Para Siswa Di Sigi, Sulawesi Tengah, Menyeberang Sungai Pakai Alat Berat. (Foto: Video Facebook)
Dream - Tidak dipungkiri bahwa pembangunan di Indonesia lebih banyak dilakukan di kota-kota besar. Akibatnya, daerah-daerah terpencil jadi ketinggalan.
Pembangunan sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur jalan, yang tidak merata sangat dirasakan dampaknya oleh daerah-daerah tersebut.
Jangankan akses Internet untuk mengikuti kelas daring, jembatan untuk menyeberang sungai saja para siswa di daerah terpencil harus bertaruh nyawa.
Itulah yang dialami para siswa dan guru di Provinsi Sulawesi Tengah melalui video viral yang dibagikan oleh akun Facebook Hikmah Ladjidji ini.
Video itu memperlihatkan para siswa dan guru Madrasah Aliyah (MA) Vumbulangi, Desa Bangga, Kabupaten Sigi, yang harus bertaruh nyawa ketika berangkat sekolah.
Para siswa dan guru ini terpaksa naik ekskavator untuk menyeberang sungai yang beraliran deras karena ketiadaan jembatan.
Mereka tampak menjerit-jerit ketika menaiki 'lengan' ekskavator itu. Entah, jeritan itu sebagai ungkapan rasa takut jatuh atau mereka memang merasa seru lantaran naik ekskavator untuk menyeberang sungai.
Menurut keterangan pengunggah video, para siswa ini tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) secara online. Penyebabnya tidak ada jaringan Internet di desa mereka.
Karena itu, mereka terpaksa masuk kelas dan menjalani UAS secara tatap muka. Namun untuk ke sekolah, mereka harus bertaruh nyawa.
Belum tersedianya infrastruktur ini karena kondisi desa pascabencana alam 2 tahun lalu belum pulih. Bahkan warga masih tinggal di hunian sementara (huntara).
" Kondisi desa pasca bencana alam sejak 2 tahun lalu belum pulih mereka masih tinggal di huntara yg diantaranya banyak dibangun para relawan LSM," tulis pengunggah video di postingannya.
Seperti diketahui, pada akhir September hingga awal Oktober 2018 lalu gempa dan tsunami melanda Donggala, Palu, Sigi dan beberapa wilayah lain di Sulawesi Tengah.
Saat itu, ribuan bangunan hancur dan 1.234 dilaporkan meninggal dunia hingga Selasa, 2 Oktober 2018 pukul 13.00 WIB.
Sedangkan mereka yang mengungsi berjumlah lebih dari 16 ribu orang. Sebagian kawasan mengalami fenomena tanah bergerak yang dikenal dengan likuifaksi.
Akibatnya tanah yang dipijak berubah bak gelombang dan menenggelamkan ratusan rumah yang berdiri di atasnya.
Sumber: Facebook
Advertisement
9 Kalimat Pengganti “Tidak Apa-Apa” yang Lebih Hangat dan Empatik Saat Menenangkan Orang Lain
Hj.Erni Makmur Berdayakan Perempuan Kalimantan Timur Lewat PKK
PT Taisho Luncurkan Counterpain Medicated Plaster, Inovasi Baru untuk Atasi Nyeri Otot dan Sendi
Pertumbuhan Ekonomi RI Capai 5 Persen, Prabowo: Masih Tinggi Dibandingkan Seluruh Dunia
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini