Ilustrasi (www.theindependentbd.com)
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laa Ilaha Illallahu Allahu Akbar...
Allahu Akbar Walillahilhamd...
Dream - Takbir itu bergema. Menggetarkan dada Ma Hongtian yang bersimpuh di Masjid Nanguan. Rasa kagum menyala di hati. Merambat ke wajah sumringah dan mata yang berbinar.
Pagi itu benar-benar spesial bagi Ma. Hawa Idul Fitri seperti itu jarang dirasakan pria 77 tahun ini. Bersama 14.000 jemaah yang memadati masjid seluas 8.000 meter persegi itu, Ma larut dalam Takbir.
Ma pantas kagum. Suasana Lebaran seperti itu tak bisa dia temui di rumahnya di Harbin, Provinsi Heilongjiang, Tiongkok. Tak setiap sudut kota itu merayakan Idul Fitri.
" Di Harbin, hanya ada sedikit etnis Hui, sehingga kami tak sepenuhnya menikmati suasana Lebaran," tutur Ma.
Etnis Hui yang memeluk Islam memang minoritas di Harbin. Sehingga, dia memilih terbang 2.400 kilometer ke Yinchuan, Ningxia, untuk mencari suasana Idul Fitri yang lebih Khusyuk.
" Di Yinchuan, orang-orang mulai berkumpul di masjid besar pagi-pagi buta untuk sholat dan mengucapkan selamat satu sama lain," kata Ma.
Yinchuan memang banyak didiami etnis Hui. Sehingga suasana Idul Fitri lebih meriah. Dipastikan ada perayaan Lebaran di tiap sudut kota. Tak seperti Harbin.
" Hari ini, kami merasakan atmosfir yang bagus. Ini bagus untuk anak-anak kami agar tahu adat dan budaya," tutur dia.
Kegembiraan serupa juga dirasakan He Zhangjun, imam sholat Idul Fitri di Masjid Nanguan Mosque. Dia merasakan semakin tahun, jemaah bertambah banyak. " Ini pertanda bagus," kata dia.
" Ini menunjukkan perkembangan Islam di Cina dan kebebasan warga untuk mengikuti kegiatan keagamaan," tambah dia.
Umat Muslim memang menjadi minoritas di Cina. Berdasar survei tahun 2009, jumlahnya sekitar 21 juta, atau hanya 1,6 persen dari 1,3 miliar penduduk di negeri Tirai Bambu itu.
Tak hanya di Yinchuan, kemeriahan yang sama juga terlihat di daerah otonom Xinjiang, Provinsi Gansu, Provinsi Qinghai, dan tempat lain. Meski dikabarkan kerap dapat tekanan, Muslim di Cina masih bisa merayakan Idul Fitri dengan meriah.
Mereka masih bisa berkumpul dengan keluarga dan teman, menyantap hidangan lezat, serta juga memakai baju baru. Terkadang bahkan bisa menyelenggarakan festival meriah.
Simaklah kisah Ma Fugang. Pemuda 28 tahun yang bekerja sebagai chef di restoran di Beijing. Dia masih bisa menjalankan puasa selama Ramadan. Dan saat lebaran, masih bisa bersilaturahmi dengan teman.
Tahun lalu, bahkan dia menganggarkan Rp 12 juta khusus untuk menyambut Lebaran. Uang itu kebanyakan dihabiskan untuk membeli makanan dan juga baju baru. [Baca selengkapnya: Mengejar Lebaran Hingga Ribuan Kilometer]
***
Nasib sebagai minoritas tak hanya disandang Muslim di Cina. Di Birma, ada etnis Rohingya. Mereka sedikit kurang beruntung. Mereka seolah terasing di negeri sendiri, yang kini dikenal dunia dengan sebutan Myanmar.
Etnis Rohingya banyak tinggal di Maungdaw dan Arakan, wilayah Myanmar bagian barat. Kegembiraan Idul Fitri bahkan tak lagi dirasakan di wilayah itu karena beberapa tahun belakangan, tekanan terhadap Muslim Rohingya meningkat.
Sholat maupun ibadah Muslim telah berubah menjadi isu politik. Tidak sedikit dari kaum Muslim yang harus meregang nyawa akibat konflik dengan sesama rakyat Myanmar. Lainnya menyambung hidup di negeri orang. Mengungsi.
Nasib lebih beruntung dialami mereka yang selamat hingga ke negeri orang. Di pengungsian itu, etnis Rohingya bisa merayakan Idul Fitri dengan aman dan damai.
" Saya menghubungi orangtua di Maungdaw. Mereka tak merayakan Idul Fitri. Seperti hari-hari lainnya, hanya diam di rumah. Mereka akan dipenjara jika merayakan Idul Fitri," kata Nurul Amin Nobi Hussein, pengungsi Rohingya di Malaysia. [Baca selengkapnya: Lebaran Rohingya]
Kondisi memprihatinkan juga dirasakan warga Suriah. Muslim bukanlah minoritas di negara ini. Tapi karena tengah dikoyak perang saudara sejak 2011, penduduk negeri itu harus tercerai-berai.
Banyak penduduk yang tewas di tangan saudara berbeda paham. Ribuan orang terlunta-lunta di pengungsian. Lainnya masih terjebak di tengah medan perang.
Tak ada yang tahu akan seperti apa mereka merayakan Lebaran tahun ini. Terutama mereka yang masih terjebak di medan perang. Sebab, perang masih berkecamuk.
Sejak perang saudara pecah lima tahun silam, mereka merayakan Lebaran dengan prihatin. Mereka harus berlebaran di tenda-tenda kumuh. Atau reruntuhan gedung.
Jangan harap melihat baju baru melekat di badan. Semua serba sekadarnya. Selain itu, tak ada masakan lezat. Hanya ada mansaf, nasi bercampur gandum. Dan juga syurbatul adas, bubur berisi kacang. [Baca selengkapnya: Lebaran Pilu Pengungsi Suriah]
Merayakan Idul Fitri sebagai minoritas memang penuh tantangan. Itu yang telah dialami Muslim di Cina dan Rohingya. Demikian pula dengan kaum Muslim yang tingal di negeri perang, seperti Suriah.
Kita harus berkaca dari mereka. Kita harus lebih banyak bersyukur, bisa merayakan Idul Fitri di negeri yang damai. Minal 'Aidin wal-Faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Lebaran Sahabat Dream.
Advertisement
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation