Langkah Gus Khamim Menuju Mekah

Reporter : Maulana Kautsar
Kamis, 8 Juni 2017 20:25
Langkah Gus Khamim Menuju Mekah
Dia menempuh jarak lebih jauh dari diameter Bumi, menuju Tanah Suci. Semua dilakukan untuk ketaatan kepada Allah.

Dream – Pemuda itu terus berjalan. Ransel kembung penuh beban di punggung tak membuat langkahnya lamban. Dia tetap gesit. Meski tak secepat mobil-mobil yang terus menyalip dari belakang.

Napas memang terengah-engah. Muka mengilap, banjir keringat. Berona merah kehitaman, terbakar matahari. Tapi kakinya tak surut. Aspal sedikit berdebu itu terus ditapaki. Melewati satu persatu pohon kurma yang berjajar di pinggiran jalan.

Siang itu memang terik. Tak ada payung untuk berlindung. Kepala berambut gondrong itu hanya bermahkota peci cokelat keemasan. Sedangkan tubuh berbalut jaket hitam. Namun, hawa sepanas panggangan itu tak mengeringkan tekadnya.

“ Sehari dua hari lagi sampai Suhar. Siang-siang begini jalan, suhunya sekitar 39 sampai 40 derajat Celcius,” kata pemuda itu, menceritakan perjalanannya dalam video itu.

Jejaka itu adalah Gus Khamim. Sejak 28 Agustus 2016, pemuda Pekalongan, Jawa Tengah, itu melakukan perjalanan akbar menuju Mekah. Ribuan kilometer telah ditempuh. Berbagai kota dan negara dilalui. Sebagian besar dia lakukan dengan berjalan kaki.

Soal perjalanan fenomenal ini, Gus Khamim memang bukan yang pertama. Beberapa Muslim dari negeri lain lebih dulu mejalani laku serupa, berangkat haji ke Tanah Suci dengan berjalan kaki.

Lima tahun silam, bahkan ada juga warga Indonesia yang berjalan dengan tujuan Mekah. Dia adalah Indra Azwar. Tapi sayang, langkah pria asal Malang, Jawa Timur, itu tercekat di perbatasan Thailand dan Myanmar, wilayah yang 2012 dirundung konflik.

Tapi, jarak yang ditempuh Gus Khamim mungkin jadi yang terjauh di antara mereka. Dari Pekalongan ke Mekah, dia menempuh 13.474 kilometer. Sepanjang 12.724 dia lakukan dengan jalan kaki, 750 kilometer sisanya dengan perjalanan laut.

Jarak itu lebih panjang daripada diameter Bumi ini, yang berukuran sekitar 12.742 kilometer. Atau lebih dari seperempat keliling lingkaran Bumi bagian Khatulistiwa, yang ukurannya sekitar 40.075 kilometer. Fantastis, kan?

Dan di hari panas, saat merekam perjalanan, itu sarjana ekonomi Universitas Negeri Semarang ini sampai di Oman. Saat itu, dia berjalan meuju Kota Suhar. Kabar terakhir, dua atau tiga pekan silam, dia telah sampai di Abu Dhabi. Sudah sejauh itu, tekadnya semakin membara.

Dia terus melangkah menuju Kota Suci, sebagaimana moto yang tertulis pada kaos yang dia kenakan, “ I'm on my way to Mecca by foot”. Gus Khamim berusaha sampai di kota paling suci bagi umat Muslim itu sebelum 30 Agustus tahun ini, untuk berhaji.

1 dari 2 halaman

Peristiwa Ajaib di Malaysia

Peristiwa Ajaib di Malaysia © Dream

Perjalanan ini butuh persiapan matang. Kepada Khaleej Times, pemuda kelahiran 9 Mei 1988 itu mengaku menghabiskan dua minggu di hutan Banten untuk menyiapkan fisik. Dia juga melewatkan beberapa pekan di masjid untuk penguatan spiritual.

Dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, Gus Khamim memulai perjalanan fenomenal ini. Tak banyak bekal dibawa. Ransel yang berdukung di punggung hanya berisi dua kaos, dua celana, dan juga sepatu.

Selain itu, ada pula beberapa pasang kaos kaki, pakaian dalam, sleeping bag, tenda, senter, smarthphone, dan sebuah GPS. Bendera Merah Putih mini terpasang di tas besar itu. Bekal uang ala kadarnya. Benar-benar backpacker.

Sebenarnya, Gus Khamim tak sendiri saat berangkat dari rumah di Jalan Raya Wonopringgo nomor 836, Desa Rowokembu, Wonopringgo, Pekalongan, pada 28 Agustus itu. Ada dua teman ikut serta. Tapi mereka balik kanan saat tiba di perbatasan Tegal. Tak sanggup melanjutkan perjalanan.

Setapak demi setapak dia lalui. Karena sering berpuasa, Gus Khamim lebih banyak berjalan pada malam hari. Saban hari setidaknya jarak 50 kilometer dia libas. Itu jika kondisi tubuhnya lagi bugar. Namun jika merasa kurang fit, hanya menempuh 10 hingga 15 kilometer.

Perjalanan ini memang ‘keras’. Meski begitu, Gus Khamim jarang jatuh sakit. Selama perjalanan, hanya dua kali merasa kurang enak badan, saat berada di Malaysia dan India. Rahasianya, dia selalu mengonsumsi makanan halal, meski tanpa suplemen.

Madu dan air putih menjadi kunci membangun kekebalan tubuh untuk menghadapi cuaca buruk di perjalanan. Dan selama perjalanan itu pula, rezeki selalu datang. Meski tak membawa bekal uang berarti, dia selalu mendapatkan makanan.

“ Aku tak pernah meminta tapi selalu bertemu dengan orang-orang yang memberi aku makanan dan bekal lainnya,” ujar Gus Khamim.

Dia juga tak pernah menemukan halangan berarti. Tak pernah ada orang jahat atau perampok yang ditemui selama perjalanan. Namun sebuah pengalaman menarik dia alami saat berada di hutan Malaysia. Bertemu ular berbisa.

“ Tapi ajaibnya, bahkan sebelum mereka ingin menggigit saya, mereka tiba-tiba jatuh dan mati,” kata dia.

2 dari 2 halaman

Disambut di Kuil Buddha

Disambut di Kuil Buddha © Dream

Menurut Gus Khamim, Alquran mengajarkan bahwa berjalan merupakan bentuk asli dalam pelaksanaan haji. Dan berhaji tak hanya menunjukkan solidaritas dengan sesama Muslim saja, melainkan dengan umat agama lain.

Perjalanan haji ini juga menjadi bentuk ujian terhadap kekuatan fisik dan spiritual. Perjalanan ini sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. “ Aku juga melakukan jihad yang lebih besar, yang mana mendisiplinkan diriku dan melakukan perjuangan spiritual melawan dosa.”

Selain itu, dia juga punya misi. Menyebarkan harapan, toleransi, dan harmoni, di sepanjang perjalanan. Dia belajar Islam dari berbagai cendekiawan, bertemu dengan orang-orang dari berbagai macam keyakinan untuk mempelajari budaya mereka, dan mengamati toleransi.

Segudang pengalaman berharga pun didapat selama perjalanan. Dia benar-benar menyelami arti toleransi dan harmoni antarumat beragama. Serta menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

“ Aku disambut di kuil Buddha di Thailand, orang-orang desa di Myanmar memberiku makan. Dan aku menjadi teman pasangan Kristen yang naik sepeda di Yangon,” tutur Gus Khamim.

Hanya itu? Tidak. Masih banyak pengalaman berharga lain. Misal saja di India. Dia bertemu dengan para cendekiawan Muslim dari berbagai negara di masjid Jamaah Tabligh. “ Itu semua merupakan anugerah Allah dan juga getaran positif bahwa aku masih bisa melanjutkan perjalanan ini, meski tidak punya bekal finansial,” katanya.

Hamparan pengalaman itu membawa Gus Khamim dalam perenungan. Pikirnya jauh kembali ke Tanah Air. Dan jari pun bergerak menulis pada dinding akun Facebook.

“ Kenapa di negeri sendiri kawan-kawanku sebangsa dan setanah air yang dulu indah dengan toleransinya saling berhujat satu sama lain,” tulis Gus Khamim, mengungkapkan keprihatinan.

Laporan: Maulana Kautsar Rahmad

Beri Komentar