(Foto: Www.straitstimes.com)
Dream - Gema takbir terus bersahutan tiada putus di langit Malaysia. Hari masih remang tanah, umat muslim mulai persiapkan diri. Bersemangat menuju masjid.
Sebagian lagi sibuk datangi rumah-rumah kaum miskin. Menunaikan kewajiban, memberikan bungkusan bahan makanan yang disebut zakat fitrah.
Hari itu memang sangat dinantikan umat muslim sejagat. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersedih. Perjuangan menahan lapar, haus serta nafsu terbayar sudah. Mereka merayakan hari penuh kemenangan, Idul Fitri.
Wajah Nurul Amin Nobi Hussein, 25 tahun, juga terlihat sumeringah. Senyum terus merekah dari bibir Hussein. Kali ini ia benar-benar merasakan indahnya Idul Fitri, tanpa tekanan dan ancaman.
Hussein bergabung dengan muslim lainnya menjalankan sholat Ied, ritual ibadah yang selalu dikerjakan setaip muslim dunia pagi hari di tanggal 1 Syawal.
Hussein sholat sangat khusyuk dan khidmat. Lebaran kali itu menjadi momen berbeda baginya dibanding tahun-tahun sebelumnya.
" Saya sangat senang bisa berpuasa dan merayakan Idul Fitri di Malaysia tanpa harus merasa khawatir. Di Myanmar, muslim yang berkumpul pagi hari untuk sholat Ied akan ditangkap tentara," kata Hussein bercerita.
Hussein adalah salah satu dari sekian banyak muslim Rohingya yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya. Myanmar tidak ramah dengan muslim Rohingya dan memperlakukan mereka secara sewenang-wenang.
Seketika, wajah cerah Hussein berubah lesu. Matanya nanar menatap ke depan. Sesaat kemudian, air matanya tumpah. Dia langsung menyeka, agar tak menetes.
Hari itu dia baru saja menghubungi orangtuanya yang masih tinggal Maungdaw, Myanmar. Apa yang dialami ayah dan ibunya membuat dia pilu.
" Saya menghubungi orangtua saya di Maungdaw, Myanmar. Mereka tidak merayakan Idul Fitri, seperti hari-hari lainnya, hanya diam di rumah," kata Hussein lirih.
" Mereka akan dipenjara jika merayakan Idul Fitri. Tentara tidak ingin kami bergerak bebas," kata dia melanjutkan.
Hussein mengatakan militer Myanmar begitu keras dan ketat dalam memperlakukan muslim Rohingya. Hanya untuk berkunjung ke keluarga di kampung sebelah saja, mereka harus meminta izin terlebih dulu kepada militer. Alhasil, banyak di antara mereka memilih tidak merayakan Idul Fitri.
****
Lebaran identik dengan kegembiraan, baju baru, makanan berlimpah, serta obrolan hangat. Sebagian Muslim menghabiskan waktu lebaran mereka dengan bersilaturahim, mengunjungi sanak kerabat dan tetangga. Ini sudah jadi tradisi bagi umat muslim di kawasan Asia Tenggara, termasuk Myanmar.
Maungdaw dan Arakan merupakan dua daerah yang didiami oleh Muslim. Mereka berasal dari satu etnis, Rohingya. Di dua daerah ini, etnis Rohingya dengan leluasa menjalankan aktivitas keagamaannya, termasuk merayakan Idul Fitri.
Kegembiraan itu tidak lagi dapat dijumpai. Beberapa tahun belakangan, tekanan terhadap muslim Rohingya meningkat, menyusul adanya konflik saudara yang lebih dilatarbelakangi persoalan agama.
Sholat maupun ibadah muslim lainnya telah berubah menjadi isu politik. Tidak sedikit para muslim di sana meregang nyawa akibat konflik dengan sesama rakyat Myanmar.
Situasi yang tidak mendukung itu memaksa sebagian muslim Rohingya berusaha keluar dari ketertindasan. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari lingkungan baru. Lebih kondusif bagi mereka.
Pemerintah Myanmar tidak mau mengakui maupun menggunakan sebutan 'Rohingya'. Mereka lebih memilih istilah lain untuk menyebut muslim di kawasan Maungdaw dan Arakan dengan 'Bengali'. Istilah ini merujuk pada asal muasal Islam masuk ke Myanmar, yang diklaim berasal dari Bangladesh. Dengan klaim itu, Pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warganya.
Jahedul Islam merasakan betul bagaimana rasanya terasing di negara sendiri. Ia bersama Hussein akhirnya memilih kabur dan menyelundup ke negara lain.
" Saya berduka dan merasa bersalah saat membayangkan teman-teman menderita bahkan mati di tangan para tentara. Saya juga merasa sedih keluarga dan kerabat saya masih hidup di bawah penindasan militer Myanmar,” ujar Islam.
***
Hussein dan Islam mungkin cukup beruntung. Mereka bisa merayakan Idul Fitri dengan nyaman. Tidak hanya itu, setidaknya mereka bisa membeli baju baru untuk istri dan anak-anaknya.
Hal berbeda dialami oleh Seno Ara, 27 tahun, yang tinggal di kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh. Kegembiraan Idul Fitri sama sekali tidak dia rasakan. Baginya, 1 Syawal tidak banyak berbeda dengan hari biasa.
" Kami tidak memiliki Idul Fitri, atau kesenangan. Kami tidak memiliki uang untuk membeli baju," kata Ara.
Ara tinggal di sebuah gubuk kecil terbuat dari batang bambu di pengungsian tersebut. Gubuk itu hanya memiliki satu pintu setinggi lima kaki dan selebar dua kaki, tanpa jendela. Tidak ada listrik yang menerangi gubuk itu.
Saban hari, Ara menghabiskan waktu menjahit pakaian untuk para pengungsi. Itu sudah jadi kebiasaan bagi sebagian besar wanita penghuni kamp pengungsian Kutupalong. Ara bersama warga Rohingya lainnya telah menempati kamp pengungsi tidak resmi itu selama enam tahun.
Mereka terpaksa tinggal di sana lantaran kamp resmi yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah penuh.
Tidak ada satupun bekal yang bisa dibawa Ara saat pergi mengungsi. Bukan lantaran tak sempat, semua hartanya ludes dirampas militer Myanmar. Kekerasan demi kekerasan kerap ia alami di tanah kelahirannya, Mondu.
" Semua aset kami dibawa paksa oleh preman yang disponsori negara," ucap Ara kesal.
" Tidak ada perdamaian. Setiap hari kami dipaksa bekerja, menggarap lahan mereka, tapi tidak pernah mendapat imbalan," lanjut dia.
Untuk bisa bertahan hidup di kamp pengungsian, Ara bekerja keras mengumpulkan sejumlah uang yang tersisa. Dari situ ia membeli mesin jahit manual.
Dengan upah menjahit itu, Ara bertahan hidup dan memberi makan kedua anaknya. Sementara suaminya menderita sakit jiwa lantaran tidak kuat menghadapi tekanan hidup.
Hussein, Islam dan Ara adalah sebagian dari muslim Rohingya yang terpaksa hidup sebagai pengungsi di negeri orang.
Situasi membuat mereka harus meninggalkan tanah kelahirannya demi mempertahankan hidup dan iman Islam yang telah mereka pegang sejak kecil.
Kisah mereka akan terus menjadi pelajaran bagi muslim yang beruntung agar selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima. Selamat Idul Fitri.... Minal 'Aidin wal-Faizin.
Advertisement
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation