Susah (3): Penjual Donat di Terminal Ini Masuk UNJ

Reporter : Ramdania
Rabu, 5 Agustus 2015 20:52
Susah (3): Penjual Donat di Terminal Ini Masuk UNJ
Kemiskinan tak membuatnya menyerah. Berjualan donat di terminal dan menjadi sales motor pernah dia lakukan. Masuk perguruan tinggi negeri tersohor. Sayang biaya kuliah masih jadi ancaman.

Dream – Pekan lalu sore nan terik masih menikam di Terminal Depok. Sejumlah remaja berseragam putih-abu-abu terlihat berkumpul di lapangan yang terbuat dari paving block. Pelajaran yang mereka jalani sudah usai. Mereka mulai mengeluarkan bola plastik seolah berpikir inilah saat yang tepat untuk bermain bola.  

Cuaca sore yang panas tak menyurutkan semangat mereka menggiring dan merebut bola, serta berlarian. Suara teriakan mereka beradu kuat dengan riuh klason dan suara angkot yang mengantre di bawah jalan layang dekat Terminal Depok.

Di sekeliling mereka bangunan dua lantai tegak berdiri. Catnya berwarna-warni: biru, kuning, hijau, merah, putih. Bangunan itu tidak biasa. Sebab, bangunan itu terbuat dari bekas kontainer peti kemas. Kontainer peti kemas itu disulap menjadi ruang-ruang kelas, tempat mereka belajar.

Di sebelah kanan lapangan itu berdiri dua ruangan. Tapi ruangan itu bukan kelas. Ruangan itu menjadi tempat bagi para staf pengajar. Siapapun yang memasuki ruangan itu wajib melepas alas kakinya.

Seorang lelaki berbaju batik petang itu duduk bersila di dalam ruangan staf tersebut. Di depannya ada sebuah komputer jinjing. Di belakangnya terdapat rak buku yang di dalamnya bertumpuk buku-buku pelajaran. Tak jauh dari lelaki itu, di sebelah kanannya, terdapat komputer.

Tak seberapa lama, seorang gadis berjilbab biru dongker dan berbaju merah hati datang. Ia memasuki ruang itu. “ Assalamualaikum,” gadis muda itu mengucapkan salam dengan sopan. Semua yang ada diruangan itu segera menjawab salam yang dia berikan.

Gadis berjilbab itu kemudian duduk di seberang lelaki berbaju batik.

“ Amel,” sapa lelaki berbaju batik yang duduk bersila itu. “ Selamat ya. Sudah diterima di Universitas Negeri Jakarta (UNJ),” lanjut lelaki bernama Samsul Maarif itu.

“ Terima kasih kak,” balas Amel santun.

Ya, itulah Annisa Amelia, siswa Sekolah Masjid Terminal (Master) yang lolos ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2015. Dia diterima di program studi Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Amel adalah salah satu siswi miskin yang bersekolah di sana. Sudah setahun ini ia menimba ilmu dengan intensif. Sekolah Master adalah sekolah yang menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan yang tidak mampu bersekolah. Amel belajar di sana selama setahun, seperti siswa lain yang mengejar Paket C atau pendidikan penyetaraan untuk lulus SMA.

Sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya Amel biasa berjualan kue donat di areal Terminal Depok dan Sekolah Master itu. Ia berjualan kue donat dengan harga Rp 2.000 per buah.  Ia juga sempat berjualan donat di Perpustakaan Fakultas Ekonomi  Universitas Indonesia (FE-UI) Depok. Dia menitipkan donat itu di kantin fakultas itu. Dia menjualnya seharga Rp. 3.000.

Itu kue donat bikinan Bu Siti, salah seorang warga Kukusan Depok. Bu Siti ini jika ke Sekolah Master sering dipanggil Bunda oleh siswa-siswi di sana. Ini karena perhatian Siti terhadap lingkungan Sekolah Master yang letaknya tak jauh dari Terminal Depok.

Amel menjajakan donat itu saat istirahat sekolah. Amel mengenang, jika siswa-siswi yang lain beristirahat dia malah dagang.  Tapi itu tak menghalangi wanita berhijab ini untuk belajar dan bersinar.

Dan terbukti, kesulitan ekonomi bukan menjadi penghalang bagi Amel. Di tengah keterbatasan biaya, dia berhasil lolos masuk universitas negeri ternama di Jakarta…

1 dari 2 halaman

Dari Jual Donat, Hingga Jadi Sales Motor

Dari Jual Donat, Hingga Jadi Sales Motor © Dream

Dari Jual Donat, Hingga Jadi Sales Motor

Jalan hidup Amel memang tak mudah. Mungkin tidak terpikir dalam benak Anissa Amelia mengenai masa depannya setelah ayah-ibunya bercerai saat dia masih remaja ingusan. Gadis berhijab itu hanya berpikir untuk tetap melanjutkan pendidikan. Impian itu yang membawa Amel, sapaan akrabnya, ke Sekolah Master yang berada tepat di bawah jembatan layang Terminal Depok.

Sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM) bukanlah sekolah yang mewah. Justru jauh dari kesan mewah. Namun, dengan kelas-kelas yang dibuat dari kontainer ini, sekolah yang fokus kepada anak-anak tidak mampu itu mulai menjadi perhatian masyarakat karena keunikannya.

Di situlah, Amel yang mulai beranjak remaja melanjutkan sekolahnya sepeninggal ibunya pindah ke Surabaya dan ayahnya yang kembali ke kampungnya di Tuban setelah mereka bercerai saat Amel masih duduk di bangku terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Amel tidak sendiri. Dia ada di Jakarta bersama ketiga saudaranya, yakni dua kakak laki-lakinya, dan satu adik perempuan. Mereka hidup di sebuah rumah kontrakan di Komplek Jatipadang Baru, Pasar Minggu. 

Kakak laki-laki pertamanya bernama Wisnu, sehari-hari bekerja sebagi staf kantor pusat Indomaret di Cikokol. Adapun kakak keduanya bernama Imam saat ini sedang berusaha menembus tes Penerimaan Mahasiswa Baru UNJ. Sedang adiknya, Anita, masih duduk di Sekolah Master kelas 1 SMA.

Annisa Amelia lahir di Bogor, 17 Januari 1997. Dia merupakan anak ketiga dari empat besaudara. Orang tuanya berpisah kala dia baru saja lulus sekolah menengah pertama. Ayahnya kemudian pergi ke Tuban, pulang ke kampung halamannya. Ibunya menghidupi Amel dan tiga saudaranya yang lain.

Dahulu ibunya adalah kontraktor. Kondisi usaha konstruksi yang dibangun Ibunda Amel ketika SD kala itu masih lancar. Amel sempat hidup berpindah-pindah. Bandar Lampung dan Bali pernah dia singgahi.

Ketika Amel beranjak SMP, malang tak dapat ditolak. Usaha yang dibangun ibunya untuk memenuhi kehidupan Amel dan keluarganya itu hancur karena ditipu orang. Kejadian itu terjadi saat Amel hendak memasuki SMA.

Di masa awal SMA, Amel kembali menerima kenyataan pahit. Sebab, ibu Amel menikah lagi dan ikut suaminya pindah ke Surabaya. Namun, meski jauh, hingga kini hubungan Amel dengan ibunya masih terjalin dengan baik. Setiap malam ibunya selalu menelepon dan menanyakan keadaan anak-anaknya.

Amel dan kakak-adiknya berjuang memenuhi kehidupan keluarga. Amel terpaksa berjualan donat. Tidak hanya itu, untuk menambah penerimaan keluarga, dia juga sempat mencoba peruntungannya menjadi sales sepeda motor sembari menunggu pengumuman Perguruan Tinggi Negeri. Sayang, keberuntungannya tidak di situ. Dia bahkan tidak dapat menjual satu motor pun dan memperoleh bonus.

Meski bekerja, Amel tidak melupakan cita-citanya untuk meneruskan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Untuk itu, dia rela belajar pada tengah malam di saat orang lain terlelap tidur.

Cara belajar dia pun agak unik. " Jadi biasanya setelah pulang ke rumah, jam 8 malam. Jam 10 malam baru tidur. Terus bangun jam 1 dini hari. Saat dulu, terus belajar sampai subuh. Habis subuh terus tidur lagi, bangun jam 8 pagi. Berangkat jualan. Kalau tidak jualan, setelah bantu bersih-bersih baru sekolah," ujarnya.

2 dari 2 halaman

Mengejar Beasiswa Demi Jadi Sarjana

Mengejar Beasiswa Demi Jadi Sarjana © Dream

Mengejar Beasiswa Demi Jadi Sarjana

Dengan kerja kerasnya membagi waktu antara belajar dan bekerja, Amel akhirnya bisa lulus Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Dia diterima di program studi Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta. Bukan pilihan pertamanya, tetapi dia sudah sangat bersyukur atas hasil tersebut. 

" Pertama, Akuntansi di UI, pilihan keduanya di Administrasi Niaga UNDIP, ketiga baru Pendidikan Luar Sekolah, UNJ," paparnya.

Namun, jalan Amel tidak semulus landasan pacu pesawat. Kini, dia kembali tersandung masalah, yakni mengenai masalah pembiayaan kuliah. Untuk masuk, dia harus membayar sebesar Rp 4 juta. Jumlah yang sangat besar bagi seorang penjual donat terminal.

" Amel pada pengumuman 31 Juli 2015 lalu dikasih tahu kalau Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp 4 juta. Padahal tahun lalu cuma Rp 2 juta. Tidak tahu tuh kok bisa naik begitu," ujarnya dengan senyum miris.

Untuk itu, Amel akan mengajukan permintaan keringanan pembiayaan UKT dan dia sangat berharap pihak UNJ bisa menyetujui permohonannya tersebut. Harapan Amel inilah yang ingin disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan jika dirinya bertemu.

" Ingin ditelepon Pak Anies, tapi bingung mau ngomong apa. Paling curhat biaya kuliah," candanya.

Tidak hanya menanti kebaikan hati pihak universitas dan negara, Amel pun berencana memenuhi kebutuhannya pendidikannya sendiri dengan menjadi guru privat. Namun, rencana tersebut belum terealisasi karena menunggu persetujuan tempat les yang ditujunya.

Meski sudah memperoleh pendidikan hingga jenjang SMA, Amel benar-benar gigih untuk melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi. Dia tidak mau terlena di dunia kerja walaupun bisa mendapatkan penghasilan yang cukup.

" Sempat mikir sih (untuk kerja). Tapi kemudian mikir kalau sabar sedikit buat kuliah mungkin bisa dapat kerjaan yang lebih bagus," ungkapnya.

Kegigihan Amel ini diakui orang-orang yang dekat dengan dirinya. Seperti Ibu Siti, orang yang menyediakan donat untuk Amel jajakan. " Amel itu rajin. Saya pasti kerepotan kalau dia sudah tidak jualan lagi," ungkapnya.

Begitu pun Nurul Arifah, Project Officer, program pendampingan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE- UI) dengan Sekolah Master. Mahasiswi Jurusan Ekonomi Islam angkatan 2013 FE-UI itu menilai Amel merupakan anak yang rajin, meski agak tertutup.

" Amel pintar. Rajin dia orangnya. Ketika program pendampingan itu terlihat. Kita tidak masuk ke masalah pribadi. Yang penting mereka bisa lulus SBMPTN saja," pungkasnya.

Amel barangkali adalah salah satu intan yang selama ini terendam dalam lumpur kehidupan. Dengan segala keterbatasannya, dia mampu bangkit, bahkan bersinar dengan menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri. Mengalahkan puluhan ribu siswa terbaik di negeri ini. Sungguh sebuah prestasi di tengah semua keterbatasannya sebagai penjual donat di Terminal Depok.

Tapi itu pun belum cukup. Amel masih terhalang oleh biaya kuliah yang mahal. Apakah pantas di negara ini jika sebuah intan yang baru saja bersinar terang akan kembali lenyap terkubur lumpur di tengah jalan hanya karena soal biaya kuliah? Entahlah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Apakah masih ada keajaiban lagi bagi Amel si penjual donat terminal….  (eh)


Laporan: Maulana Kautsar

Beri Komentar