Nisreen Zaqout (Palestina) Dan Asi Garbarz (Israel)
Dream - Menjadi peserta program pertukaran budaya dari dua negara yang sedang diamuk perang tentu saja bikin salah tingkah, sulit dan bahkan bertaruh nyawa. Ketakutan akan taruhan nyawa itulah yang menimpa empat pemuda Palestina dan lima pemuda Israel yang mengikuti program perdamaian di Amerika Serikat. Sebuah program musim panas, yang digagas New Story Leadership, sebuah organisasi non-profit di Amerika Serikat.
Anak-anak muda dari dua negara itu diajak untuk berdiskusi, mengikuti pertukaran budaya, pelatihan tim dan magang. Dan pada setiap sesi mereka harus berpasang-pasangan. Mereka harus berdiskusi dan melihat konflik yang terjadi antara kedua negara, dari perspektif orang luar. Bukan perspektif orang yang menjadi bagian dari seteru ini.
Dan salah satu pasangan yang ikut dalam program ini adalah Nisreen Zaqout dan Asi Garbarz. Nisreen adalah gadis 21 tahun asal Gaza, Palestina. Sementara Garbarz adalah pemuda 27 tahun asal Kibbutz Pelech, Israel.
" Saya bangun setiap pagi," kata Nisreen di Washington. " Dan memeriksa telepon saya dan melihat apakah orangtua saya masih hidup atau tidak." Rasa takut terus dialami oleh para peserta lainnya.
Nisreen mengatakan orangtuanya terus dilanda 'konflik batin' karena dia berpartisipasi dalam sebuah acara di mana ada warga Israel yang ikut. Setelah pecah pertempuran, orangtua Nisreen mengatakan, " Kami tidak yakin kamu melakukan hal yang benar."
Sangat sulit bagi Nisreen berada di program tersebut, sebab dia terus dihantui rasa takut bahwa setiap menit sesuatu bisa terjadi dengan keluarganya di Gaza.
Saat makan bersama dengan kelompoknya, Nisreen juga berbicara masalah konflik yang terjadi di Jalur Gaza dan belajar empati. Mereka menemukan beberapa kata tertentu yang mereka tahu ternyata memiliki arti berbeda bagi kelompok lawan.
Para wakil dari Palestina terkejut mengetahui bahwa Zionisme adalah sesuatu yang harus dibanggakan oleh orang Israel.
" Saya duduk dengan Nisreen setiap hari," kata Garbarz. " Berbicara. Berdebat. Bagian yang terbaik adalah di mana Anda mendengarkan."
" Banyak orang dari Palestina yang menyebutnya pengkhianat karena dia akan menjalani program normalisasi," tambah Garbarz. " Saya juga disebut pengkhianat karena saya sedang berbicara dengan musuh. Saya dianggap mengakui Hamas karena bertemu dengan seseorang dari Gaza."
Ketika mereka kembali ke rumah masing-masing, para peserta akan memulai Project for Change. Nisreen ingin memulai apa yang disebutnya 'Membaca untuk Perdamaian', di mana anak-anak Palestina membaca tentang budaya Israel. Yang mencakup semua aspek dari budaya Israel.
Sementara peserta lainnya, Karma AbuAyyash, 22 tahun mengatakan dia berencana memberdayakan perempuan Palestina. AbuAyyash berasal dari Ramallah dan dia menjadi orang pertama dari Tepi Barat yang pernah ditemui Nisreen.
Setelah pertempuran pecah, banyak yang mencemoohnya karena ikut dalam program ini. " Setiap hari mereka mengatakan padaku, " Apakah kamu sudah melihat apa yang terjadi di Gaza? Mengapa kau di sana?."
Di saat-saat tertentu, Nisreen tidak melihat tanda-tanda konflik berakhir. Dia meragukan kemampuan program-program seperti ini bisa membuat perbedaan.
" Sepertinya tidak ada yang berubah," katanya. " Para pemimpin tidak berubah dan kedua negara tidak berubah. Saya tidak berpikir itu adalah konflik agama lagi. Ini konflik orang-orang yang mengambil kekuasaan dan ingin lebih."
Rekan magangnya, Garbarz, menghiburnya. " Saya tahu proses rekonsiliasi ini akan berlangsung sedikit lebih lama daripada yang kita bayangkan."