Pemuda yang Hobi Berkelahi Itu Jadi Guru Ngaji Keluarga Jokowi

Reporter : Eko Huda S
Minggu, 1 Maret 2015 12:30
Pemuda yang Hobi Berkelahi Itu Jadi Guru Ngaji Keluarga Jokowi
Suda sudah lebih 15 tahun mengajari Ibunda Jokowi, Sudjiatmi Notomiharjo, mengaji di Pondok Pesantren (Ponpes) Khalifatullah Singo Ludiro, Mojolaban, Sukoharjo.

Dream - Inilah Agung Syuhada. Guru mengaji keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Suda sudah lebih 15 tahun mengajari Ibunda Jokowi, Sudjiatmi Notomiharjo, mengaji di Pondok Pesantren (Ponpes) Khalifatullah Singo Ludiro, Mojolaban, Sukoharjo.

“ Bu Noto sudah 15 tahun ngaji fiqih dan ibadah di sini,” tutur Agung sebagaimana dikutip Dream dari Merdeka.com, Minggu 1 Maret 2015.

Tak hanya Bu Noto, Agung juga mengajari mengaji dua adik Jokowi, Ida Yati dan Titik Rita Wati. “ Mbak Ida Yati dan Mbak Titik juga ikut. Kalau Pak Jokowi tidak. Mereka ngaji tiap Rabu pagi,” tambah Agung.

Tak hanya mengajar di pondok, Agung ternyata juga kerap dipanggil ke rumah Ibunda Jokowi di Jalan Plered Raya, Sumber Solo, untuk mengisi acara pengajian, salat hajat, atau pun doa bersama.

“ Dulu itu, seminggu sebelum Pak Jokowi dilantik jadi presiden, saya dipanggil untuk berdoa bersama selama seminggu. Ini tadi juga baru pulang dari rumah Beliau,” tutur Agung.

Doa untuk Jokowi masih dipanjatkan hingga kini. Setiap selesai Salat Maghrib, Agung dan sekitar 130 santrinya selalu berdoa dengan membaca Surat Al Fatihah hingga 1000 kali. Doa tersebut dipanjatkan khusus untuk Jokowi.

“ Selama pak Jokowi jadi presiden para santri akan berdoa dengan 1000 Al Fatihah, agar pemerintahannya aman dan lancar,” ujar dia.

1 dari 1 halaman

Siapa Agung?

Siapa Agung? © Dream

Agung merupakan pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 23 Maret 1970. Dia mengaku, masa kecilnya dipenuhi kenakalan, sehingga harus berpindah-pindah sekolah. Hobinya: berkelahi. Sifat tempramental membuatnya memiliki banyak musuh di sekolah.

Agung mengaku kebiasaan bertengkar itu terbawa hingga sekarang. Namun saat ini cenderung lebih bisa mengontrol emosi. “ Saya dulu sekolah di SMP NU (Nahdlatul Ulama) Maarif Sragen. Kelas 1 sudah dikeluarkan karena nakal dan suka berantem,” tutur dia.

Usai dikeluarkan dari sekolah, ia pindah ke Ponpes Al Anwar Jombang. Di pondok tersebut dia juga terlibat perkelahian. Setahun sekolah di Jombang, Agung mengaku sering puasa mutih (makan nasi dan air putih).

“ Saya itu tiap hari berkelahi. Saya puasa mutih biar kebal. Biar punya kebanggaan bisa membantu teman kalau berkelahi. Saya bangga kalau berantem selalu menang, sampai lawan saya bonyok. Padahal saya enggak tahu permasalahannya apa. Yang penting kalau dimintai bantuan teman untuk berkelahi saya menang, hati saya senang, puas,” Agung berkisah.

Kebiasaan berkelahi itu terus berlanjut sampai SMA, di Ponpes Tahfidzul Quran, Solo. Tempat tersebut juga dikenal dengan PGA (Pendidikan Guru Agama) di Kampung Kauman, Kompleks Masjid Agung Keraton Solo.

“ Saya ini dulu kan ketua santri. Saya keras, kalau ada yang terlambat saya marahi, kalau ada yang berani ya saya antemi (pukul). Ada yang sampai benjut, sekarang orangnya masih. Matanya masih membekas,” ucap dia.

Usai SMA, Agung melanjutkan kuliah di Staimus Solo jurusan Ilmu Komunikasi. Tak hanya satu kampus, Agung juga berkuliah di Universitas Nahdlatul Ulama Solo, namun tak menyelesaikannya hingga sarjana.

Agung berdakwah semenjak masih bersekolah di PGA, kelas 2 tahun 1989. Saat itu sebagai mubaligh muda ia justru laris berdakwah hingga ke luar kota. Meski tak berharap tarif dalam berceramah, namun ia mengaku selalu diberikan uang transport saat berdakwah.

Uang tersebut ia kumpulkan untuk biaya kuliah. Bahkan ia bisa membeli tanah pekarangan dan mengadopsi anak yatim piatu di pondok.

Agung saat ini dikaruniai 3 anak. Dua putri dan satu putra. Dalam pendidikan ia mewajibkan ketiga anaknya untuk bersekolah di pondok pesantren hingga SMA.

Agung juga mengelola sebuah pondok pesantren yang ia beri nama Pondok Pesantren Khalifatullah Singo Ludiro. Letaknya di Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo. Nama pesantren itu diambil supaya para santri yang belajar mempunyai keberanian dalam menegakkan kebenaran.

“ Khalifatullah Singo Ludiro itu artinya wakil Allah di muka bumi dengan darah singa. Singa itu di mana pun berada, sejak lahir pasti menjadi raja hutan, karena cerdas, dan mempunyai watak pemberani,” tutur dia.

Dengan nama itu ia berharap semua santri punya kecerdasan dan keberanian dalam amar makruf nahi munkar. Logo singa dengan berkalung bintang 9, menurut dia mengadopsi Walisongo terutama dalam teori berdakwah.

“ Walisongo itu dalam berdakwah ibarat nyekel iwak ra buthek banyune (menangkap ikan tak kotor airnya). Itulah yang selalu saya terapkan di pondok kepada para santri,” jelas Agung

Beri Komentar