Kode Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dream - Ramai di media sosial baik Facebook, Instagram, dan Twitter, video soal kode tangan buka tutup. Dari video tersebut terdapat informasi, jika seorang anak melipat jempol ke dalam dan membuka tutup empat jarinya, pertanda ia dalam bahaya.
Bisa jadi ia merupakan korban kekerasan dan segera minta pertolongan. Contohnya seperti yang diunggah oleh akun Twitter @Rudy_Erka. Ia menulis " Kode Buka Tutup Telapak Tangan adalah kode global permintaan tolong dari Anak²*_ Isyarat ini diterima secara internasional artinya " tolong saya" . Sayangnya banyak org belum mengetahuinya.
Lihat tangan si anak memberi kode minta tolong ... telapak tangan menutup & membuka" .
Kode Buka Tutup Telapak Tangan adalah kode global permintaan tolong dari Anak²*_ Isyarat ini diterima secara internasional artinya " tolong saya" . Sayangnya banyak org belum mengetahuinya.
Lihat tangan si anak memberi kode minta tolong ... telapak tangan menutup & membuka pic.twitter.com/uiTNzY8zM3— ???????????????? ???????? (@Rudy_Erka)May 15, 2021
Sebenarnya, kode tangan buka tutup bukan hanya kode kekerasan pada anak. Gerakan tangan ini digaungkan di awal pandemi Covid-19 oleh Women's Funding Network and the Canadian Women's Foundation.
Kode tersebut dijadikan isyarat global untuk para perempuan yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan terjebak di dalam rumah karena isolasi mandiri. Dikutip dari news.sky.com, untuk membuat kode tersebut cukup lipat jempol ke dalam dan tutup dengan empat jari.
Lakukan berulang sampai orang menyadarinya tapi gerakan ini seperti gerakan yang normal. Awal diluncurkan di Kanada kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan seluruh dunia. Jadi, kode ini bukan hanya kode untuk anak-anak saja, tapi juga perempuan.
Bila melihat ada perempuan anak anak yang melakukan gerakan ini, berikan bantuan sebisa mungkin. Bisa juga langsung lapor ke pihak berwajib.
Dream - Pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri buat seluruh orang di dunia tak hanya di Indonesia. Sejak awal pandemi, Indonesia telah menjalankan 3B " Belajar dari rumah, Bekerja dari rumah, dan Beribadah dari rumah" .
Di bidang pendidikan sendiri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah memberlakukan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau belajar dari rumah bagi seluruh peserta didik.
Kemdikbud juga telah membatalkan Ujian Nasional (UN) dan memberlakukan pembelajaran menggunakan media digital.
Menurut Dr Yulina Eva Riany, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema), pemberlakuan PJJ ini membuat seluruh anggota keluarga baik orang tua maupun anak mengalami hari-hari yang panjang di rumah.
Perubahan yang terjadi pada rutinitas sehari-hari ini tidak jarang menyebabkan keluarga mengalami konflik antar anggota keluarganya akibat timbulnya rasa bosan, jenuh, dan penat yang dialami.
“ Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah," jelas Dr. Yulina, dalam keterangannya pada Selasa, 13 Oktober 2020.
" Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit hutang, rendahnya kemampuan ekonomi, dan lain-lain) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua," jelasnya.
Dr Yulia menambahkan bahwa perubahan pada kondisi finansial keluarga akibat adanya Covid-19 (kesulitan mengakses kebutuhan pokok), diyakini akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga yang dapat berdampak fatal bagi kondisi keluarga.
Biasanya anak yang menjadi korban dari ledakan emosi orang tua, karena anak menjadi sasaran terdekat dengan orang tua sekaligus akan minim kemungkinan anak akan melakukan perlawanan terhadap orang tuanya.
Hal ini menyebabkan ekspresi amarah berlebih sebagai solusi masalah sering terjadi dari orang tua kepada anaknya.
Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di NTB meningkat sebanyak 12 persen selama pandemi.
Sementara itu, data yang dihimpun dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban.
“ Informasi yang beredar bahkan menyebutkan bahwa mayoritas anak-anak tersebut mengalami kekerasan akibat kejengkelan orang tua mereka dalam mendampingi belajar online di rumah," tambah Dr. Yulina.
" Keterbatasan ekonomi yang mereka alami di saat pandemi menuntut mereka harus meluangkan biaya khusus demi pembelajaran online anak-anak mereka, sehingga tidak mengherankan ketika orang tua sangat emosi ketika mereka menilai bahwa anak-anak mereka tidak mampu menguasai proses PJJ di rumah," katanya lagi.
Dengan demikian, diperkirakan banyak anak-anak yang mengalami kasus kekerasan serupa di rumah selama proses PJJ akibat pandemi Covid-19 ini.
Melihat dari data tersebut, terlihat bahwa kekerasan anak di beberapa daerah di Indonesia mengalami peningkatan tajam karena pandemi Covid-19.
Dengan beragam faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, tidak heran orang tua menjadi emosi.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN