Bisnis Warung Kelontong Sangat `Gurih`, tapi Terhambat Kebiasaan Ini

Reporter : Arie Dwi Budiawati
Senin, 16 Desember 2019 17:36
Bisnis Warung Kelontong Sangat `Gurih`, tapi Terhambat Kebiasaan Ini
Kebiasaan apa itu?

Dream - Warung kelontong menjadi salah satu bisnis rumahan yang sering menjadi pilihan masyarakat. Barang-barang yang dijual adalah kebutuhan pokok sehari-hari, seperti telur, gula, dan minyak sayur.

Ketua Umum Induk Koperasi Wanita Pengusaha Indonesia, Sharmila Yahya, mengatakan, pendapatan warung yang berkualitas bagus cukup lumayan. Warung kelontong bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp1,5 juta dalam sehari.

Sayangnya, ada kebiasaan buruk masyarakat yang bisa menghambat pertumbuhan warung. Masyarakat acapkali berutang di warung.

“ Sering terjadi juga. Warung makin lama memiliki pemasukan yang terus-menerus menurun. Biasanya sering dianggap bisa ‘diutangin’,” kata Sharmila di Jakarta, ditulis Senin 16 Desember 2019.

Inkowapi dan Sahara bekerja sama untuk membina warung kelontong.

Untuk bisa meningkatkan bisnis warung kelontong, Inkowapi menggandeng Komunitas Sahabat Usaha Rakyat (Sahara). Komunitas ini menawarkan pembinaan yang benar dan sesuai dalam bisnis warung sembako. Misalnya, paktik berjualan langsung dan pembelajaran penjualan dengan aplikasi digital milik Sahara.

Sharmila mengatakan, Sahara juga memberikan modal usaha hingga Rp25 juta. Melalui tahap praktik pembiayaan langsung, akan ada penilaian sebelum ke tahap pemberian modal.

1 dari 4 halaman

Ingin Jadi Bagian dari Komunitas?

CEO Sahara, Farah Savira, mengatakan, jika ada warung kelontong yang ingin bergabung, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, usaha warung sudah berjalan minimal tiga tahun dan pemiliknya wajib perempuan. Selain itu, bisnisnya berada di wilayah Jabodetabek. Pendaftaran dilakukan secara online di sembakosahara.com.

Farah juga mengatakan, Sahara punya 10 ribu anggota yang sudah tergabung. Untuk pencapaian ini, komunitas itu menggelar acara “ Gebyar 10 Ribu Warung Sahara” pada 14 Desember 2019 di Lapangan Banteng, Jakarta.

Pada acara tersebut, Sahara juga akan memberikan award sebagai bentuk apresiasi kepada pata anggota Sahara. Kategori penghargaan yang akan diberikan, di antaranya adalah warung dengan omzet terbanyak dan warung dengan kepesertaan bazaar tertinggi.

“ Kami juga akan memberikan penghargaan kepada mpok mpok untuk sebutan pendamping warung di wilayah-wilayah dan akan ada doorprize dengan hadiah menarik,” kata dia.

Laporan: Diah Tamayanti

2 dari 4 halaman

Dari Sambal Warung Kaki Lima, Wanita Ini Raup Rp20 Juta/Bulan

Dream – Di mata Lina S Rahmania, sambal bukan hanya pelengkap menu makanan. Si pedas ini adalah peluang bisnis. Dari bisnis rumahan, Lina mampu meraup omzet yang lumayan, hingga Rp20 juta per bulan atau sekitar Rp300 juta per tahun.

Lina mengatakan capaian ini merupakan berkah dari bisnis sambal halal.

Usaha bisnis sambal ini bermula ketika dia merintis usaha rumah makan bebek goreng pada tahun 2010. Lina melihat perilaku konsumen yang acapkali membeli sambal yang disajikan di restoran tersebut.

“ Kebetulan banyak yang suka sambal (saya). Waktu saya jual bebek, ada yang meminta, ‘Saya beli sambalnya, dong’,” kata dia kepada Dream di Jakarta, ditulis Kamis 29 Desember 2016.

Melihat banyak yang menyukai sambal buatannya, insting bisnis Lina langsung menyala. Ada ceruk bisnis yang bisa dimanfaatkan.

Pada tahun 2015, Lina menjajal peruntungannya. Menjual sambal kemasan. Nama “ Sambal Hj. Lina” pun dipilih untuk nama merek. Usaha ini pun dijalankan dengan usaha bebek goreng yang bernama “ BebekBox Mas Yogi”.

“ Saya ingin menunjukkan bahwa yang kami punya itu halal. Kami pakai semua (bahan yang) halal,” kata dia.

Ketika mulai merintis usaha sambal botolan, modal yang dikeluarkan itu sebesar Rp10 juta. Uang itu digunakan untuk membeli bahan baku cabai dan penggorengan. Kala itu, sambal yang bisa diproduksi sebesar 50-60 botol per hari.

“ Bahan bakunya dari pasar tradisional. Saya pakai bahan baku yang bersih dan segar. Prosesnya higienis sehingga (sambal saya)  bisa bertahan 8 bulan-1 tahun tanpa bahan pengawet,” kata dia.

Sambal kemasannya ini dijual dengan rasa original, ekstra pedas, ikan tuna, dan bebek. Harga per botolnya pun bervariasi tergantung pada rasa.

“ Rasa original dan ekstra pedas itu Rp30 ribu per botol, ikan tuna Rp35 ribu, dan daging bebek Rp40 ribu,” kata Lina yang mengaku membuka memulai bisnis bebek goreng di emperan jalan Jakarta mengutip laman frozener.com.

 

Empat bulan pertama, Lina menjual sambal yang belum mengantongi sertifikat dan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lalu, dia mendapatkan fasilitas sertifikasi halal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tangerang Selatan. Lina juga melengkapi produknya dengan barcode produk.

“ Kebetulan saya mendapatkan gratis. Prosesnya 2-3 bulan,” kata dia.

Keputusan untuk memberikan label halal untuk sambalnya bukanlah tanpa alasan. Lina mengatakan konsumen acapkali bertanya kehalalan produknya.

“ Pembeli selalu bertanya apakah ada yang halal,” kata dia.

Usai mengantongi sertifikat halal, berkah bisnis halal pun dirasakan Lina.

3 dari 4 halaman

Label Halal Bikin Penjualan Naik 50%

Lina mengatakan beberapa bulan setelah bisnis sambal kemasan dijalankan, sambal produksinya sudah mendapatkan label halal dari MUI. Dikatakan bahwa Lina memproduksi 50-60 botol sambal sebelum mendapatkan label halal. Omzet per bulannya pun sebesar Rp6 juta per bulan.

“ Waktu tanpa label, tidak dilirik. Masih sedikit,” kata dia.

Kini, usai mendapatkan logo halal, Lina merasa pede untuk melangkah ke mana-mana. Selain dijual di reseller, Sambal Hj. Lina pun bisa menembus ritel modern.

“ Dengan label halal, saya bisa melangkah ke mana-mana,” kata dia.

Penjualannya pun naik hingga 50 persen. Seiring dengan peningkatan penjualan, produksinya pun meningkat menjadi 100-120 botol per tabung. Bagaimana dengan omzet?

“ Sekarang, omzetnya Rp15 juta-Rp20 juta per bulan,” kata dia.

4 dari 4 halaman

Laris sampai ke Tiongkok

Tidak hanya di Indonesia, rupanya sambal buatan Lina sudah dilirik oleh konsumen manca negara, misalnya Tiongkok. Ketika itu, dia mengikuti pameran dagang di Negeri Tirai Bambu. Dia terpilih sebagai pelaku UKM yang bisa memamerkan sambal halal. Dia diajak oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tangerang Selatan sekitar bulan September 2016.

“ Waktu itu, saya tidak membawa banyak. Saya membawa 250 botol karena saya menenteng sendiri,” kata dia.

Lina pun terperanjat ketika mengetahui sambal di sana dijual dengan harga yang sangat murah, sekitar 2-3 yuan atau Rp6 ribu per botol.

“ Waktu itu, saya mau jual Rp40 ribu per botol. (Melihat harganya segitu), saya bilang, kok, murah banget,” kata dia.

Meskipun demikian, Lina ogah menurunkan harga sambal botolannya. Dia mempertimbangkan biaya produksi dan biaya empat orang tenaga kerja. Alih-alih menurunkan harga, Lina malah menaikkan harga menjadi Rp50 ribu atau 25 yuan per botol. Berbekal label halal, Lina pun pasrah.

“ Kalau laku, Alhamdulillah. Kalau tidak, ya, saya bagi-bagikan (ke orang-orang),” kata dia.

Tak disangka, justru label halal ini menjadi magnet pembeli. Banyak pengunjung yang mencoba sambal halal buatan Lina dan 250 botol sambal buatannya ludes.

“ Saya punya logo halal. (Mengetahui sambal saya ada label halal), mereka langsung  nyobain  dan hari kedua sudah habis (dagangan saya),” kata dia.

Tidak hanya Tiongkok, sambal buatan Lina ini juga “ mengembangkan sayap” ke negara-negara lain, yaitu Perancis, Jerman, dan Meksiko. “ Rata-rata mereka membawa 100 botol, rutin setiap dua bulan,” kata dia.

Beri Komentar