Melawan Perintah Trump

Reporter : Ahmad Baiquni
Senin, 20 Februari 2017 20:21
Melawan Perintah Trump
Bukan hanya muslim. Semua bergerak. Melawan perintah Trump dengan beragam cara.

Dream – Senin Sore, 30 Januari 2017. Perempuan berambut pirang itu mondar-mandir di Bandara Internasional Dulles, Washington. Keresahan terpampang jelas dari raut wajah. Sorot matanya bergerak liar. Seolah tengah mencari sesuatu.

Dan Telapak tangan perempuan itu terus membekap mulut. Menahan kantuk yang sudah menghampi.Matanya sayu. Sudah berjam-jam dia menunggu di Bandara. Tapi dia tak mau tidur.

Di depannya orang lalu lalang. Sibuk dengan urusan masing-masing. Hari itu Bandara terasa berbeda. Banyak orang dicekam ketakutan.

Wajah perempuan itu mendadak berubah. Dia sudah ceria. Bocah laki-laki 5 tahun sudah ada di pangkuan. Di dekapnya erat bocah bersweater merah itu. Bibirnya tak putus mencium pipi di bocah. Sesekali sweater merahnya tak lepas dari kecupan.

Dia lega. Tak ada lagi keresahan. Bahkan sebait lagu ulang tahun didendangkan. Perempuan itu terus meniti lorong Bandara. Tak peduli sorot kamera yang menyorotnya sedari tadi.

Ibu dan anak itu beruntung. Lolos menginjakkan kaki di negeri harapan, Amerika Serikat. Cobalah dengar nasib 12 yang baru saja menjejakkan kaki di tanah Amerika Serikat dua hari sebelumnya.

Terbang ribuan kilometer dari Irak dan sejumlah negara Muslim, mereka tiba di Bandara Internasional John F Kennedy di New York. Paspor hijau sudah di tangan. Tangal kedaluwarsa masih panjang. Ini penanda mereka warga asing resmi yang boleh tinggal ke AS.

Bayangan itu pupus. Melintasi pintu keluar Bandara buyar seketika. Petugas imigrasi menghalau mereka. Amerika sudah berubah.

Negeri Paman Sam itu punya aturan main baru. Tak sembarangan orang boleh masuk. Apalagi jika berpaspor negara muslim. Warga berpaspor Irak, Iran, Somalia, Libya, Sudan, Yaman, dan Suriah tak bisa leluasa masuk ke negeri Paman Sam.

Amerika berubah sejak 25 Januari 2017. Itu saat Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif. Isinya penghentian sementara pengurusan visa dan izin tinggal bagi imigran tujuh negara Muslim. Yang sudah memegang visa resmi, harus terima nasib. Ditahan sementara di bandara.

Trump memang tak memberlakukan surat perintah itu untuk selamanya. Ada batas waktu 120 hari. Ini berlaku bagi imigran asal enam negara kecuali Suriah. Sementara warga Suriah, tidak ada kesempatan bisa masuk AS seumur hidup mereka.

*****

Dunia sontak kaget. Banyak yang mengira larangan ini hanya gertak sambal Trump. Bumbu penyedap dari Trump agar melenggang ke Gedung Putih. Menggaet suara pemilih yang rindu Amerika bangkit lagi.

Ya, Trump sudah sejak akhir 2015 melontarkan ide nekat itu. Terang-terangan menyampaikan di depan publik. Tidak hanya masyarakat AS. Masyarakat dunia ikut mendengarnya.

Dasarnya hasil survei Pew Research. Disebutkan muslim AS menyimpan kebencian terhadap orang Amerika. Pakai survey yang lebih baru. Trump percaya dengan hasil pooling Center for Security Policy. Survei ini menyebut 25 persen orang muslim setuju jika kekerasan terhadap warga AS merupakan bagian dari aksi jihad dunia. Sementara 51 persen ingin AS diperintah menurut hukum syariah.

“ Negara kita tidak bisa menjadi korban serangan mengerikan oleh orang-orang yang hanya meyakini jihad, dan tidak menghormati kehidupan manusia,” ujar Trump dalam kampanyenya.

Pernyataan yang memantik reaksi keras dari publik AS bahkan dunia. Gedung Putih yang waktu itu masih dipimpin Barrack Obama ikut bersuara. Ketua Tim Penasehat Presiden Bidang Keamanan Nasional Ben Rhodes membuat pernyataan keras.

“ Ini sangat berbenturan dengan nilai-nilai kita sebagai rakyat Amerika,” kata Rhodes. Dia juga menekankan pentingnya jaminan perlindungan akan kebebasan beragama bagi rakyat. Rhodes juga menyinggung begitu besarnya kontribusi Muslim terhadap Amerika.

Selain Gedung Putih, Trump juga mendapat kecaman dari PBB. Tetapi, Trump memilih mengabaikan kecaman itu. “ Saya tidak peduli,” katanya kepada CNN.

***

Dan 25 Januari lalu, kekhawatiran itu benar-benar terjadi. Trump tidak main-main. Dia benar-benar mewujudkan memenuhi janji. Melarang sebagian muslim masuk AS. Keyakinan muslim adalah kelompok berbahaya dipegangnya teguh.

Mereka yang nekat datang ke AS harus menjalani proses panjang. Proses wawancara 19 sampai 24 bulan serta pengecekan berulang kali dari agensi pemerintah.

Situasi semakin memanas ketika 12 imigran tak bisa keluar dari Bandara John F Kennedy. Seperti sudah diduga. Gelombang imigran terus terjadi. Semuanya tertahan di bandara. Tak bisa masuk ke Negeri Harapan.

Selama 36 jam surat perintah membuat petugas AS dilanda kebingungan. Tak yakin boleh tidaknya penduduk warga muslim AS boleh masuk atau tidak. Belum lagi mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda.

Ribuan orang yang pernah selama ini tinggal di AS juga khawatir. Tak bisa lagi pulang ke negaranya sendiri. Padahal ada 500 ribu orang yang mengantongi paspor hijau dalam satu decade terakhir.

Bukan cuma warga biasa yang cemas. Perusahaan, rumah sakit, perusahaan teknologi mencemaskan pegawai mereka. Ada ribuan doktor, mahasiswa, peneliti, insinyur yang terancam tak bisa balik bekerja. Sebut saja 200 pegawai Google yang terancam tak bisa masuk AS.

Kekacuan yang dipicu sentimen rasis ini memicu gelombang reaksi bertubi-tubi. Aksi demonstrasi damai berlangsung besar-besaran. Di berbagai kota dan banyak Bandara. Selama 48 jam hampir di semua daerah di AS.

Aksi demonstrasi terjadi di Oakland, Chicago, New York, Oklahoma, dan Los Angeles. Tanpa koordinasi, ribuan massa turun ke jalan, menentang perintah eksekutif Trump.

Bahkan, Walikota New York, Bill de Blasio, turut bereaksi. Melancarkan serangan kepada Trump, dengan membuat pengumuman siap membantu para imigran yang dipersulit di Bandara.

Ada juga yang mengambil langkah lebih keras. Pengadilan federal di Negara bagian New York, Massachusetts, Virginia dan Washington menerima tuntutan terhadap surat perintah Trump.

Para pengacara dari ACLU, Cair, the National Immigration Law Center, Legal Aid Justice Center dan traveler yang tertahan ikut serta mengajukan tuntutan.

“ Ini tidak akan membuat negara kita lebih aman, mereka (Trump dan jajarannya) akan membuat masyarakat lebih khawatir dan tidak ramah,” ujar Direktur Hubungan Islam-Amerika Nihad Awad.

Perjuangan mereka berbuah hasil. Di awal Februari 2017, Pengadilan Federal Tingkat Banding Amerika Serikat menolak banding yang diajukan Presiden Donald Trump atas larangan imigran dan traveler dari tujuh negara Islam. Panel tiga hakim secara bulat menolak surat perintah Trump.

Dengan putusan ini, imigran dari tujuh negara Muslim bisa kembali masuk ke AS.

" Pemerintah tidak dapat menunjukkan bukti yang menyatakan orang-orang asing dari pelbagai negara yang ada dalam daftar telah melakukan serangan teroris ke AS," tulis Hakim dalam petikan putusan.

Namun itu kemenangan sementara. Trump tak puas dengan keputusan pengadilan. Siasat lain disiapkan presiden pemilik bisnis properti ini. Trump mau mengeluarkan lagi perintah serupa.

Bedanya kali ini, surat perintah akan dibuat sesuai dengan putusan pengadilan federal di Washington.

" Satu-satunya masalah yang kita miliki adalah pengadilan buruk yang memberikan kita putusan apa yang saya anggap, dengan sangat hormat, sebuah putusan yang buruk," kata Trump, sebagaimana dikutip laman The Independent, Jumat 17 Februari 2017.

Ya, dunia dan warga muslim AS dan tujuh Negara Muslim memang belum bisa bernapas lega. Perempuan yang menyambut putranya berusia 5 tahun saat ini mungkin sedang berbahagia. Tapi ambisi Trump belum pupus.

(Laporan: Ahmad Baiquni)

Beri Komentar