Dimas Prasetyo, Smash Maut Penyandang Grahita

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 28 Juli 2016 22:30
Dimas Prasetyo, Smash Maut Penyandang Grahita
Jangan remehkan semangatnya. Difabel bukan penghalang. Dia membuktikannya. Inilah kisah Dimas Prasetyo

Dream - Remaja itu berdiri dengan gagah. Jaket dan celana training membalut tubuhnya. Semua berwarna merah. Di lengan tersemat warna merah putih, tanda bendera Indonesia.

Sorot matanya tajam menatap ke depan. Di hadapannya, Sang Saka Merah Putih bergerak pelan ke atas. Indonesia Raya mengalun mengiringi. Berkibar di langit Los Angeles, Amerika Serikat.

Di leher pemuda itu tersemat pita selempang. Sebaris tulisan tersemar di logam berwarna emas itu. Isinya, Special Olympics World Summer Games 2015, Los Angeles. Tidak hanya satu, tapi tiga medali sekaligus.

Remaja itu adalah Dimas Prasetyo. Semua terlihat normal. Tapi tengok lebih dalam. Dimas tak seperti remaja lain. Dia penyandang difabel. Terlahir sebagai manusia tunagrahita.

Tapi jangan remehkan prestasinya. Dimas membawa pulang tiga medali emas dalam Special Olympics World Summer Games 2015 di cabang bulutangkis, pertengahan tahun lalu.

Dia berhasil mengalahkan lawan-lawannya dari negara lain dalam babak tunggal putra, ganda putra dan ganda campuran.

Prestasi itu membuat publik takjub. Kerja kerasnya diakui tidak hanya diakui oleh masyarakat dalam negeri. Dunia pun bangga pada Dimas, pantang menyerah meski serba terbatas.

***

 

1 dari 2 halaman

Di Tepi Got Dia Terjatuh

Di Tepi Got Dia Terjatuh © Dream

Dream - Di bangku sekolah dasar, Dimas mulai tertarik dengan olahraga andalan Indonesia. dia. Semua bermula dari kebiasaan Dimas yang kerap melakukan aksi berbahaya. Meski punya keterbatasan, Dimas kecil sangat aktif.

Dengarlah pengakuan sang ibu. Dimas kecil memaksa bersepeda. Sampai tiba di tepi got, dia terjatuh. Meski sering celaka, Dimas tidak pernah berhenti. Paling parah, dia pernah mencoba naik sepeda menyusuri perosotan.

Tak heran Dimas kecil kerap pulang dengan lecet di sekujur tubuh. Bukan lagi karena bersepeda. Kali ini akibat keasyikan bermain sepakbola.

Lama-kelamaan, orang tua cemas. Dimas sangat aktif. Keduanya melihat Dimas harus diarahkan ke arah yang tepat. Membawa si buah hati menghabiskan tenaga di klub bulutangkis.

Tibalak dimas di dunia. Baru Belajar dasar-dasar olahraga bulutangkis hingga mahir. Lambat laun, Dimas mulai jatuh cinta pada olahraga itu. Tak pernah berhenti bermain.

Kesukaan itu tertanam dalam diri Dimas hingga duduk di bangku kelas XI Sekolah Luar Biasa Negeri Pembina, Yogyakarta.

Tanpa disangka, kecintaan itu justru menjadi jalan bagi Dimas untuk mengukir prestasi. Dia kerap meraih juara dalam sejumlah perlombaan bulutangkis nasional. Sementara SOWSG 2015 adalah capaian tertinggi yang mampu diraihnya.

***

 

2 dari 2 halaman

Senar 3 Raket Putus

Senar 3 Raket Putus © Dream

Dream - Jalan Dimas ke kancah dunia tak selempang yang dikira. Apalagi untuk lolos ke ajang olahraga bergengsi untuk para difabel seluruh dunia. Satu per satu, atlet muda harus ditaklukan. Di sejumlah kejuaraan, dia memeras tenaga. Skill diadu si ajang itu.

Entah sudah tak terhitung berapa kejuaraan yang pernah diikuti.

Keberhasilan meraih juara di sejumlah ajang bulutangkis membuat Dimas dilirik. Pengelola Pelatnas Bulu Tangkis melihat kelihaian Dimas mengolah raket. Perjalanan baru sedang diretas Dimas.

Selama beberapa bulan, Dimas harus menjalani sesi latihan. Bersabar meski peluh keringat harus mengucur. Melatih kelenturan tangan sampai ahli memainkan kok. Itu dijalaninya demi terbang ke AS.

“ Untuk lomba internasional saya baru kali ini ikut dan menang. Kalau skala nasional sudah beberapa kali saya menang karena saya sudah mulai ikut lomba sejak 2010 lalu,” kata Dimas.

Perjuangan terberat harus dilalui saat Dimas harus mengikuti SOWSG 2015. Bertemu lawan berat dari India. Jika bermain dengan lawan lain, Dimas bisa menyudahi dengan dua set. Kali ini harus bermain sampai tiga set. Senar raketnya pun tiga kali putus.

Meski begitu, Dimas tidak menyerah. Dia terus meladeni permainan atlet India itu. Energinya banyak terkuras. Tetapi perjuangan itu berbuah manis.

“ Yang paling diingat adalah saat diumumkan kalau saya juara, waktu saya naik podium dan bendera dikibarkan. Rasanya senang sekali,” ucap Dimas.

Dimas mengaku kebanggaannya berlipat saat meraih kemenangan itu. Sebabnya, medali emas tersebut tergantung di lehernya pada tanggal 29 Juli 2015. Di tanggal itu, Dimas genap berusia 19 tahun.

“ Benar-benar menjadi kado terindah untuk saya,” tutur Dimas.

Apa yang diraih Dimas merupakan bukti, prestasi tidak hanya bisa disumbang oleh mereka yang terlahir normal. Para difabel justru mampu membuat Indonesia tersenyum bangga.

Beri Komentar