Pesantren Reyot Pencetak Ahli Kitab Kuning

Reporter : Maulana Kautsar
Jumat, 15 September 2017 12:02
Pesantren Reyot Pencetak Ahli Kitab Kuning
Di gubuk mungil ini santri diajarkan semangat 'man jadda wajada'

Dream - Rumah itu berdinding anyaman bambu dan kayu. Atapnya genting. Spanduk iklan rokok menutup lubang atap. Lebih layak disebut gubuk.

Di halaman, berpasang-pasang sandal tersusun berjejer. Pemiliknya sedang sibuk di dalam gubuk.

Di hadapan mereka, sebuah kitab terbuka. Tulisannya pakai huruf Arab, tapi tanpa harakat atau tanda baca. Lazim disebut Arab gundul. 

Muhammad Amir Hamzah duduk di jejeran para santri. Sedang asyik dengan kitab karya Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghazzi, Fathul Qarib. Meski Arab gundul, Amir lancar membaca dan menerjemahkannya. 

Amir menjabarkan i'rab, perubahan harakat di akhir kalimat. Terkadang melafalkan maraji'-nya. Sangat lihai, padahal usianya baru 12 tahun. 

Kelihaian Amir membaca Arab gundul bukan didapat dengan singkat. Bocah asal Pulau Karimun Jawa itu sudah menimba ilmu lughoh di pesantren yang berlokasi di Grobogan, Jawa Tengah itu selama sembilan bulan.

Tetapi, jika dibandingkan dengan para santri lain, Amir tergolong santri cerdas. Kemampuannya tumbuh cepat. Para santri biasanya butuh minimal tiga tahun agar dapat menjelajahi isi kitab kuning, sebutan lain kitab rujukan keilmuan Islam.

Kemampuan Amir tak lepas dari didikan Kiai Amin Fauzan Badri. Saban pagi, tiap santri harus belajar 'privat'. Empat mata dengan sang kiai selama satu jam. Tidak boleh kurang.

“ Di sini tidak ada masa pengajian bersama-sama dimulai. Kalau hari ini ada santri datang, berarti besok pagi dia mulai belajar. Jadi, antara satu santri dengan santri lainnya, mulainya beda dan khatamnya juga beda,” kata Kiai Amin kepada kemenag.go.id.

Kyai Amin

Teknik belajar kitab Arab gundul Kiai Amin dinamai Al-Iktishor. Dia ingin berbagi pengalaman merumuskan cara membaca kitab Arab gundul.

“ Saya berfikir, bahwa membaca kitab itu mestinya mudah, karena susunan dalam bahasa Arab itu hanya berupa Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah. Jika dua Jumlah ini dikuasai, semua akan jadi mudah,” kata dia.

Baru setelah dipelajari pokok susunannya berupa jumlah ismiyah dan fi’liyah, dipelajari pelengkapnya, yaitu jar-majrur, fi’il-fail, maf’ul bih, maf’ul muthlaq, dan lain-lainnya.

Kisah Kiai Amin membuat kitab Al-Ikhtisor terbilang cukup menyentuh. Awalnya, Amin menyusun kitab itu dengan penuh perjuangan.

Usai men-tashih-kan ke gurunya di Pesantren Mathaliul Fataah, Kajen, Margoyoso, Pati, Amin muda merasakan kegundahan. Sang guru meminta Amin membuka buku catatan Al-Ikhtisor di rumahnya. Amin pun terlarang membukanya di jalan.

Sesampai di rumah, Amin terkejut. Semua tulisan tangannya digores tinta merah, pertanda salah semua. Amin pun sempat patah semangat dan berencana tidak melanjutkan penyusunan kitab itu.

Tetapi, ada satu kalimat yang ditulis gurunya di halaman akhir catatan Al-Ikhtisor. Kalimat itu urung membuat Amir menyerah. 

" Ada tulisan tangan guru saya tadi, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil," ucap dia.

Semangat inilah yang dia tularkan kepada para santrinya.

Beri Komentar