Komet C/2020 F3 (Foto: Lapan.go.id)
Dream - Bagi Sahabat Dream penyuka antariksa, ada kabar gembira. Beberapa hari lagi, komet C/2020 F3 (NEOWISE) akan melintasi Indonesia. Diperkirakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) komet bisa dilihat mulai 19 hingga 25 Juli 2020 setelah matahari terbenam.
Ingin langsung melihatnya? Waktu terbaik untuk mengamati komet C/2020 F3 yaitu pada 23 Juli 2020. Komet akan mulai sulit dilihat pada 26 Juli 2020. Dikutip dari Lapan.go.id, meskipun akan terlihat secara kasat mata, komet akan semakin sulit dilihat di daerah yang memiliki polusi cahaya tinggi.
Supaya lebih jelas dalam mengamati fenomena antariksa ini akan lebih baik jika menggunakan alat bantu pengamatan seperti kamera digital dengan kepekaan cahaya yang tinggi, binokular, dan teleskop. Dan tentunya tidak ada objek yang menghalangi horizon di arah barat laut.
Fenomena antariksa ini cukup langka karena setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh dan mencapai titik terdekatnya dengan Bumi pada 23 Juli 2020. Butuh 6.800 tahun lagi untuk komet NEOWISE bisa bertemu kembali mendekati orbit Bumi.
Dalam Instagram Lapan, terdapat jadwal komet melintas di berbagai daerah di Indonesia. Jangan sampai ketinggalan, Sahabat Dream.
Dream - Komet adalah fenomena langit yang sangat menarik. Meski jarang muncul, tetapi jika sudah terlihat, komet akan terlihat menakjubkan.
Salah satu penampakan komet yang indah pernah direkam oleh pesawat ruang angkasa NASA pada tahun 2002. Sayang, saat itu ilmuwan NASA tidak memiliki data yang lengkap mengenai komet itu.
Kini, komet yang sama kembali ditemukan setelah 18 tahun terabaikan. Komet ini memiliki ekor yang panjangnya lebih dari satu miliar kilometer.
Catatan tersebut telah memecahkan rekor sebagai ekor komet paling panjang yang pernah dilihat dalam 18 tahun terakhir.
Jika diukur, panjang ekor komet tersebut sekitar 7,5 kali jarak antara Planet Bumi dan Matahari yang jauhnya hampir 1 miliar km.
Komet itu bernama 153P / Ikeya-Zhang. Ekor komentar sebenarnya dua kali lipat panjang dari pemegang rekor sebelumnya bernama komet Hyakutake.
Untuk menemukan kembali komet Ikeya-Zhang, NASA harus melihat data 18 tahun yang lalu. Data itu direkam saat pesawat ruang angkasa Cassini berjalan melewati orbit Jupiter dan Saturnus. Saat itu, pesawat Cassini tiba-tiba mendeteksi lonjakan proton dalam jumlah besar
Sebagai informasi, ketika sebuah komet yang mengorbit bersentuhan dengan Matahari, akan memunculkan ekornya.
Ekor komet terbagi dalam dua jenis. Ekor debu sejauh ini yang paling umum terjadi. Ekor debu terjadi ketika radiasi Matahari melelehkan komet hingga ke dalam. Akibatnya gas dan debu yang terperangkap keluar.
Jenis yang kedua adalah ekor ion ketika inti komet terionisasi karena radiasi Matahari. Ilmuwan NASA yakin ekor komet Ikeya-Zhang termasuk jenis ekor ion.
Proton yang dilepaskan dari gas hidrogen selama ionisasi ini tersapu oleh badai matahari ke arah pesawat ruang angkasa Cassini.
Sumber: India Times
Dream - Di kisah-kisah romantis bintang jatuh selalu dikaitkan dengan harapan-harapan indah. Tapi fenomena langit ini juga pengingat bahwa Bumi tidak sendirian di ruang angkasa. Beberapa benda kosmik justru bisa membahayakan kelangsungan Planet Bumi.
Hujan meteor Perseid, yang muncul setiap tahun pada pertengahan Agustus, terjadi ketika Bumi melewati jejak puing yang ditinggalkan oleh Komet Swift-Tuttle.
Pada tahun 1973, berdasarkan perhitungan tentang pengamatan orbit komet secara terbatas, astronom Brian Marsden di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics meramalkan, komet Swift-Tuttle bisa bertabrakan dengan Bumi pada 2126.
Prediksi bencana itu kemudian ditarik kembali dari publik. Terlepas dari masalah itu, sebagian orang masih penasaran dengan apa yang akan terjadi jika Komet Swift-Tuttle membentur planet kita.
" Kita harus meluruskan bahwa itu tidak akan terjadi," kata Donald Yeomans, seorang ilmuwan riset senior di NASA dan penulis 'Near-Earth Objects: Finding Them Before They Find Us', kepada Live Science.
Ketika Swift-Tuttle terakhir terlihat pada tahun 1992, Yeomans adalah salah satu di antara ilmuwan yang memproduksi model gerak komet versi revisi. Dia membuat perhitungan yang rumit untuk memperhitungkan efek gravitasi matahari dan planet-planet di orbit Komet Swift-Tuttle ini.
Penampakan tahun 1992, bersama dengan data dari tahun 1862 dan 1737, memberikan Yeomans informasi yang cukup untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tabrakan pada tahun 2126. Meski begitu, Komet Swift-Tuttle bukan lah batu luar angkasa biasa.
Komet Swift-Tuttle adalah 'salah satu objek angkasa terbesar' yang jalurnya dilewati Bumi, kata Yeomans.
Ukuran diameter objek kosmis tersebut sekitar 16 mil (26 kilometer), dan ketika melintas dekat dengan Bumi, kira-kira setiap 130 tahun, meluncur melalui ruang dengan kecepatan sekitar 36 mil per detik (58 km per detik), atau lebih dari 150 kali kecepatan suara.
Jika komet itu menabrak Bumi, dampak energinya sekitar 300 kali dari tabrakan asteroid yang diperkirakan telah menyebabkan kepunahan Era Cretaceous-Tertiary yang membunuh dinosaurus sekitar 65 juta tahun yang lalu, menurut Yeomans. " Ini akan menjadi hari yang sangat buruk bagi Bumi," katanya.
Tapi ukuran sebuah komet atau asteroid bukan satu-satunya hal yang perlu dipertimbangkan, kata Gerta Keller, seorang geoscientist di Princeton University.
Sebuah hantaman komet di darat maupun di laut dangkal akan 'lebih destruktif' secara regional. " Tetapi kerusakan nyata dan global kemungkinan akan berasal dari gas yang masuk ke stratosfer, bagian dari atmosfer Bumi di mana lapisan ozon berada," kata Keller Live Science.
" Sulfur dioksida awalnya akan menyebabkan pendinginan, dan kemudian karbon dioksida akan mengakibatkan pemanasan jangka panjang," tambahnya.
Peristiwa tabrakan seperti ini kemungkinan akan menyebabkan iklim planet berubah secara drastis, yang mengarah ke kepunahan massal di seluruh dunia.
Tapi Keller juga menunjukkan bahwa sebagian besar permukaan Bumi ditutupi lautan. Dampak di laut dalam bisa memicu gempa bumi dan tsunami, namun berdasarkan apa yang para ilmuwan ketahui tentang efek dari letusan gunung berapi bawah laut, efek atmosfer kemungkinan akan diminimalisir oleh laut, katanya.
Dalam hal ini, Keller mengatakan bahwa tidak mungkin komet yang bertabrakan dengan Bumi akan menyebabkan kepunahan massal.
Para ilmuwan menghitung bahwa jarak terdekat berikutnya dari Komet Swift-Tuttle ke Bumi akan terjadi pada 5 Agustus 2126. Saat itu, Swift-Tuttle akan melintas sekitar 14 juta mil, atau 23 juta km, atau sekitar 60 kali jarak dari Bumi ke Bulan, kata Yeomans.
(Ism, Sumber: livescience.com)
Advertisement
4 Komunitas Animasi di Indonesia, Berkarya Bareng Yuk!
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Selamatkan Kucing Uya Kuya Saat Aksi Penjarahan, Sherina Dipanggil Polisi
Rekam Jejak Profesional dan Birokrasi Purbaya Yudhi Sadewa, Menkeu Pengganti Sri Mulyani Indrawati