakim Konstitusi Anwar Usman, apakah hasilnya tetap “menolak”?
Menurut Saldi, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam perkara nomor 29, 51, dan 55, menjadi sembilan orang dalam perkara nomor 90 dan 91 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan.
“Tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel “sebagian”, sehingga menjadi “mengabulkan sebagian”,” tutur Saldi Isra.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN