Kisah Mualaf Surabaya: Islam Indah Bak Negeri Dongeng

Reporter : Kusmiyati
Kamis, 4 Desember 2014 15:02
Kisah Mualaf Surabaya: Islam Indah Bak Negeri Dongeng
Kisah perjumpaan Lusia Efriani Kiroyan dengan Islam begitu manis. Namun, Tuhan menggantinya dengan cobaan. Hingga akhirnya bisa kembali hidup di negeri dongeng.

Dream - Kisah perjumpaan Lusia Efriani Kiroyan dengan Islam begitu manis. Berbagai kemudahan dilimpahkan Tuhan. Hidupnya benar-benar menjadi indah setelah mengucap Syahadat pada 2003 itu. Bak hidup di negeri dongeng.

“ Saya merasa seperti putri di negeri dongeng. Allah itu ada. Seperti semua yang saya minta itu dikabulkan,” kata Lusi saat berbicang dengan Dream di Jakarta, Rabu 3 Desember 2014.

Kemudahan-kemudahan itu setidaknya telah meringankan jalannya menuju Islam. Sebab, proses menjadi mualaf perempuan kelahiran 1 Agustus 1980 ini sungguh tak mudah. Seluruh keluarganya menentang. Anak ke lima pasangan Maria Susiati dan JB Max Kiroyan ini tersingkir dari keluarga.

Namun, roda hidup tetaplah berputar. Tuhan menggantinya dengan cobaan. Hari-hari pilu merundung lulusan Sastra Inggris Universitas Airlangga itu dimulai saat pernikahannya buyar. Hak asuh dua anak hasil pernikahan pun jatuh ke tangan mantan suami.

”Saya hancur, sempat menjadi sangat miskin. Kehidupan saya yang seperti di negeri dongeng langsung lenyap. Entah saya harus berbuat apa saat itu,” ujar dia.

Lusi nyaris tak kuasa meneruskan cerita. Matanya berkaca-kaca. Suaranya tergetar. Terperangkap di kerongkongan. Gerak tubuhnya pun berubah. tangan yang semula diam sesekali merapikan rambut yang sebenarnya tak berantakan. Telepon genggam yang semula didiamkan, sesekali juga dia mainkan. Namun dia berusaha tetap tersenyum. Berusaha menahan air mata, agar tak terburai.

Kecewa. Marah. Sedih dan tak punya harapan lagi. Itulah rasa hati yang dia alami kala itu. kala terbenam di jurang kehidupan. Masa suram itu benar-benar menggores dalam di lubuk hati perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah informal International Visitor Leadership Program (IVLP) ini.

“ Perasaan saya campur aduk, sempat memaki juga. Kemudian saya bicara kepada Allah, kenapa hal ini terjadi. Belum cukup salehah kah saya?” kata pendiri Lembaga Sosial Cinderella from Indonesia Center yang bertempat di Batam ini.

Saking putus asa, bahkan sempat terbersit dalam benak Lusi untuk mengakhiri hidup. “ Waktu itu sekitar 2011 situasi terpuruk yang saya rasakan. Sempat ingin bunuh diri. Saya dandan sangat cantik saat itu kemudian berdiri di pinggir dermaga lautan di Batam,” ujar wanita yang berbisnis arang tempurung kelapa ini.

Beruntung, ada seseorang yang memanggil. Sehingga niatan bunuh diri itu tak terlaksana. Dan orang budiman itu menasihatinya bahwa hidup itu terlalu indah untuk dilewatkan dengan sia-sia. Orang itu pun mengaku mengaguminya. Hati Lusi pun luluh.

“ Orang itu adalah sosok public figure di Batam. Kemudian saya berpikir orang besar seperti dia menganggumin saya? Padahal saya sangat kagum dengan dia. Saya berkata dalam hati jadi saya masih memiliki tempat di dunia ini,” ujar wanita yang memiliki banyak prestasi ini.

1 dari 2 halaman

Sempat Goyah

Sempat Goyah

Tak hanya ingin bunuh diri. Iman Lusi juga goyah. Dia sempat berpikir untuk kembali ke agama yang dulu pernah dia peluk, sebelum masuk Islam. Rasa ingin kembali ke agama lama itu membuncah. “ Saya saat itu jadi benci Islam, saya berkata Allah kenapa begini. Jika memang saya harus kembali ke agama sebelumnya tunjukan, dan bila memang saya harus bertahan di agama-Mu buktikan,” kata Lusi lirih.

Namun dia berusaha diam, tak bercerita kepada keluarganya. Sebab, sejak kecil dia sudah diajari untuk menjalani risiko dari setiap keputusan yang diambil. “ Masuk Islam itu keputusan saya, maka harus jalani risikonya. Saya tidak cerita dengan keluarga,” ujar dia.

“ Tetapi tak lama setelah itu Allah membuktikan kalau saya memang harus bertahan di islam,” tambah Lusi. Ya, setelah masa putus asa itu, jalan hidupnya kembali dipermudah. Sebab, dia berkesempatan menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Sebagaimana keinginan terbesar yang selama ini dia simpan.

“ Allah seperti langsung mengabulkan doaku. Aku emamng ingin sekali bersekolah di sana, akhirnya bisa merasakan ini. Seperti ditunjukan kalau Allah itu memang ada,” tutur Lusi.

Sejak itu, Lusi kembali menjalani hari-hari yang indah. Kehidupan negeri dongeng yang pernah dia alami saat awal memulai Islam didapat kembali. “ Saat di Amerika saya diperlakukan seperti putri. Kehidupan negeri dongeng pun kembali, uang saku ada dan saya jalan ke 13 kota di sana,” kata dia.

“ Saya banyak bertemu orang islam di Amerika. Saya semakin diperkenalkan islam memang indah, Ya Allah saya nangis waktu itu karena pernah marah,” tambah Lusi sambil sesekali menyeka air mata.

Setelah kembali ke Indonesia, Lusi semakin tegar. Dia bangkit dari keterpurukan. Kegiatan sosial pun mengisi hari-harinya. “ Salah satu cara saya bersyukur, tidak peduli apa yang saya lakukan tidak mendapatkan bayaran, yang penting saya bisa berguna untuk banyak orang,” ujar dia.

2 dari 2 halaman

Pengalaman Spiritual di Depan Kabah

Pengalaman Spiritual

Pada tahun 2012, tanpa disangka, Lusi terpilih menjadi salah satu murid di Moeslem Exchange Program di Australia, mengalahkan ratusan orang dari berbagai dunia. Dengan rezeki itu, dia merasa Allah memintanya lebih dekat kepada Islam.

Saya kaget ketika mendapat email tentang ini, saya pikir ini ngeledek atau bagaimana. Karena yang masuk ke sana itu kebanyakan dari pesantren atau yang memang Islamnya sangat kuat. Saya pun berdiskusi, lalu karena penasaran akhirnya ikut,” tutur Lusi.

Saat di Astralia, Lusi bertemu banyak imam besar. " Mereka sempat heran ketika melihat saya dari Indonesia tetapi kok tidak pakai hijab. Kemudian saya cerita kalau saya mualaf dan sempat benci Islam. Saya curhat waktu itu,” tutur Lusi sambil mengerenyitkan dahi.

Dan jawaban imam besar tersebut membuat Lusi terperangah. Mulanya dia menyangka imam besar itu akan marah dengan ceritanya. Namun sebaliknya. “ Biasanya kalau di Indonesia saya bicara yang beda pendapat soal Islam, mereka marah. Tetapi kalau di luar negeri, bicara dengan imam besar, mereka sangat menghargai,” kata dia.

“ Saya terkejut ketika justru mereka semakin memperlakukan saya sebagai putri dan menunjukan kalau Islam itu indah. lagi-lagi Allah bicara,” katanya.

Sehingga dia merasa lebih nyaman belajar Islam di luar Indonesia. “ Saya melihat keindahan keluarga islam itu di Amerika, begitu indah Happily Ever After, di Australia juga melihat islam memang indah. Dan saya lagi-lagi bersyukur dan makin mantap untuk memeluk dan mencintai Allah,” ungkap dia.

Sebagai tanda syukur, Lusi pun memutuskan untuk berangkat umrah. Dan keinginan tersebut tidak ditempuh dengan mudah. “ Sempat masalah di visa, waktu itu saya nangis dan berkata ya Allah kenapa mau ke tempatmu sulit sekali. Saya kalau ke luar negeri sapertinya mudah,” tuturnya.

“ Visa sudah jadi, namun saya tidak memiliki uang. Duh kayanya kok ada aja cobaannya. Tetapi saat itu juga tanpa disangka rezeki langsung datang. Ya Allah mungkin ini memang sudah panggilanmu, akhirnya jadi berangkat,” tambah dia.

Pengalaman spiritual pun dialami Lusi saat berada di Tanah Suci. “ Saat ingin mencium kabah kan dorong-dorongan tuh, saya berpikir ya Allah masa mau cium kabah harus saling menyakiti dorong-dorong begini. Saya pun tidak maju lebih memberikan jalan kepada orang lain. Namun ternyata ada orang Arab yang tiba-tiba seperti melempar saya hingga sampai ke depan Kabah persis, saat mau bilang thank you, dia hilang,” ujar dia.

Saat mencium Hajar Aswad, tangis Lusi pun pecah. “ Saya mencium dan menangis sejadi-jadinya. Saya ingat dosa saya begitu banyak, terlebih sempat marah kepadaNya. Saya mohon ampun, dan meminta untuk kelancaran hidup dan rezeki dan diberikan kesehatan agar bisa terus bermanfaat untuk orang sekitar,” ujar Lusi dengan penuh haru.

Beri Komentar