Di Tangan Tjhio Wie Tay, Toko Buku Gunung Agung Ini Lahir. (Sumber: Merdeka.com)
Dream - Siapa tidak mengenal Toko Buku Gunung Agung? Toko buku pertama yang melegenda dan sempat mencatatkan sejarah dalam perjalanan banga Indonesia.
Namun beberapa hari terakhir, publik pecinta buku dihebohkan dengan penutupan Toko Buku Gunung Agung. Pelan-pelan sejumlah toko milik Gung Agung memang ditutup. Tak heran jika publik kembali kaget.
Namun pecinta buku sedikit lega. Lewat akun twitter resminya, Toko Gunung Agung menegaskan penutupan gerainya hanya terjadi untuk cabang Bandung Indah Plaza saja.
Berdiri di tahun 1953, ternyata pendirian Toko Buku Agung penuh kisah. Terlebih sosok pendirinya yang mengalami pergulatan batin sebelum akhirnya menjadi seorang mualaf. Dialah Tjhio Wie Tay. Ini Kisahnya
Siapa Wie Tay?
Dikutip dari buku 55 Kisah Inspiratif, Kamis 26 Mei 2016, Wie Tay adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Tjhio Koan An. Keluarga ini merupakan keluarga berada karena Koan An adalah ahli listrik tamatan sekolah Belanda. Kelima anaknya, termasuk Wie Tay, mengalami masa kecil yang bahagia. Tapi itu tidak lama.
Kehidupan keluarga itu berubah 180 derajat setelah Koan An meninggal mendadak pada tahun 1931.
Tanpa seorang ayah, Wie Tay yang lahir pada 1927 tumbuh menjadi anak nakal dan bandel, plus tak bisa diatur. Dia pun pindah sekolah dua kali karena suka berkelahi dan sering berbuat onar.
Curi Buku Kakak
Yang mengejutkan, ulah bocah Wie Tay tak hanya di luar rumah. Dia sering tertangkap basah mencuri buku kakak-kakaknya untuk dijual di Pasar Senen. Uangnya dia pakai untuk mendapatkan uang saku.
Saat menginjak usia 13 tahun, Wie Tay sadar usaha ibunya tidak menghasilkan banyak uang. Dia terdorong untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang. Terkadang dia masih mencuri buku kakak-kakaknya.
Remaja muda ini melihat peluang bisnis rokok. Dengan modal 50 sen, Wie Tay berkeliling untuk menjajakan dagangannya dan menyisihkan uang untuk tabungan. Tabungannya ini digunakan untuk membeli meja lapaknya di Glodok. Akhirnya, Wie Tay bisa membuka kios di daerah Pasar Senen.
Rupanya, usaha rokok yang digeluti Wie Tay mengantarkannya kepada dua calon mitrannya, Lie Thay San dan The Kie Hoat. The Kie Hoat adalah karyawan perusahaan rokok Perola.
Namun, usahanya bubar. Kie Hoat dipecat perusahaannya karena dianggap melanggar aturan dilarang menjual rokok di luar distributor resmi. Meskipun demikian, kongsi dagang ini tetap berjalan.
Wie Tay pun mulai menseriusi bisnisnya. Kongsi dagang ini tak hanya menjual rokok, tapi juga sebagai agen bir cap Burung Kenari. Bisnisnya pun merambah ke penjualan buku. Tiga sekawan ini menjajaki peluang penjualan buku. Buku-buku impor dari Belanda yang mereka jual itu laku keras. Lalu, toko mereka pindah ke daerah Kramat untuk diperbesar.
Usaha buku semakin tumbuh besar. Mereka melepas bisnis rokok dan bisnis lainnya. Ketiganya mendirikan perusahaan yang bernama Firma Tay San Kongsie dan membagi pendapatan bertiga. Wie Tay pun ditunjuk sebagai pimpinannya. Firma itu membuka sebuah toko satu lagi di Jalan Kwitang No. 13 yang saat itu masih sepi.
Wie Tay pun punya visi usahanya harus tumbuh lebih besar lagi. Untuk itu, dia mengusulkan ada penambahan modal. Sayangnya, ide tersebut ditolak oleh Thay San dan menimbulkan perdebatan.
Akhirnya, Thay San memilih mundur dari kemitraan tersebut dan mendirikan toko buku sendiri di Kramat. Sementara itu, Wie Tay dan Kie Hoat membesarkan toko di Kwitang dan diubah namanya menjadi Gunung Agung.
Wie Tay meresmikan toko buku ini pada tahun 1953 ditandai dengan penyelenggaraan pameran buku pertama di Indonesia. Tahun 1956, cabang pertama toko buku ini dibuka di Yogyakarta. Pembukaan cabang di kota-kota berikutnya pun dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, sehingga Gunung Agung menjadi toko buku terbesar di Indonesia pada tahun 1970-an.
Wie Tay paham betapa pentingnya pengetahuan. Untuk itu, dia mendekati para wartawan dan penulis serta mengundang mereka untuk menulis biografi tokoh Indonesia, seperti Soekarno (1960), Adam Malik (1979), dan Muhammad Hatta (1979).
Tak hanya menggeluti bisnis buku, Wie Tay juga mengembangkan bisnisnya ke bisnis jual beli valuta asing (valas), distribusi, dan percetakan. Pria ini juga berperan besar dalam distribusi kamera Canon dan film Kodak di Indonesia
Pada tahun 1963, pria ini memeluk agama Hindu Dharma dan mengubah namanya menjadi Mas Agung. Lalu, pada tahun 1976, Wie Tay memeluk agama Islam.
Keputusannya menjadi seorang mualaf ini membuka babak baru bagi kehidupannya. Wie Tay mendirikan lembaga amal bernama Yayasan Idayu dan Pusat Informasi Islam. Tak hanya itu, dia juga membangun banyak masjid dan panti asuhan. Suatu kali ditanya alasan Wie Tay mengeluarkan uang yang cukup besar untuk kepentingan filantropi, jawabannya mengharukan.
" Saya takut tenggelam dalam dunia yang berlimpah," kata dia.
Pada tahun 1982, dia menerima penghargaan Pax Mundi dari Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1990, pria ini meninggal. Tak hanya keluarga yang merasa kehilangan, seluruh lapisan masyarakat Indonesia pun turut merasakan hal yang sama.
Advertisement
4 Komunitas Animasi di Indonesia, Berkarya Bareng Yuk!
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Selamatkan Kucing Uya Kuya Saat Aksi Penjarahan, Sherina Dipanggil Polisi
Rekam Jejak Profesional dan Birokrasi Purbaya Yudhi Sadewa, Menkeu Pengganti Sri Mulyani Indrawati