Terjawab, Mengapa Semut Selalu 'Cipika-cipiki' Saat Berpapasan

Reporter : Syahid Latif
Jumat, 10 Maret 2017 09:01
Terjawab, Mengapa Semut Selalu 'Cipika-cipiki' Saat Berpapasan
Baru-baru ini para ilmuwan menemukan jawabannya. Ternyata, kebiasaan unik itu dilakukan untuk....

Dream - Anda pasti pernah melihat semut saat berpapasan dengan kawan-kawannya. Mereka selalu mempertemukan kepala atau 'cipika-cipiki'. Namun, tahukah Anda mengapa dan apa yang dilakukan semut dengan kebiasaan unik itu?

Baru-baru ini para ilmuwan menemukan jawabannya. Ternyata, kebiasaan unik itu dilakukan sebagai bentuk komunikasi antara semut yang satu dengan lainnya. Semut menyampaikan sinyal kimia kepada teman satu sarang mereka dengan menransfer air liur atau trophallaxis.

" Banyak peneliti menganggap trophallaxis hanya sebagai sarana berbagi makanan. Tapi trophallaxis terjadi dalam konteks lain, seperti ketika seekor semut kembali bertemu dengan teman satu sarang setelah isolasi," kata Richard Benton, peneliti dari Center for Integrative Genomics di University of Lausanne, Swiss, sebagaimana dikutip Dream dari Science Daily, Kamis 9 Maret 2017.

" Oleh karena itu kami ingin melihat apakah pertukarkan cairan trophallaxis mengandung molekul yang memungkinkan semut untuk menyampaikan pesan kimia satu sama lain, dan bukan hanya makanan," tambah dia.

semut

Berdasarkan laporan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal eLife pada 29 November tahun lalu, para ilmuwan menemukan bahwa cairan mulut semut kayu Florida (Camponotus floridanus) mengandung bahan kimia yang mungkin bisa membantu menyeragamkan aroma semut dalam satu koloni dan bahkan berdampak pada pertumbuhan larva mereka.

Untuk menemukan kandungan molekul itu, para peneliti harus mencari cara untuk mengumpulkan ludah semut. Tugas ini tidaklah mudah. Sebab, pertukaran cairan antara semut satu dengan lainnya terjadi sangat cepat dan sulit diprediksi. Sehingga, metode wait and see tidak bisa dilakukan dalam penelitian ini.

Untuk mendapatkan jawabannya, para ilmuwan memancing trophallaxis dari semut dengan memberi makan larutan gula dan untuk sementara mengisolasi mereka dari teman-temannya. Kondisi ini dilakukan agar semut lebih cepat berbagi ludah dengan temannya saat bertemu.

semut

Namun metode ini masih menghasilkan kadar ludah yang rendah dan rentan terhadap variabel pengganggu. Para ilmuwan menulis cairan mulut semut mungkin berganti dengan cairan gula yang dimakan atau oleh efek isolasi.

Oleh karena itulah para ilmuwan mencari cara lain. Mereka membius semut secara sementara dengan karbon dioksida dan kemudian " memeras" mulut semut dengan lembut sampai mereka menyemprotkan ludah.

Para ilmuwan kemudian membandingkan cairan itu dengan sedikit air liur yang telah dikumpulkan dengan metode pemberian gula dan kandungan usus semut serta peredaran darah untuk memastikan bahwa apa yang mereka kumpulkan adalah cairan mulut yang sama, yang ditukarkan selama proses trophallaxis.

Setelah mendapatkan bahan yang benar, para peneliti menggunakan spektrometri massa, metode untuk mengukur massa molekul dalam sampel, untuk mengidentifikasi komponen-komponen dari cairan.

Ternyata, para ilmuwan menemukan kandungan yang jauh lebih banyak daripada makanan. Dalam ludah semut terdapat puluhan protein, 64 microRNAs (segmen kecil dari molekul yang membantu menerjemahkan instruksi genetik menjadi protein dan blok bangunan lain dari tubuh semut).

Selain itu, ada pula rantai panjang hidrokarbon yang dapat membantu memasang aroma khusus dari koloni pada individu semut, sinyal penting untuk identifikasi dan interaksi sosial. Namun penelitian ini belum bisa membuktikan bahwa trophallaxis langsung memengaruhi aroma atau imunologi semut.

Menurut para peneliti, banyak protein dalam cairan mulut berkaitan dengan pencernaan, tapi setidaknya 10 di antaranya terlibat dalam regulasi pertumbuhan, dan perkembangan.

Di antara protein ini salah satunya yang membentuk hormon remaja, kimia yang penting bagi perkembangan dan perilaku serangga itu. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa hormon remaja hadir dalam cairan mulut semut.

Analisis ini penting untuk mengetahui bagaimana semut perawat memberi makan larva dengan proses trophallaxis. Kehadiran hormon pertumbuhan dalam ludah mereka mungkin memainkan peran dalam perkembangan larva.

Untuk menguji dugaan itu, para peneliti memilih beberapa semut dewasa dan memberi mereka makan, baik makanan yang dilengkapi dengan hormon remaja atau dengan zat inert. Hasilnya, larva yang diberi makan dengan hormon remaja lebih banyak yang bisa bertahan hidup hingga dewasa.

Menurut penulis studi ini, Adria LeBoeuf, yang juga dari University Lausanne Center for Integrative Genomics, ketika semut-semut memberi makan larva, mereka tidak hanya sekadar memberi makanan. Melalui hormon dan molekul yang disampaikan dari mulut ke mulut itu mereka menentukan bagaimana perkembangan koloni mereka di masa mendatang.

Saat semut menyuapi larvanya, mereka menentukan nasib koloninya, mengelola jumlah komponen yang dapat mempromosikan pertumbuhan untuk mempengaruhi generasi berikutnya.

" Temuan kami menunjukkan bahwa trophallaxis mendasari saluran komunikasi pribadi yang digunakan semut untuk mengarahkan perkembangan anak mereka, mirip dengan susu pada mamalia," kata LeBoeuf.

1 dari 2 halaman

Jutaan Cacing Misterius Keluar dari Tanah, Warga Desa Geger

Jutaan Cacing Misterius Keluar dari Tanah, Warga Desa Geger © Dream

Dream - Penduduk di Hulu Terengganu, Malaysia, digemparkan dengan kehadiran ‘lautan’ cacing yang tiba-tiba keluar dari dalam tanah. Fenomena ini terjadi sesaat setelah wilayah itu dilanda banjir.

Menuru salah seorang warga di Kampung Tok Lawit, Kuala Nerang, Wan Hasmah Abas (53), kejadian itu merupakan peristiwa pertama di wilayah tersebut.

“ Kejadian ini merupakan kejadian pertama kali berlaku, sejak belasan tahun saya tidak pernah melihat kejadian seperti ini," kata dia, sebagaimana dikutip Dream dari laman Sinar Harian, Kamis 12 Januari 2017.

Abas mengatakan, cacing-cacing yang banyak muncul ini tak seperti cacing yang biasa dia lihat. “ Cacing ini berwarna merah gelap, panjang, dan sangat licin, tidak seperti cacing yang biasa orang pakai untuk umpan memancing,” tambah dia.

Menurut dia, sebelum banjir besar itu melanda selama empat hari, ada cacing keluar dari tanah, namun tidak banyak dan melimpah seperti sekarang.

2 dari 2 halaman

Penjelasan Ilmiah 'Serangan' Cacing di Yogya

Penjelasan Ilmiah 'Serangan' Cacing di Yogya © Dream

Dream - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) angkat bicara soal fenomena kemunculan cacing ke permukaan tanah yang meresahkan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Haryadi Permana, fenomena ini tak terkait gempa. Namun, berkaitan dengan kondisi cuaca ekstrem yang beberapa waktu terakhir terjadi di dunia.

Ia menjelaskan hewan memang lebih sensitif dan lebih sulit beradaptasi menghadapi perubahan cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini.

" Suhu yang dapat melampaui angka 35 derajat celsius dan dengan cepat turun saat terjadi hujan lebat, bisa mempengaruhi kondisi hewan-hewan di bawah tanah," kata Haryadi di laman Lipi.go.id, Kamis 4 Juni 2016.

Ia menegaskan belum ada teknologi yang mampu secara pasti memperkirakan kapan dan di mana akan terjadi gempa. Meski begitu, terkait fenomena kemunculan cacing di DIY, masyarakat dihimbau tidak perlu panik namun tetap selalu waspada mengingat daerah itu memang rawan gempa.

Kemarin, warga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khususnya Bantul dihebohkan beredarnya kabar munculnya cacing tanah ke permukaan. Hal itu tersebar melalui pesan berantai yang diterima melalui ponsel.

" Buat teman-teman yang di Jogya ada nggak yang tinggal di dekat Bantul, ini ada info dari teman ku yg anggota Basarnas: buat jaga-jaga: Dari Bantul merata, wilayah Berbah, Prambanan sampai Solo, ada fenomena aneh, banyak cacing keluar dari tanah dalam keadaan lemas, temanku sih sarankan siap emergency, karena dulu saat gempa terjadi seminggu setelah fenomena cacing ini juga, analisa awal, terjadi peningkatan aktivitas tektonik di jalur Subduction kidul kono, akibat terjadi pelepasan energi ke permukaan tanah, fenomena ini pernah terjadi pada tahun 2006 sebelum gempa besar di DIY khususnya Bantul sekitarnya," demikian bunyi pesan berantai tersebut.

Beri Komentar