Korban Tewas Di Mina Mekah Tahun 2015 (Daily Mail)
Dream - “ Saya sekarat…”.
“ Saya sekarat. Saya butuh air..."
Rashid Siddiqui terus mendengar kata-kata itu dari sesama jemaah Muslim yang tergeletak di tanah dalam suhu 47 derajat Celcius, di bawah terik matahari Saudi. Tanpa alas kaki, bertelanjang dada dan linglung, Siddiqui entah bagaimana bisa lolos dari insiden desak-desakan paling mematikan dalam sejarah itu.
Hari itu, Kamis pagi 24 September 2015, pagi ketiga ibadah haji, ziarah lima hari tahunan ke Mekah, Arab Saudi, oleh jutaan Muslim dari seluruh dunia. Itu adalah hari paling mematikan dalam sejarah haji dan salah satu kecelakaan terburuk di dunia dalam beberapa dekade terakhir.
Siddiqui merupakan warga negara Amerika Serikat. Ia berasal dari Marietta, pinggiran kota Atlanta. Siddiqui, 42 tahun, telah berjalan melalui lembah yang luas yang ditempati puluhan ribu tenda jemaah. Tujuannya: Jembatan Jamarat, tempat jemaah melempar kerikil jumrah ke tiga pilar besar dalam ritual yang melambangkan tengah merajam setan.
(Rashid Siddiqui, warga AS, korban selamat dari tragedi haji 2015/New York Times)
Dia berada di lokasi ketika insiden desak-desakan dimulai. Ratusan, dan mungkin ribuan, mati akibatnya. Namun hampir setahun kemudian, pihak berwenang Saudi belum menjelaskan secara pasti bagaimana bencana itu terjadi. Mereka juga tidak memberikan apa yang secara luas dianggap sebagai angka kematian yang akurat.
Desak-desakan maut dulu kerap menodai ibadah haji, terutama di sekitar Jembatan Jamarat. Pemerintrah Saudi telah berusaha untuk mencegah bencana tersebut dengan memperluas jembatan setelah lebih dari 360 orang tewas di dekatnya pada tahun 2006.
Setelah perluasan jembatan tidak ada lagi insiden besar, sampai tanggal 24 September 2015.
Laporan berita resmi dan negara tentang kematian dari 36 negara dengan jemaah di Mekah, menemukan bahwa setidaknya 2.400 orang telah meninggal. Otoritas Saudi, bagaimanapun, hanya memberikan angka kematian resmi sebanyak 769.
Terlepas dari tuduhan salah urus selama bertahun-tahun, keluarga kerajaan Saudi telah berulang kali menegaskan haknya untuk mengawasi pelaksanaan haji.
Semua Muslim yang mampu secara fisik dan finansial untuk menyelesaikan haji, wajib melakukannya setidaknya sekali seumur hidup. Di bawah keluarga kerajaan yang berkuasa di Arab Saudi, yang menganggap raja sebagai penjaga situs paling suci Islam, jumlah jemaah yang datang dari luar negeri telah tumbuh lebih dari sepuluh kali lipat sejak Perang Dunia II.
Dalam beberapa tahun terakhir, dua juta hingga tiga juta orang telah menghadiri haji tahunan.
Pada hari Kamis itu Siddiqui bangun sebelum fajar di dalam tenda yang terang benderang. Dia begadang, mengobrol dan minum teh bersama teman-temannya, lalu tidur di kasur matras lantai di samping puluhan jemaah haji lainnya yang hanya dipisahkan dengan sekat kanvas.
Meskipun hanya tidur sebentar, Siddiqui merasa kuat dan segar. Dua minggu sebelumnya, dia bekerja sebagai manajer informasi gedung di Riyadh, ibu kota Saudi, tetapi dia berhenti dan memutuskan pada menit terakhir untuk melakukan ibadah haji pertamanya.
Dia terkejut menemukan ziarah yang berjalan santai --hampir seperti liburan, katanya-- bukan perjalanan melelahkan seperti yang diberitahu beberapa veteran haji sebelumnya.
Mengenakan sandal dan pakaian ihramnya, pakaian haji pria yang terdiri dari dua kain putih, Siddiqui mencuci, berdoa dan makan sarapan dari tenda prasmanan bersama teman-temannya.
Dia menggantungkan kartu identitas resminya di lehernya dan meletakkan barang-barang berharga di dalam tas ikat pinggangnya: dompet, ponsel lokal, dan telepon pintar untuk menelepon istrinya, Farah, yang sedang berada di rumah bersama dua anak mereka di Marietta, Atlanta, AS.
Sekitar pukul 06.30, Siddiqui keluar dari tendanya, siap mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW lebih dari satu milenium yang lalu.
Berjalan dengan kelompok yang termasuk saudara iparnya dan istri saudara ipar dan beberapa temannya, Siddiqui sering berhenti untuk mengambil foto yang akan dia unggah di Facebook.
(Foto yang diambil Rashid Siddiqui 10 menit sebemum tragedi terjadi/New York Times)
Dia terpesona oleh keragaman kerumunan, dengan orang-orang dari berbagai warna kulit yang datang dari seluruh dunia.
Saat tengah berjalan dalam jalan yang mulai tersendat, rombongan mereka dihentikan oleh penjaga yang telah menutup rute yang mereka tuju, untuk alasan yang belum dijelaskan. Melihat sekeliling, kata Siddiqui, mereka melihat banyak orang mengambil jalur alternatif melalui jalan layang, dan mereka memutuskan untuk mengikuti.
Siddiqui sempat menelepon istrinya untuk berbagi kegembiraan. Saat itu sudah lewat tengah malam di Atlanta, dan istrinya baru saja selesai mempersiapkan makanan Idul Adha, atau Hari Raya Kurban, yang dirayakan untuk menandakan akhir haji.
Menonton haji di televisi, melalui telepon istri Siddiqui berkata, dia dibutakan oleh apa yang dia lihat —lautan orang berbaju putih yang diterangi matahari.
Usai menelepon istrinya, Siddiqui kemudian menyusul saudara iparnya dan mengarahkan kamera padanya. Saudara iparnya terlihat tersenyum dan melambai.
Itu akan menjadi yang terakhir kalinya dia melihat atau berbicara dengan saudara ipar laki-lakinya dan istrinya.
Jalan mereka mulai menyempit. Siddiqui tertinggal di belakang teman-temannya saat mereka bergeser ke satu rombongan, tangan di bahu satu sama lain. Dia merasakan tekanan dari kerumunan yang semakin banyak ketika lebih banyak orang datang.
Di depan, Siddiqui melihat para jemaah memanjat pagar tinggi di kedua sisi jalan, tampaknya berusaha melarikan diri dari sesuatu. Dia sempat bertanya-tanya apakah dia harus melakukan hal yang sama. Dia faktanya tidak pernah memiliki kesempatan.
Siddiqui mendadak didorong, jatuh dua atau tiga kali dan kehilangan sisa kelompoknya. Orang-orang di sekitarnya melantunkan doa terakhir kepada Tuhan.
Kerumunan itu terasa seperti terperangkap dalam gelombang. Tubuh-tubuh mendesaknya dari segala arah.
Dia hanya bisa bergerak saat orang banyak bergerak. Tidak ada satu inci pun ruang yang tersisa.
Dorongan dan tarikan dari kerumunan itu membuat banyak jemaah melepaskan pakaiannya, membuat mereka setengah telanjang saat mereka berjuang untuk memanjat pagar.
“ Saya benar-benar takut saat itu,” kata Siddiqui ke harian The New York Times. Yang dia pikirkan hanyalah keluarganya.
Muslim dari luar Arab Saudi yang ingin menunaikan haji diwajibkan oleh kementerian haji Saudi untuk bepergian dalam kelompok yang terorganisir, melalui agen perjalanan swasta atau delegasi nasional.
Karena Siddiqui seorang warga negara Amerika keturunan India dan sudah berada di Arab Saudi, ia mendaftar melalui agen lokal di Riyadh yang melayani orang-orang asal India, Pakistan, dan Bangladesh.
Dia melakukan perjalanan ke Mekah dari Riyadh dengan bus yang disewa oleh agen perjalanannya.
Dia memulai ziarahnya di Ka'bah, kemudian pergi ke Mina, Arafah dan Muzdalifah sebelum menuju ke Jamarat.
Sebagian besar jemaah, termasuk Siddiqui, melakukan perjalanan melalui lembah Mina dengan berjalan kaki untuk mencapai Jamarat.
Tenda di Mina telah dipesan melalui kementerian haji, yang mengatur jemaah sesuai dari mana mereka berasal.
Tenda Siddiqui berada di area untuk penduduk lokal dan Asia Selatan, sekitar 3,2 km dari Jembatan Jamarat.
Rute yang direncanakan rombongannya di sepanjang Jalan 511 terhalang, sehingga rombongannya mengambil Jalan 406, yang berbelok ke Jalan 204.
Tabrakan antara massa rombongan jemaah haji itu terjadi di dekat persimpangan Jalan 204 dan Jalan 223.
Pihak berwenang Saudi mengatakan bahwa kecelakaan itu terjadi ketika dua kelompok besar jemaah berkumpul.
Analisis foto-foto setelahnya menunjukkan bahwa tabrakan itu mungkin meluas setidaknya dengan radius 304 meter di Jalan 204.
Hantaman itu digambarkan sebagai desak-desakan, tetapi sebagian besar korban dalam bencana kerumunan seperti itu sebenarnya dihancurkan, bukan diinjak-injak, oleh tekanan yang cukup kuat untuk membengkokkan pagar baja.
Dalam keadaan desak-desakan, arus kerumunan menyelinap di luar kendali individu-individu di dalamnya. Gelombang tekanan bergejolak, mengangkat orang dari tanah, terkadang membawa mereka lebih dari 3 meter.
Penyebab utama kematian dalam keramaian adalah sesak napas. Orang bisa terjepit begitu erat sehingga mereka mati lemas berdiri di tempat.
(Korban tewas dalam tragedi haji tahun 2015/New York Times)
Ajaibnya, mungkin 15 menit setelah desak-desakan itu dimulai, Siddiqui mendapati dirinya didorong mundur dan keluar dari kerumunan massa.
Dia telah kehilangan sandalnya, pakaian bagian atas ihramnya dan kartu identitasnya, tetapi dia tidak terluka.
Jemaah di tenda-tenda terdekat melemparkan botol air ke kerumunan. Orang-orang yang selamat berebut mencari, meminum air dan menuangkannya ke atas diri mereka sendiri. Seseorang menyalakan selang. Aliran air mengalir di jalan.
Siddiqui mengalami dehidrasi dan linglung, dengan orang lain sekarat di depannya. " Saya tidak tahu bagaimana saya bisa selamat," katanya.
Selama dua jam, Siddiqui melihat polisi bergerak perlahan ke arahnya. Mereka membantu mereka yang terluka parah, meninggalkan orang-orang yang selamat dan yang mati. Ketika seorang petugas akhirnya sampai, Siddiqui disuruh melanjutkan ritual haji.
Siddiqui meceritakan perjuangannya, memanjat tubuh orang mati, untuk bergerak beberapa ratus kaki lebih dekat ke Jembatan Jamarat. Dia kehilangan arah, dan telapak kakinya terbakar di trotoar.
" Saya berjalan seperti orang mati," katanya.
Ketika dia akhirnya mencapai jembatan, seorang wanita memberinya batu untuk melempar jumrah dan payung untuk berteduh. Mungkin dia merasa kasihan padanya karena dia setengah telanjang dan kotor, tetapi mereka tidak bertukar kata. Dia sepertinya tahu bahwa dia membutuhkannya. Dia bahkan tidak bisa mengumpulkan ucapan terima kasih.
Siddiqui menyelesaikan ritual lempar jumrah, tetapi tidak ingat berapa banyak batu yang dia lempar.
Pada saat dia kembali ke tendanya, dia baru sadar bahwa saudara ipar dan istrinya hilang. Dia telah memanggil mereka berulang kali tetapi tidak mendapat jawaban. Mereka tidak muncul di tenda malam itu.
Selama empat hari berikutnya, di sela-sela menyelesaikan ritual terakhir haji, Siddiqui berjalan berjam-jam dalam cuaca panas ke rumah sakit dan klinik. Tidak ada informasi.
Pihak berwenang Saudi tidak menyediakan tempat terpusat untuk membantu orang mencari orang yang dicintai, kata Siddiqui, jadi dia memeriksa setiap fasilitas setiap hari. Dia berjalan 90 menit ke kamar mayat, tetapi penjaga menolak untuk membiarkan siapa pun masuk.
Siddiqui membatalkan penerbangan pulang ke Atlanta dan, dengan keluarga saudara iparnya, terus mencari setelah haji berakhir. Setiap hari, mereka mengulangi rutinitas yang sama dan tidak menemukan apa pun.
Secara keseluruhan, kata Siddiqui, sekitar 20 anggota keluarganya terlibat dalam pencarian. Mereka mengikuti setiap petunjuk, seringkali hanya menemukan rumor dan informasi yang salah.
(Korban tewas dalam tragedi tahun 2015/124news)
Ketika mereka mendengar, misalnya, bahwa konsulat India memiliki daftar semua jemaah yang hilang dari India, Siddiqui dan keluarganya segera menuju ke sana. Tetapi saudara ipar dan istri Siddiqui tidak ada dalam daftar.
Mayor Jenderal Mansour al-Turki, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Saudi, mengatakan setelah kecelakaan itu tampaknya disebabkan oleh dua kelompok besar jemaah yang berkumpul di Jalan 204.
Pihak berwenang di Indonesia, yang mengirim lebih banyak jemaah haji daripada negara lain dan kehilangan hampir 130 warganya dalam bencana itu, juga menyatakan frustrasi dengan tanggapan Saudi, dengan mengatakan mereka tidak diberi akses penuh ke korban dan rumah sakit selama berhari-hari.
Lelah dan ingin berkumpul kembali dengan istri dan anak-anaknya, Siddiqui kembali ke Riyadh sekitar 10 hari setelah insiden desak-desakan. Beberapa hari kemudian, dia terbang kembali ke Atlanta sementara kerabat lainnya masih mencari.
Lima belas hari setelah insiden desak-desakan, saudara ipar Siddiqui dipastikan meninggal di kamar mayat di Mina yang ditemukan oleh adiknya. Dia dimakamkan di Mina setengah jam kemudian.
Setelah dua minggu lagi, istri saudara iparnya dipastikan meninggal berdasarkan bukti foto jenazahnya. Pada saat itu, dia telah dimakamkan oleh otoritas Saudi.
Pasangan itu meninggalkan dua anak kecil, yang sekarang tinggal bersama keluarga besar mereka di India.
Sejak tragedi desak-desakan itu, Siddiqui mempertanyakan setiap tindakan yang dia ambil yang mengubah hidupnya. Ketika dia kembali ke rumah, dia meneliti apa yang terjadi, memetakan rute yang dia ambil dan menulis tentang pengalamannya. Akhirnya, katanya, dia berhenti mencari jawaban.
" Saya ada di sana," katanya tentang naksir itu, tetapi " Saya tidak bisa memberi tahu Anda secara pasti penyebabnya."
***
Tragedi ibadah haji 24 September 2015 atau tujuh tahun lalu itu adalah tragedi paling mematikan, dengan kematian akibat tragedi desak-desakan itu mendekati 2.000 orang tewas.
Seorang pria menggambarkan akibat yang mengerikan dan perlakuan buruk pada orang mati ketika ia mencoba untuk menemukan tubuh saudara perempuannya di Arab Saudi.
“ Situasinya benar-benar putus asa,” kata Sajjad Shah dari Pakistan. “ Mereka yang mampu tinggal untuk mencari orang yang mereka cintai yang meninggal. Yang lain harus pulang.”
Hampir tiga bulan setelah desak-desakan haji paling mematikan dalam 25 tahun, jumlah kematian resmi yang diakui pemerintah Saudi hanya 769 jiwa, tetapi sebagian besar sumber BBC menyebutkan angka itu mendekati 2.000.
Shah, seorang pemilik hotel dari Mirpur, menghabiskan waktu satu bulan untuk mencari saudara perempuannya yang sudah meninggal, tetapi mengklaim bahwa dia mendapat perlakuan buruk dari pejabat Saudi yang menutupi seluruh tragedi itu.
Tepat sebelum jam 9 pagi pada tanggal 24 September, dua kelompok yang sedang mempersiapkan salah satu ritual besar terakhir dari ziarah –lempar jumrah– bertabrakan di persimpangan dua jalan. Shah mengatakan bahwa saudara perempuannya Syeda dan keponakan Irtaza, seorang siswa, berada di dekat bagian depan kerumunan yang melintasi jembatan Jamarat.
(Jembatan Jamarat/Arab News)
“ Orang-orang berdesakan begitu rapat sehingga mereka tidak bisa bernapas dan mulai berjatuhan satu sama lain, dan banyak yang terinjak di bawah kaki,” kata Shah.
Para pejabat Saudi membantah laporan bahwa tragedy desak-desakan itu terkait dengan penutupan dua jalan di dekat jembatan untuk membuka jalan seorang pangeran Saudi dan konvoi 350 orangnya, tetapi pengunjuk rasa mengatakan membiarkannya terbuka akan mencegah desak-desakan itu.
Jalan itu diapit oleh pagar setinggi empat meter dan Irtaza mencoba memanjatnya. Tapi dia pingsan selama beberapa jam dan, ketika dia sadar kembali, dia terlalu lemah untuk menarik ibunya keluar dari tumpukan mayat.
" Itu ibu saya," teriak pria berusia 26 tahun itu. Tapi seorang petugas membawanya pergi. Ketika dia kembali lagi, dia tidak dapat menemukan sosok ibunya.
“ Keponakan saya kembali ke hotel dan menelepon saya di Pakistan. Saat itulah dia memberi tahu saya bahwa Syeda meninggal tepat di depannya,” kata Shah.
Sendirian dan tidak dapat berbicara bahasa Arab, Irtaza menghabiskan waktu berhari-hari menjelajahi mayat-mayat yang berjejer di jalan, menarik kain dari wajah para korban, setiap kali berharap bahwa itu adalah wajah ibunya. " Dia berjalan melalui genangan darah dengan tubuh di mana-mana," kata Shah. " Itu adalah hal yang paling dekat dengan neraka di bumi."
Ketika Shah mendapatkan visa, dia tiba di Mina dengan disambut kehancuran hati keponakannya yang menjadi setengah gila karena kesedihan. Pada saat ini, lima hari setelah tragedi desak-desakan itu, pihak berwenang mulai menyapu mayat, jadi Shah dan Irtaza meninggalkan jalan-jalan yang berlumuran darah dan menggeledah kamar mayat kota.
Di sanalah Shah melihat sekitar enam atau tujuh truk bermuatan mayat diparkir di luar. “ Mayat dibiarkan membusuk. Darah menetes dari truk dan merayap ke pintu kamar mayat dan merembes melalui meskipun mereka disegel.”
(Tragedi haji tahun 2015/BBC)
Mereka diberi tiket dan diperintahkan untuk meninggalkan ponsel mereka saat masuk. Berkas-berkas berserakan di lantai kamar mayat dan para dokter kewalahan dengan banyaknya mayat. “ Saya melihat pemandangan mengerikan di kamar mayat: sederhananya, perlakuakn buruk pada orang mati. Mereka sepertinya tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Setelah 20 hari mencari, Shah dan Irtaza akhirnya menemukan jasad Syeda. “ Saya tidak lagi marah, hanya dipenuhi dengan kesedihan,” kata Shah. “ Tubuhnya masih menggunakan pakaian yang sama, tetapi wajahnya rusak karena pendarahan.”
Jasad Syeda kemudian dimakamkan di kuburan yang dibangun secara kasar di Mina. Dia ditolak upacara pemakaman Islamnya: dia tidak dimandikan dan dikuburkan tanpa kain putih.
Shah mencoba mengambil foto makam saudara perempuannya, tetapi seorang petugas memaksanya untuk menghapusnya. Dia menggambarkan foto-foto yang dia ambil sebagai " gambar selundupan" atau " sisi haji yang dilakukan Arab Saudi" yang tidak ingin kamu lihat”.
" Secara emosional, saya hancur," kata Shah. “ Kamu tidak bisa benar-benar mengumpulkan pikiranmu. Tidak ada dukungan. Anda dibiarkan dalam belas kasihan orang-orang Saudi yang memiliki pemahaman berbeda tentang Islam dengan kami. Mereka tidak ingin tahu apa-apa tentang orang mati.
“ Saya bisa menerima kecelakaan itu. Tapi perlakuan pada kami setelahnya sangat buruk. Ini adalah saat terburuk dalam hidup saya,” ujarnya seperti dikutip BBC
***
Insiden desak-desakan Mina, 24 September 2015, terjadi ketika jutaan jamaah haji berjalan bersamaan menuju jembatan Jamarat di Mina untuk melempar jumrah sebagai rangkaian ibadah haji.
Insiden ini menurut versi pemerintah Saudi menewaskan 769 orang dan melukai 934 orang lainnya. Insiden ini merupakan yang terbesar kedua setelah insiden yang sama terjadi pada tahun 1990 yang menelan korban 1.426 jiwa.
Terjadi pertentangan mengenai penyebab insiden ini, terutama antara Arab Saudi sebagai penyelenggara haji dan Iran, yang merupakan negara dengan jumlah korban terbanyak sekaligus seteru politik Arab Saudi.
Menurut Kementrian Dalam Negeri Arab Saudi dalam pernyataan awalnya, insiden desak-desakan dipicu oleh dua kelompok besar jamaah yang berlawanan arah bertemu pada jalan yang sama.
Lebih lanjut petugas Arab Saudi mengatakan bahwa insiden terjadi disebabkan adanya sekitar 300-an jamaah haji asal Iran yang melanggar peraturan dengan mengubah rute dan melawan arus yang mengakibatkan bertemunya dua arus jamaah yang berlawanan arah, pergerakan terhenti dan terdesak oleh jamaah yang terus berdatangan.
Sementara Iran mempertanyakan kompetensi Arab Saudi sebagai penyelenggara haji dan menuntut permintaan maaf dari Arab Saudi atas peristiwa ini.
Menurut media Lebanon Ad-Diyar, penyebab insiden adalah adanya rombongan Pangeran Arab Saudi Muhammad bin Salman yang terdiri dari 350 orang.
Menurut versi ini, untuk memberi jalan kepada rombongan ini, arus jamaah dibalikkan sehingga membingungkan jamaah dan menyebabkan desak-desakan. Pihak Arab Saudi membantah tuduhan ini dan menyorot tidak adanya bukti kuat.
Pihak Arab Saudi menyatakan tidak mengadakan acara iring-iringan rombongan kerajaan. Jikapun ada anggota kerajaan yang berhaji, maka mereka akan melalui jalur udara atau helikopter yang mendarat tepat di atas Jamarat. Raja Salman sendiri tahun ini tidak berhaji demi memantau jamaah haji.
Ad-Diyar juga menyatakan Arab Saudi menjatuhkan eksekusi pancung bagi 28 petugas yang bertanggung jawab di tempat kejadian hanya satu hari setelah insiden terjadi.
Televisi Al-Arabiya melaporkan, Gubernur Provinsi Makkah Pangeran Khalid al-Faisal yang mengepalai penyelenggara haji, menyatakan bahwa insiden ini disebabkan oleh " jamaah haji dari negara-negara Afrika."
***
Tragedi itu bukan tragedi pertama di Mina. Pada 3 Juli 1990, atau 32 tahun lalu, 1.426 orang mati lemas dan terinjak-injak di sebuah terowongan Mina selama haji.
Insiden itu terjadi di dalam terowongan pejalan kaki (terowongan Al-Ma'aisim) sepanjang 550 meter dan lebar 10 meter yang mengarah keluar dari Mekah menuju Mina dan Dataran Arafat. Terowongan itu telah dikerjakan sebagai bagian dari proyek senilai U$ 15 miliar atau Rp 234 triliun di sekitar tempat-tempat suci Mekah yang dimulai dua tahun sebelumnya oleh pemerintah Saudi.
(Terowongan MIna/Hajj and Umrah)
Sementara jemaah bepergian untuk melakukan ritual lempar jumrah pada pukul 10:00 pagi, bencana dimulai ketika pagar jembatan penyeberangan bengkok, menyebabkan tujuh orang jatuh dari jembatan dan menimpa orang-orang yang keluar dari terowongan.
Insiden jatuhnya tujuh orang dari jembatan kemudian menyebabkan kepanikan di terowongan yang telah dipenuhi oleh 5.000 orang. Padahal, terowongan tersebut hanya memiliki kapasitas untuk menampung 1.000 orang.
Panas ekstrem di luar yang mencapai 44 derajat celcius, ventilasi yang buruk di terowongan, serta pemadaman listrik yang tiba-tiba juga semakin memperparah keadaan.
Salah seorang korban selamat asal Sudan, sebagaimana dilansir The Washington Post, mengatakan, “ Kami terjebak di dalam, tidak dapat bergerak maju ataupun mundur. Petugas penyelamat melemparkan karung berisi air es yang kami ambil untuk mengatasi panas dan kehausan... Tidak ada ventilasi dan jumlah peziarah di terowongan terus bertambah setiap detik.”
(Terowongan MIna/Liputan6)
Beberapa saksi mengklaim bahwa mereka yakin akan terjadi demonstrasi, yang lain melaporkan bahwa aliran listrik ke terowongan terputus. Pejabat Saudi menyimpulkan bahwa histeria massa yang terjadi dari para jemaah haji yang berjatuhan adalah penyebabnya.
Banyak yang meninggal berasal dari Malaysia, Indonesia dan Pakistan. Jemaaah haji Indonesia yang meninggal mencapai 649 jiwa. Menurut salah satu media Malaysia, 80 persen kematian terjadi di luar terowongan, dan 20 persen (sekitar 285) berada di dalam.
Segera setelah peristiwa itu, Raja Fahd menyatakan bahwa peristiwa itu adalah " kehendak Tuhan, yang di atas segalanya" , menambahkan bahwa " jika mereka tidak mati di sana, mereka akan mati di tempat lain dan pada saat yang telah ditentukan sebelumnya."
Sekitar 649 korban tewas adalah orang Indonesia, dan para pejabat Indonesia mengkritik pemerintah Saudi, dengan mengatakan bahwa " tidak dapat lari dari tanggung jawab atas bencana terowongan hanya dengan mengatakan bahwa itu adalah tindakan Tuhan."
Seruan untuk penyelidikan internasional ditolak oleh Saudi.
Selama beberapa dekade terakhir, jumlah orang yang pergi haji telah berkembang pesat, berkorelasi dengan pertumbuhan populasi Muslim global serta meningkatkan infrastruktur transportasi di kawasan dan global.
Pada tahun 1950, Sven Müller dari Universitas Kentucky menulis, kurang dari 100.000 orang pergi haji setiap tahun. Pada tahun 1955, jumlah itu berlipat ganda. Pada tahun 1970, setengah juta jemaah menghadiri acara tersebut. Haji melewati ambang batas 1 juta pada tahun 1983, dan sekarang rata-rata sekitar 2 juta orang per tahun.
Tapi itu hanya angka resmi. Sementara Arab Saudi telah memberlakukan kontrol ketat pada jumlah orang yang diizinkan untuk menghadiri haji setiap tahun, dalam praktiknya tidak dapat sepenuhnya mengontrol masuknya jemaah. Müller memperkirakan bahwa ada sekitar satu juta jemaah yang tidak terdaftar setiap tahun.
Sejumlah besar orang di ruang-ruang ini membuat insiden desak-desakan, lebih mungkin terjadi dan lebih mematikan.
" Pada tingkat tertentu (>7–8 orang per meter persegi), kepadatan massa menjadi berbahaya; orang kehilangan kemampuan untuk bergerak secara mandiri apalagi untuk memberi perhatian atau memberi dukungan kepada orang lain," tulis mereka.
Dua tragedi Mina itu adalah tragedi kemanusiaan terbesar dalam pelaksanaan haji. Dan itu agaknya bukan merupakan tragedi terakhir. Urusan nyawa memang kuasa Tuhan. Namun bukankah manusia diharuskan berusaha untuk mencegahnya agar tragedi tidak terjadi berulang-ulang kali? (eha)
Sumber: The New York Times, BBC, Ad-Diyar, Al-Arabiya ,Washington Post, Vanity Fair, Al-Monitor, Los Angeles Times,
Advertisement
Lesti Kejora Cerita Rambutnya Masih Kutuan Sebelum `Dirombak` Ivan Gunawan
Kakak Meninggal, Adik Gantikan Wisuda di ISI Yogya Penuh Air Mata
Ratu Ratu Queens The Series, Cerita Seru 4 Perempuan Diaspora di New York
5 Komunitas Khusus Perempuan di Indonesia, Gabung Yuk!
5 Tanda Komunikasi Orang Tua dan Remaja Sudah Berjalan Sehat
Film Sukma: Cermin Tua, Misteri Membayang, dan Ketakutan yang Dekat
XL Weekend Rush Semarang: Fun Bike, Festival Digital, dan Jaringan Lebih Kuat dari XLSMART
Lesti Kejora Cerita Rambutnya Masih Kutuan Sebelum `Dirombak` Ivan Gunawan
Kakak Meninggal, Adik Gantikan Wisuda di ISI Yogya Penuh Air Mata
Ratu Ratu Queens The Series, Cerita Seru 4 Perempuan Diaspora di New York