Jokowi Dan Sandiaga Uno (Liputan6.com)
Dream - Di bawah temaram lampu. Di pinggir jalanan ibu kota. Sandiaga Uno bernyanyi. Ngejam bareng seniman muda. Tampil kasual. Kemeja lengan tergulung yang biasa tersandang, berganti kaos biru langit berkerah. Body fit. Gaya anak jaman now.
Lihat aksinya. Sungguh energik. Berdiri di depan pemusik. Di tengah riungan anak muda. Tangan diangkat. Melambai. Bak vokalis, Sandiaga mengajak semua orang bernyanyi. Diiringi genjrengan gitar, pukulan drum box, serta gesekan biola, mereka menuntaskan Mahadewi. Tembang milik band Padi. Video riang inilah yang diunggah Sandiaga ke sosial media 26 Agustus lalu.
Di pinggir jalan itu, Sandiaga tidak sedang menggelar konser. Dia politisi. Bukan artis. Tidak pula tengah mengamen. Malam itu, Sandiaga tengah meninjau tempat relokasi pedagang di sekitar Senayan. Saat bersantai makan sate, dia diajak nimbrung ke tengah para seniman itu. Lewat caranya sendiri, Sandiaga menyapa dan mendengar kalangan milenial. Video itu ramai dibicarakan. Viral.
Mari berselancar ke sosial media. Bukalah Facebook. Di microblogging ini, video ngejam bareng itu sudah dilihat 78 ribu kali. Share lebih dari 1.600. Disukai sepuluh ribu netizen, ada limaratus lebih komentar. Di Instagram, views tembus 330 ribu. Di Twitter, video ini dicuit ulang lebih dari 1.500 kali. Disukai hampir enam ribu warganet. Jumlah yang terbilang besar.
Jauh sebelum berlaga di pentas politik, dan terakhir melaju ke bursa calon Wakil Presiden jadi sekondan Prabowo Subianto, Sandiaga sudah aktif di media sosial. Pada sejumlah platform jejaring percakapan, dia sudah punya banyak fans.
Di Facebook, punya sejuta lebih pengikut. Instagram hampir dua juta follower. Di Twitter, diikuti hampir sejuta akun. Sejumlah akun itu, tentulah menjadi jendela bagi Sandi bertemu warga jagat maya. Lintas generasi. Lintas pulau. Sekian ribu kali lipat dari reriungan anak muda yang riang di bawah temaran lampu itu.
Dari sejumlah postingan pada sejumlah akun itu, Sandi atau team media sosialnya, bisa merekam masukan. Usulan. Kritikan tajam dan bahkan sanjungan peletup semangat. Bacalah komentar netizen. Pada postingan ngejam itu, para pendukung dari antah berantah memberi pujian kepada calon wakil presiden yang energik ini.
Salah seorang netizen bilang begini, “ Terharu lihat kebersamaan ini. Wahai anak-anak muda, contohlah beliau.” Tentu, tak sedikit pula yang memberi sindiran. Menyebut cara itu meniru gaya orang lain. Kekaguman dan cibiran jadi satu. Tapi, ya memang begitulah warga dunia maya ini. Mereka merasa bebas bicara.
Mari tinggalkan sejenak akun Sandiaga. Lalu buka akun Jokowi. Calon presiden yang berpasangan dengan Ma’ruf Amien dan menjadi rival Prabowo-Sandi. Jokowi juga aktif di medsos. Hampir sembilan juta akun jadi pengikutinya di Facebook. Di Instagram malah nyaris 12 juta. Sedangkan di Twitter, mantan walikota Solo itu punya sepuluh juta lebih.
Jika Anda masih punya kuota internet, atau tengah tersambung dengan Wifi gratis, coba beranjangsana ke akun Instagram sang presiden. Lihat foto yang diunggah pada 25 Agustus silam. Ini potret masa lalu. Tentang masa muda mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Di sana, ada tiga pemuda. Mereka tengah camping pada sebuah tempat. Berlatar tenda hitam, anak-anak muda itu mengepung wajan yang nangkring di kompor mungil. Dua pemuda mengangkat mi instan yang baru matang. Uap masih mengepul. Panas.
Coba amati pemuda bertopi itu. Duduk paling kanan. Berjaket parasut hitam bercampur biru. Celana jins nyaris belel. Si penuang kecap botol pada foto itu adalah Jokowi muda. Yang sekian tahun kemudian menjadi presiden republik ini.
Foto itu diunggah demi mengklarifikasi sebuah gambar, yang sebelumnya ramai dibagi. Sekitar pertengahan Agustus. Berambut punk, ada yang menduga anak muda itu adalah Jokowi. Lewat foto berkemah di gunung itu, pria bernama lengkap Joko Widodo ini memastikan potret yang tengah dibicarakan banyak orang itu bukanlah dia.
Sembari bergurau Jokowi menjelaskan postingannya itu. Bahwa saat muda, dia tidaklah seganteng pemuda berambut punk tadi. Bahwa pada usia seperti itu, Jokowi lebih senang naik gunung. Bertualang. Menjelajah alam. “ Kami berjalan ke hutan, tidur di tenda, berbekal ala kadarnya seperti mi instan.”
Tak ayal, foto Jokowi ramai sahutan. Di Instagram, potret ini disukai hampir satu juta pengguna jejaring berbagi foto dan video ini. Di Facebook, disukai lebih dari 81 ribu penghuni. Dibagikan tujuh ribu kali. Dan menuai 12 ribu komentar. Riuh, kocak, dan banyak yang bikin ngakak.
Sama seperti postingan video Sandiaga, tanggapan di sini juga beragam. Bertabur sanjungan dan kekaguman. Tapi kritikan juga banyak. Dari yang sekedar bertanya soal sepeda. Menyoroti kinerja. Hingga menyoal kurs dolar yang belakangan ini ramai jadi bahan debat, sekaligus rasa cemas. Komentar yang masuk bisa semanis kecap. Bisa juga sepanas mie yang mengepul itu.
Bagi pesohor, politisi seperti Sandi, atau presiden seperti Jokowi, sosial media adalah jalan potong. Pintas bertemu pemilih. Sebagai presiden, kesibukan Jokowi tentu bejibun. Tak sembarangan ditemui di istana. Begitupula Sandi. Pebisnis dengan sekian perusahaan, tentulah punya segambreng urusan.
Tapi pada jejaring sosial media, mereka terasa begitu dekat. Entah oleh mereka sendiri atau tim, postingan yang diunggah itu, kerap kali kuat unsur personalnya. Tidak urusan formal melulu. Bahkan penuh gurau. Reaksi netizen juga beragam. Agak intim juga banyak. Bila Anda membaca satu persatu komentar, maka akan bertemu netizen yang memanggil Jokowi sebagai Pakde. Atau Bang, untuk memangil Sandiaga Uno.
Bagi calon wakil presiden seperti Sandiaga, atau calon presiden seperti Jokowi, rajin menyapa warga media sosial, adalah cara hemat menjangkau pemilih. Jumlah penghuni jagat maya jutaan. Mari melihat data We Are Social. Ini agensi marketing sosial berbasis di New York, Amerika Serikat. Mereka menyebut 143 juta warga Indonesia menggunakan internet. Itu artinya lebih dari separuh populasi negeri ini, yang jumlahnya sekitar 265 juta, sudahlah menjadi warga dunia maya.
Bukan cuma jumlah begijun, orang sebanyak itu juga betah berlama-lama di sana. Menurut laporan bertajuk ‘Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World’ yang dirilis 30 Januari 2018 itu, netizen Indonesia betah menyelam di sosial media. Saban hari, rata-rata netizen negeri kepulauan ini melewatkan tiga jam 23 menit untuk berselancar.
Data itu juga menyebut pengguna Facebook di Indonesia mencapai 130 juta. Terbanyak ke empat setelah India, Amerika Serikat, dan Brasil. Instagram juga lumayan banyak. Ada 55 juta pengguna. Sementara, Line pada Mei lalu sudah punya 90 juta pengguna di Tanah Air. Tiga tahun lalu, pengguna Twitter Indonesia mencapai 50 juta. Dan, kebanyakan penggunanya terkenal rajin abis.
Dari jumlah seratus juta lebih itu, hampir separuh adalah kalangan millenial. Simak saja survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) berikut ini. Usia 13-18 tahun sejumlah 16,68 persen. Mereka yang direntang usia 19-34 sekitar 49, 52 persen. Jumlah penguna di usia 35-54 sebesar 29, 55 persen. Dan usia di atas 54 sebesar 4,24 persen.
Jika merujuk pada sejumlah defenisi bahwa millenial adalah mereka yang lahir setelah tahun 1980, maka millenial penguna internet sekitar 70 persen. Meski penguna yang berusia 13-15 tahun belum ikut mencoblos, jumlah millenial tetap dominan. Bahkan jadi penentu meraih kursi presiden. Dan, jalan gampang bertemu mereka adalah dunia maya.
Kesaktian dunia maya itu, sudah terbukti dalam sejumlah kontestasi pemilihan presiden. Lihatlah pemilu Amerika Serikat. Dua tahun silam. Meski tak dipungkiri hoaks dan ujaran kebencian banyak berhamburan selama kampanye. Tapi, setidaknya dari pemilu di negeri Tuan Trump itu, kita telah melihat kesaktian media sosial dalam kontestasi politik.
Sukses Donald Trump dinilai sejumlah kalangan tak lepas dari dunia digital. Dia, misalnya, membentuk tim digital. Berkantor di San Antonia. Dipimpin Brad Parscale, pendiri agensi Giles Parscale didapuk jadi kepala eksekutif kampanye digital Trump. Seratus staf bekerja di sana. Dari copywriter, ahli IT, hingga ilmuwan.
Dari penelusuran Digital Marketing Institute, diketahui bahwa kampanye Trump di Facebook dimulai dengan iklan US$2 juta. Sekitar 29 miliar rupiah. Nama pendukung Trump mereka unggah ke microblogging garapan Mark Zuckerberg ini. Tim ini kemudian menarget orang-orang yang punya kesamaan dengan para pendukung Trump, mulai dari kesamaan aktivitas maupun demografinya. Mereka adalah target kampanye.
Trump juga menarget pemilih muda wanita dan Afro Amerika. Dana US$150 juta diguyurkan untuk iklan Facebook dan Instagram. Database diperkaya. Profil 220 juta pengguna media sosial negeri itu rinci direntang. Data ini kemudian dipakai untuk menghadang kampanye rival di dunia digital.
Digital Marketing Institute juga mencatat belanja iklan digital Trump selama Pilpres menelan US$70 juta perbulan. Luar biasa raksasa, kan? Hasilnya Trump terpilih. Mengalahkan Hillary Clinton. Trump seperti menemukan kunci pintu Gedung Putih dari dunia digital.
Masih ada contoh lain lagi. Mari terbang ke Inggris. Coba baca cerita kemenangan besar Partai Buruh pada pemilu 2017. Keberhasilan itu tak lepas dari ‘sihir’ digital. Setahun sebelumnya, sebuah lembaga riset Inggris menyebut 23% netizen berusia dewasa merasa platform digital membantu memahami kebijakan partai. Sementara, 26% mengaku terdorong ikut memilih karena sosial media.
Partai Buruh memulai perjuangan mereka dari data ini. Mereka merasa bahwa kekalahan pada pemilu 2015 karena kurang royal kepada rakyat di dunia maya. Rival mereka, Partai Konservatif, megguyur dana sebesar 1,2 juta pounsterling untuk iklan digital. Sementara Partai Buruh hanya sepertujuh. Jelas saja mereka keok.
Mereka lalu putar haluan dana. We Are Social mencatat Partai Buruh menguasai 61% iklan digital. Di Facebook, Twitter, dan Instagram. Pada periode sama, Partai Konservatif hanya enam persen saja. Belanja iklan gila-gilaan di dunia digital itu memang membuahkan hasil. Sebanyak 622 ribu pemilih Partai Buruh terdaftar selama 24 jam jelang pemilihan. Kebanyakan mereka adalah pemilih muda!
Hasilnya, pada pemilu tahun lalu, Partai Buruh Inggris menang dengan meraup 21 kursi dari sang rival. Dua pemilu pada dua negara ini, memberi pelajaran bagaimana memenangkan pemilu. Raih kaum millenial. Caranya, harus dominan di media digital.
Lalu, marilah kita kembali ke dunia digital Jokowi dan Sandiaga. Kampanye memang belum dimulai. Dua tokoh ini juga belum posting materi kampenye di akun mereka. Tapi, dukungan telah mengalir. Deras, bak air bah. Di Instagram dan Facebook, banjir sokongan dan doa dari para pendukung masing-masing.
Pada akun Instagram Sandiaga, Abi Epunk Bahri berdoa agar idolanya itu menjadi pemimpin periode mendatang. Indonesia, katanya, akan menjadi lebih baik dan maju di bawah kepemimpinan Sandiaga. Baca pula komentar Elina Zahra. Fans berat dari Bandung. Dia menilai Sandiga sangat mumpuni. Elina juga berdoa untuk Sandiaga. Salah seorang fans, Zaenudin, menyebut Sandiaga adalah paket komplit, “ Sudah ganteng, tajir, rendah hati, taat ibadah, energik. Pokoknya komplit. Wapres 2019.”
Doa serupa juga bertabur di Facebook dan Instagram Jokowi. Banyak di antara pecinta ingin pria ceking ini kembali menjadi presiden Indonesia. Pengguna Facebook, Ray, yang berkomentar di bawah foto camping itu ingin Jokowi kembali jadi Presiden. Instagram tak kalah riuh. Aditya misalnya. Dia ingin Jokowi memimpin Indonesia lanjut hingga periode ke dua. Di Facebook, Heri Setiawan menulis, “ Saya beserta keluarga dukung Jokowi dua periode.”
Dunia digital, meski begitu tinggi dan luas jangkaunnya, dia tetaplah dunia yang personal. Makin personal sebuah postingan, makin kuat engagement dengan audiens. Ungahan personal kerap kali panen sahutan, ketimbang rumusan visi yang bikin kepala mumet.
Lihatlah unggahan foto Sandiaga pada 8 Agustus silam. Saat menerima kunjungan Dubes Finlandia, Paivi Hiltunen-Toivio. Potret di meja rapat itu hanya disukai oleh 23 ribu pengguna Instagram saja. Bandingkan foto ini dengan unggahan 11 Agustus. Saat Sandiaga mencium tangan sang bunda usai diminta Prabowo menjadi calon wakil presiden. Potret ini disukai lebih dari 250 ribu warganet.
View this post on Instagram
Buka juga unggahan foto Jokowi pada 7 Agustus. Saat berpidato di Istana. Di hadapan para menteri. Foto itu hanya disukai oleh 225 ribu pengguna Instagram. Kalah jauh dengan unggahan tanggal 10. Saat Jokowi sungkem kepada sang ibu untuk maju menjadi capres. Foto itu disukai lebih dari satu juta pengguna Instagram.
Advertisement
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik