Foto Dokter Andra Saat Jenazah Disemayamkan Di Rumah Duka Di Pamulang, Tangerang Selatan (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
Dream - Tarikh menunjukkan angka 11 November 2015. Sebuah kabar duka beredar di sosial media. Dionisius Giri Samudra, 24 tahun meninggal dunia. Berita itu terus menyebar. Andra, begitu penggilan almarhum meninggal di tempat tugasnya di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Andra baru saja meraih gelar sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (FK Unhas). Dia mengembuskan napas terakhir setelah berjuang melawan infeksi campak yang menyerangnya. Nyawanya gagal diselamatkan karena peralatan dan obat-obatan di Rumah Sakit tempatnya bertugas tidak memadai. Hingga infeksi itu menembus jaringan otak dan mengakhiri usianya.
Andra bukanlah anak asli Dobo. Orangtuanya tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Namun setelah lulus dia memilih untuk ditempatkan di Pulau Walmar, di gugus Kepulauan Aru itu untuk mengamalkan ilmunya bagi masyarakat terpencil. Jarak dari Ambon, Ibukota Maluku jika ditempuh menggunakan speedboat setidaknya memakan waktu tiga hari.
Di pulau itu, Andra bertugas bersama 17 dokter muda lainnya guna menjalankan program internship selama satu tahun di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Cenderawasih, Dobo. Program itu merupakan syarat bagi setiap lulusan dokter sebelum mereka bisa bekerja sebagai profesional atau menjalankan praktek sendiri.
“ Kita yang memilih sendiri Kepulauan Aru, bukan ditentukan,” kata Siti Ramadhani Kartika Putri. Tika, begitu dia disapa juga dokter yang sedang menjalankan program internship satu kelompok kerja dengan Andra. Saat ini mereka baru menjalaninya selama enam bulan.
Meninggalnya Andra membuat rekan-rekannya begitu terpukul. Menurut penuturan Tika sebulan sebelum meninggal, Andra baru saja menghabiskan masa cutinya di Tangerang. Dalam perjalanan kembali ke Dobo, Andra merasakan demam. Dia langsung mendapatkan perawatan sesampainya di RSUD Cendrawasih.
Saat pemeriksaan tubuh Andra nampak keluar bintik-bintik merah. Paramedis mendiagnosa dia terserah demam berdarah. Namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih detil, ternyata hasilnya negatif. Namun demam Andra masih cukup tinggi.
“ Kami sempat mempersiapkan evakuasi Andra ke rumah sakit di Ambon,” kata Tika. Namun karena jauhnya jarak ke Ambon, mereka mengkhawatirkan kondisi Andra akan semakin buruk di perjalanan. Bahkan untuk penerbangan selama dua jam setengah sekalipun kondisinya terlalu lemah.
Hingga akhirnya tubuh Andra tak lagi sanggup melawan infeksi campak yang menggerogotinya. Tugasnya untuk mengawal masyarakat di wilayah terpencil harusnya hanya tersisa enam bulan lagi. Namun dokter muda itu harus menghembuskan nafas terakhirnya jauh dari rumah, saudara, dan kerabat. Simpatipun membanjir untuk Andra. Untuk pengabdiannya, untuk pengorbanannya.
***
Belum lagi habis airmata untuk Andra, seorang pahlawan lain harus tutup usia di tempat tugas. Kali ini kisah duka dari bidan Anik Setya Indah. Bidan asal Demak, Jawa Tengah, berusia 31 tahun ini sedang manjalani tugas di Desa Darit, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Bidan Indah meninggal 20 November 2015 lalu. Saat itu dia sedang hamil tua, delapan bulan. Niatnya, dia akan mengajukan cuti guna menjaga kehamilannya yang tinggal beberapa pekan lagi.
Namun pagi itu dia mendapat panggilan untuk membantu pasiennya melahirkan. Indah nekat berangkat sendiri mengendarai motor. Padahal dari tempat tinggalnya ke rumah pasien berjarak sekitar 29 kilometer. Melalui jalan yang tidak mulus.
Bayi itu akhirnya lahir dengan selamat pukul satu siang waktu Indonesia Tengah. “ Dia selesai membantu persalinan sampai Maghrib,” kata Mulyoto, suami Bidan Indah. Baru saja Indah sampai kembali di rumahnya, panggilan datang kembali.
Tepat pukul sembilan malam, Mulyoto mengantar istrinya menuju ke rumah pasien yang berikutnya. Saat itu Indah meminta suaminya untuk meninggalkannya. Dan akan dihubungi jika persalinan sudah selesai.
Ternyata persalinan berlangsung hingga tengah malam, dan baru selesai hingga pukul satu dinihari. “ Alhamdulilah dua persalinan itu selamat,” kata Mulyoto. Mulyoto pun segera menjemput istrinya dan mereka sampai di rumah satu jam kemudian.
Namun Indah tak bisa langsung tidur. Dia mengeluh perutnya terasa sakit. Mulyoto berusaha menenangkan dengan memijat halus perut buncit sang istri. Tetapi, sakit yang dirasakan Indah semakin menjadi-jadi.
Menjelang subuh, akhirnya Mulyoto mengantar istrinya ke rumah sakit. Perjalanan memakan waktu lebih dari dua jam, saat mereka sampai di rumah sakit. “ Hanya sebentar di UGD, lalu dipindahkan ke ruang bersalin,” kata Mulyoto.
Mulyoto kaget setelah dokter menyampaikan bahwa istrinya mengalami pendarahan. Akibatnya sang bayi tak bisa diselamatkan. Saat menemui sang istri, dia mendapat pertanyaan yang sangat berat untuk dijawab. “ Anaknya sudah diselamatkan ?” Mulyoto pun menjawab sambil berlinang air mata, meski dia berupaya menenangkan sang istri, ”Nggak apa-apa, bukan rezeki.”
Saat itu pendarahan Indah belum juga berhenti. Sang istri harus menjalani operasi dan membutuhkan transfusi darah. Mulyoto segera menghubungi rekan kerja dan kenalannya untuk ikut menyumbangkan darah.
Belum lagi mereka sampai ke kantor PMI untuk melakukan transfusi darah, Mulyoto mendapat kabar dari rumah sakit. Indah, istrinya tidak bisa tertolong lagi. Meninggal.
Kisah Dokter Andra dan Bidan Indah, mengundang simpati para netizen. Cerita kepahlawanan dan pengabdian mereka untuk masyarakat pedalaman begitu menggugah. Mereka akan tetap dikenang hingga generasi kemudian.
Advertisement
Cucu Mahfud MD Jadi Korban Keracunan MBG di Yogyakarta
Alasan Orang Korea Sangat Percaya MBTI Bisa Ungkap Kepribadian
Presiden Prabowo Bertemu Marc Marquez dan Pebalap Tanah Air Bahas Sport Tourism
Ponpes Al-Khoziny Ambruk, Menag Tanggapi Isu Pelibatan Santri dalam Pengecoran Gedung
Cara Mudah Bikin Parfum Bareng Casablanca di Campus Beauty Fair