Firna Larasanti (Foto: LPDP)
Dream - Latar belakang keluarga dan ekonomi tak menghalangi Firna Larasanti meraih pendidikan setinggi-tingginya. Lahir dari keluarga yang pas-pasan, mimpi Firna untuk menempuh pendidikan tinggi tak putus.
Firna bercerita, sejak kecil, dia sekeluarga terbiasa hidup mengontrak di sebuah kamar kecil. Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
" Hingga pada tahun 2006 kami diperkenankan untuk mendirikan sebuah gubug kecil dengan status di atas tanah milik pemerintah Kota Semarang," kata Firna, diakses Dream dari laman LPDP, Kamis, 25 Januari 2018.
Meski begitu, Firna mengaku bersyukur dengan kondisi keluarganya.
© Dream
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ibu dan bapak Firna memiliki beragam profesi. Dari berjualan nasi goreng keliling, menjadi buruh bangunan, buruh tani, dan terkadang memulung sampah.
Ibu, kata Firna, menambal kekurangan kebutuhan hidup dengan menjadi pembangu, buruh cuci, dan membantu bapak mencari barang rongsokan.
Tetapi, di tengah segala keterbatasan ekonomi, bapak dan ibu Firna selalu meminta Firna, kakak dan adiknya untuk melanjutkan sekolah.
" Bapak dan ibu selalu yakin bahwa suatu saat pendidikan akan mengubah keadaan ini," ucap dia.
Jika tak ada uang untuk menghidupi keluarga dan membayar uang sekolah, bos rongsokan kerap meminjami uang. Tetapi, jika tidak ada, bapak Firna akan jalan kaki dari daerah satu ke daerah lain mencari barang-barang bekas milik orang lain.
© Dream
Firna bercerita, ketika sekolah di SMP, dia dan kakaknya, turut membantu mengelupasi botol bekas. Memilah buku bekas di rumah sang bos rongsokan.
" Memang hasilnya tidak seberapa, hanya Rp1000 rupiah per hari, tetapi ibu melatih mental saya agar menjadi anak yang mandiri, kuat, dan bisa berwirausaha suatu saat nanti," ucap dia.
Usai mendapat ijazah SMP, Firna bercerita, sempat hampir tak dapat melanjutkan SMA. Dia ingat, selepas lulus SMP, sang kakak sempat berhenti setahun karena ketiadaan biaya.
" Apalagi saat itu adik kami didiagnosa terkena flek paru yang mengharuskan meminum obat selama enam bulan penuh," kata dia.
© Dream
Terkadang berhari-hari Firna sekeluarga menahan lapar dan berpuasa untuk membayar cicilan utang.
Untungnya, ketika SMA, Firna dapat pekerjaan sampingan di toko kelontong kecil. Meskipun hanya digaji, Rp20 ribu per bulan, orang tuanya tetap mengingatkan unjuk menjaga sekolah.
Hingga pada suatu hari, impian Firna mulai muncul. Saat memilah barang rongsokan, dia menemukan buku SNMPTN berwarna biru.
" Ingin rasanya saya mencoba mendaftar kuliah. Saya memberanikan diri mengatakan kepada bapak dan ibu, namun bapak dan ibu hanya diam saat itu," kata dia.
© Dream
Firna mencoba mendaftar beberapa beasiswa agar bekesempatan melanjutkan perguruan tinggi. Tetapi, pada saat itu Firna dinyatakan tidak lolos pada tes SNMPTN, Ujian Mandiri 1 Unnes, Ujian Mandiri 2 Unnes dan Ujian Mandiri Universitas Diponegoro.
" Saya sempat berputus asa dan menganggap bahwa sebaiknya saya mengubur mimpi saya dalam-dalam untuk kuliah," kata dia.
" Hingga di tengah keputusasaan saya, Bapak memberikan koran bekas yang berisikan bahwa Unnes masih membuka pendaftaran tahap terakhir dan disediakan progam beasiswa Bidikmisi. Saya pun berusaha kembali dan akhirnya saya di nyatakan lolos, meski sebagai cadangan," ucap dia.
Saat diterima di Unnes Semarang, Firna dikenai uang pangkal sebesar Rp7.150.000. Sebagai kompensasi, dia bekerja mulai dari buruh pasar hingga babysitter.
Berbagai perjuangan itu pun akhirnya terlunasi. Dia lulus kuliah. Pada November 2016, dia mencoba mengikuti tes LPDP di Yogyakarta.
" Ibu setia menemani saat itu, meskipun kami hanya tidur disebuah mushola kecil," ucap dia.
10 Desember 2016, rasa bahagia itu datang, Firna dinyatakan lolos seleksi beasiswa LPDP. Dia dinyatakan lolos beasiswa LPDP diterima dengan syarat di University of Otago dan University of Auckland.
Kerja keras dan doa keluarga itu terbayar.
Advertisement
Upgrade Gaya Hidup Digitalmu dengan eSIM XL PRIORITAS, Pilihan Premium Masa Kini

Ibadah Lancar, Komunikasi Aman: Tips Itinerary Umroh & Internet Hemat


Bencana di Sumatera Sebabkan Krisis Air Bersih bagi Warga Terdampak

Dompet Dhuafa Kirim 60 Ton Bantuan Kemanusiaan untuk Penyintas Bencana di Sumatera
