Masjid Al Alam Marunda, Situs Perpaduan Empat Budaya

Reporter : Maulana Kautsar
Jumat, 10 Juli 2015 13:00
Masjid Al Alam Marunda, Situs Perpaduan Empat Budaya
Masjid ini terletak di pesisir pantai utara Jakarta. Berdiri sejak masa kolonial, masjid ini menjadi saksi sejarah perjuangan Fatahillah dalam merebut Batavia.

Dream - Rawa-rawa dan pepohonan bakau menjadi pembuka jalan untuk menuju ke sebuah masjid di tepi pantai Marunda ini. Menuju sebuah belokan kecil, jalanan yang tadinya beraspal berganti dengan jalan berbatu berwarna merah bata. Terkadang bau busuk tercium di hidung. Di samping kanan-kirinya tertutupi seng yang sebagian telah berkarat.

Usaha untuk menempuh rintangan kecil itu segera terbayar sesampai di area masjid. Sebuah gapura kecil bertuliskan Masjid Al Alam Marunda seolah menjadi gerbang pembuka masuk ke halaman berpaving blok. Sejuknya hembusan angin pantai menghapus terik di kawasan Jakarta Utara ini. Sesampainya di sana, terlihat taman kecil yang ditumbuhi beberapa tanaman dan dua bangunan berbentuk joglo.

Di taman itu ada sebuah penanda penting. Penanda itu bertuliskan, 'Benda Cagar Budaya'. Sayang tulisan di monumen putih bertinggi sedengkul orang dewasa itu mulai kabur.

Bangunan joglo pertama merupakan masjid. Terletak di sebelah barat. Bangunan berbentuk joglo yang terletak di sebelah timur masjid adalah pendopo. Arsitektur pendopo itu kental memadukan dua unsur budaya Betawi dan Jawa. Ciri khas arsitektur budaya Betawi terlihat pada atap yang menjulai dan ruang terbuka yang dibatasi oleh pagar di tengah-tengahnya.

Adapun arsitektur budaya Jawa terlihat pada penggunaan empat tiang di tengah-tengah pendopo. Dalam budaya Jawa, empat tiang di tengah-tengah itu biasanya disebut sebagai 'soko guru' atau tiang utama penyangga. Di pojok pendopo, tepatnya sebelah timur laut terdapat bedug. Alat ini masih sering dipukul menjelang waktu datangnya azan.

Biasanya akan ditemukan peziarah atau jemaah yang berkunjung beristirahat di pendopo ini. Beberapa di antaranya melepas lelah dengan merebahkan tubuh. Ada yang setengah tersadar dan ada pula yang pulas tertidur.

Hingga akhirnya datanglah Kusnadi. Pria berkumis lebat itu disapa oleh kawannya sesama pengurus masjid.

" Tiga lebih lima belas yak?" tanya seorang pengurus mushola.

" Enggak. Tujuh belas," balas Kusnadi.

Seusai mengambil wudhu, Kusnadi yang sore itu menggunakan peci hitam dan bersarung warna biru tua melihat arloji. Dia kemudian menuju ke bedug. Kemudian dipukullah kentongan dan diikuti tabuhan bedug.

Thok trotok tok tok tok, dug dug!” demikian bunyi yang tercipta dari perpaduan kentongan dan bedug.

Seketika orang-orang yang berada di pendopo itu terbangun. Suara azan pun kemudian mengumandang di udara. Orang-orang itu mengambil wudhu dan menuju ke bangunan utama masjid.

Menjejaki ruangan utama masjid terlihat gaya arsitektur yang unik. Menurut Kusnadi ada setidaknya empat kebudayaan yang melebur dalam arsitektur Masjid Al Alam ini.

" Ada kebudayaan Jawa, Betawi, Tiongkok, dan Arab," jelasnya.

Di bagian dalam bangunan utama Masjid Al Alam Marunda, terdapat empat tiang berwarna putih. Empat tiang itu bertinggi tak lebih dari 3 meter. Tiang itu memiliki corak khas kebudayaan Tiongkok.

Atap di bagian tengah masjid terdiri dari kayu berwarna cokelat. Sisanya, atapnya telah terganti dengan cor semen. Jarak antara lantai dengan atap itu tak lebih dari tiga meter. Terlihat agak sempit memang.

Di bagian tempat kiblat, terdapat dua ruang kecil yang satu berfungsi sebagai tempat imam dan yang lain sebagai mikrab. Seperti halnya masjid dengan corak budaya Jawa, di dalam ruang terdapat mikrab, mimbar berbentuk anak tangga. Di sanalah biasanya khatib duduk dan berdakwah.

Di sekeliling tembok masjid ini terdapat jendela berteralis kayu bergaya Betawi. Jendela ini sangat membantu cahaya matahari masuk dan menjadi penerangan masjid. Tak hanya itu, jendela itu juga terkadang membawa aroma Pantai Marunda ke dalam ruangan masjid.

Memang, masjid itu terletak tidak jauh dari Pantai Marunda. Sebuah obyek wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan di akhir pekan.

" Di hari libur, halaman masjid jadi tempat parkir orang yang berlibur," kata


Mitos Fatahillah

Menurut penuturan Kusnadi, bangunan Masjid Al Amin ini dibangun di abad ke-16 oleh para penyebar agama Islam di tanah Jawa. Kawasan tempat masjid itu berdiri awalnya merupakan tempat istirahat Pangeran Fatahilah bersama pasukan untuk menyerang Batavia.

" Mereka melakukan kegiatan ronda (meronda). Inilah asal istilah dari Merunda," jelasnya.

Tapi dia tidak tahu tahu persisnya. Konon menurut cerita yang berkembang pembangunan masjid ini hanya semalam saja. Kusnadi punya, penjelasan mengenai hal itu.

" Kakek-nenek kita dulu suka mengatakan, 'sore gue lihat kagak ada, eh pagi-pagi udah ada'. Maksudnya, ya dari kita lahir masjid itu sudah ada," kata dia.

Tetapi, dia pun tidak ingin membenarkannya. " Wallahualam bi showab," tambahnya dengan tersenyum.

Masjid itu, dalam versi sejarah yang lain, sering dikaitkan dengan legenda masyarakat lokal, yaitu Si Pitung. Pasalnya, tak jauh dari Masjid Al Alam Merunda terdapat kawasan wisata Rumah Si Pitung. Ketika ditanyakan mengenai hal itu dia hanya bisa menjawab dengan perkiraan.

" Masjid ini usianya sangat tua. Ya, bisa saja Si Pitung pernah singgah di sini," katanya.

Keunikan sejarah masjid itu tidak hanya berhenti di situ. Di masjid itu ada makam seorang sufi terkenal abad ke-18 bernama Kyai Haji Jamian Abdullah. Menurut cerita yang didapat Kusnadi dari pendahulunya, Kyai Jamian adalah salah satu korban selamat tsunami akibat letusan Gunung Krakatau.

" Kata kakek-nenek saya dahulu, beliau mengajak warga dan berdoa memohon keselamatan," ucapnya.

Sayang, sosok Kyai Jamian itu tak ada lagi. Kini warga dan jemaah yang hadir di masjid itu kian menyusut. Hanya waktu-waktu tertentu jemaah membudlak. Kusnadi dengan wajah sedih, khawatir terhadap masa depan masjid dan penerusnya.

Meski sejarah latar belakang masjid begitu kuat Kusnadi menyimpan kekhawatiran. Pasalnya dia merasa ada kemunduran warga sekitar dalam beribadah. Terlebih anak mudanya.

Beri Komentar