Tak Cantumkan Label Non-Halal, Arzeti Bilbina Minta Transparansi Produk Kuliner Diperketat

Reporter : Daniel Mikasa
Rabu, 28 Mei 2025 11:50
Tak Cantumkan Label Non-Halal, Arzeti Bilbina Minta Transparansi Produk Kuliner Diperketat
Arzeti juga mendorong agar Pemerintah meningkatkan pengawasan restoran, khususnya dari sisi verifikasi informasi kehalalan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina, angkat bicara soal polemik rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo yang ternyata menggunakan bahan non-halal tanpa label yang jelas selama lebih dari 50 tahun. Menurutnya, peristiwa ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap keterbukaan informasi pangan di ruang publik.

" Kita sangat sesalkan kenapa makanan yang menggunakan produk non-halal tidak mencantumkannya secara terbuka baik di restorannya maupun di akun media sosialnya. Ini sudah lebih dari 50 tahun, kan jadi terkesan membohongi konsumen," ujar Arzeti dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria di Jakarta, Rabu (28/5/2025).

Kisah ini mencuat setelah sebuah akun media sosial mengungkap fakta bahwa ayam goreng yang dijual oleh Ayam Goreng Widuran mengandung unsur non-halal, padahal mayoritas pelanggan mereka adalah umat Muslim. Ungkapan kecewa pun bermunculan, termasuk dalam ulasan Google Review dari pelanggan yang merasa dibohongi karena menganggap menu di sana sepenuhnya halal.

Pihak manajemen restoran baru memasang keterangan non-halal beberapa hari setelah protes konsumen ramai diperbincangkan. Arzeti menilai, seharusnya restoran sejak awal transparan. Ia menegaskan bahwa mencantumkan status kehalalan bukan pilihan, tapi kewajiban berdasarkan peraturan yang berlaku.

" Sudah ada ketentuannya dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH). Ketentuan tersebut agar konsumen bisa mengetahui mana makanan yang halal dan tidak halal. Ini sudah puluhan tahun tapi diduga diabaikan, pantas saja kalau konsumen merasa tertipu," jelas politisi Fraksi PKB itu.

Diketahui, bahan non-halal di restoran yang berdiri sejak 1973 ini berasal dari minyak babi yang digunakan untuk membuat kremesan ayam goreng. Usai munculnya kontroversi, restoran tersebut ditutup sementara untuk menjalani proses audit dan pemeriksaan kehalalan oleh instansi terkait.

" Saya sepakat dengan langkah ini demi memastikan kehalalan produk, tapi pihak manajemen tetap harus bertanggung jawab terhadap para pegawainya," kata Arzeti.

Sebagai anggota DPR di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan, Arzeti juga mendorong agar Pemerintah meningkatkan pengawasan restoran, khususnya dari sisi verifikasi informasi kehalalan. Ia juga mendesak Badan POM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membangun sistem terintegrasi dalam hal verifikasi dan pengawasan label halal.

" Khususnya terkait informasi kehalalan produk-produk yang dikonsumsi. Pemerintah, termasuk Pemda dan BPOM tidak boleh abai terhadap proses pengawasan menu makanan. Sistem verifikasi terpadu yang melibatkan koordinasi antar-instansi diperlukan untuk menjamin konsumen mendapatkan informasi yang benar sejak awal," sambungnya.

Ayam Goreng Widuran dikenal luas dengan rasa ayam kampung berbumbu khas dan kremesan renyahnya. Namun banyak pelanggan Muslim baru mengetahui bahwa bahan kremesnya mengandung minyak babi. Manajemen restoran telah menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan bahwa informasi non-halal sudah dicantumkan di seluruh cabang, meski banyak pelanggan membantah pernah melihat informasi tersebut sebelumnya.

Pelanggan pun mempertanyakan konsistensi informasi dari pihak resto, terutama karena selama ini restoran itu dikenal dengan sajian ayam goreng yang seolah-olah halal. Hal ini menimbulkan keresahan dan kekecewaan di tengah masyarakat.

Menurut Arzeti, pengusutan yang mendalam penting dilakukan untuk membuktikan apakah pihak manajemen memang sejak awal telah menyampaikan informasi secara benar. “ Apakah memang benar sudah ada keterangan halal sejak awal? Karena ada pengakuan logo halal baru dipasang setelah masalah ini ramai. Kita mendukung kemajuan UMKM, tapi tentunya pelaku usaha harus mematuhi regulasi yang ada demi kemaslahatan bersama,” tegasnya.

Ia mengingatkan, Pemerintah tidak bisa bersikap pasif terhadap isu seperti ini. Arzeti meminta adanya pengawasan nasional yang lebih ketat, terstandar, dan komprehensif agar seluruh pelaku usaha makanan menyampaikan status halal, non-halal, atau belum bersertifikat halal dengan transparan.

" Dan ini harus dipasang secara terang-terangan, baik di tempat usaha, menu, maupun platform digital seperti aplikasi pemesanan makanan dan media sosial resmi. Ketentuan pengawasan juga tidak cukup hanya berupa imbauan sukarela, tetapi perlu menjadi bagian dari sistem terpadu yang tegas dengan sanksi bagi pelanggar," ujar Legislator dari Dapil Jawa Timur I tersebut.

Lebih jauh, Arzeti meminta BPOM, Pemda, dan lembaga terkait terus melakukan edukasi kepada pelaku UMKM mengenai pentingnya keterbukaan informasi bahan baku makanan. Menurutnya, keterbukaan bukan hanya soal etika bisnis, tapi soal keadilan bagi konsumen.

Ia menilai, kasus Ayam Goreng Widuran membuka persoalan yang lebih dalam: bukan sekadar status kehalalan makanan, tapi juga soal kepercayaan publik yang dibangun selama bertahun-tahun namun bisa runtuh dalam sekejap.

" Perlu ditegaskan bahwa setiap pelaku usaha kuliner memiliki hak untuk menyajikan jenis makanan apapun sesuai keyakinan dan konsep usaha mereka, tapi sekali lagi, hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban untuk memberikan informasi yang utuh dan jelas kepada publik, terutama menyangkut status halal atau non halal," pungkas Arzeti.

Menurutnya, kasus ini menjadi refleksi penting bahwa keterbukaan dalam bisnis kuliner harus menjadi prioritas. Apalagi di tengah masyarakat yang mayoritas menjadikan nilai keagamaan sebagai panduan konsumsi.

" Dan kejujuran dalam berniaga harus dimiliki oleh para penjual makanan. Pemerintah juga harus hadir untuk memastikan prinsip ini dijalankan oleh seluruh pelaku usaha, sebelum kepercayaan publik kembali tercederai oleh kelalaian yang seharusnya bisa dicegah sejak awal," tutupnya.

Beri Komentar